LONDON, KOMPAS.com - Edward Colston adalah simbol yang melahirkan gerakan Black Lives Matter di Inggris.
Penggulingan patungnya di Bristol pada Minggu (7/6/2020) dilakukan para pemrotes anti rasialisme dengan sukacita karena faktanya, Edward Colston adalah seorang pedagang budak kulit hitam terkenal dalam sejarah Inggris.
Pemrotes melakukan aksi anti rasialisme, menyusul protes berhari-hari yang terjadi di Amerika Serikat karena kematian George Floyd, warga kulit hitam yang tewas di tangan polisi Minneapolis Derek Chauvin yang menindih leher Floyd dengan lututnya.
Di Amerika Serikat, kematian George Floyd yang memicu protes dan kerusuhan berhari-hari itu bukan masalah rasisme pertama kalinya di negara yang memiliki sejarah perbudakan kulit hitam selama 400 tahun.
Demikian di Inggris, figur Colston seharusnya menjadi lambang rasa malu yang paling dalam bagi kota paling liberal di Inggris itu.
The Associated Press kemudian melansir beberapa foto yang menunjukkan para pemrotes berlutut di dekat leher patung yang telah ditumbangkan itu selama delapan menit.
Baca juga: Melihat Unjuk Rasa Kasus George Floyd di Berbagai Negara...
Durasi waktu yang bergulir saat Derek Chauvin menekan lututnya ke leher Floyd sebelum akhirnya membuat pria Afrika-Amerika itu tewas.
Wali kota Bristol, Marvin Rees mengatakan bahwa penurunan patung itu akan menuai pendapat yang terpecah belah.
Namun, dia menambahkan hal itu penting untuk mendengarkan mereka yang menganggap patung itu mewakili penghinaan terhadap kemanusiaan dan mewarisi warga Bristol sampai hari ini dan di masa mendatang, juga tentang bagaimana caranya mengatasi rasisme dan ketidaksetaraan.
Menghancurkan patung Colston tidak bisa dilakukan 'berlebihan' oleh massa karena jembatan yang menghadap sebuah permakaman baru diberi nama Jembatan Pero.
Nama itu diambil dari sosok laki-laki yang diperbudak yang hidup dan matinya di kota itu pada akhir abad ke-18, Pero Jones.
Baca juga: Disemayamkan di Peti Mati Emas, Pemakaman George Floyd Disiarkan Langsung
Edward Colston lahir pada 1636 di keluarga kaya yang berusaha di bidang perdagangan. Perusahaan keluarganya itu menjadi satu-satunya perusahaan yang menjual bisnis perbudakan di Inggris saat itu, Royal African Company. Di mana Bristol menjadi pusat perdagangannya.
Perusahaan itu mengangkut puluhan ribu orang Afrika yang melintasi Samudra Atlantik, terutama mereka yang bekerja di perkebunan gula di Karibia dan mengelola ladang tembakau yang berkembang di koloni baru Virginia, Amerika Utara.
Setiap budak memasang inisial perusahaan mereka di dada.
Baca juga: Terekam, Pelelangan Budak Afrika Seharga Rp 5,4 Juta Per Orang
Bristol, sebagai pelabuhan internasional berada di pusat perdagangan budak dan mendapat keuntungan besar secara finansial, tidak hanya pembuat kapal dan para budak, namun juga para investor seperti Colston yang akan membeli saham dalam pelayaran budak di wilayah segitiga; Inggris, Afrika Barat dan Karibia.