Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Ada Apa dengan Sri Lanka: Kenapa Bangkrut dan Penyebab Gagal Bayar Utang

Pemadaman listrik selama berbulan-bulan, kekurangan makanan, bahan bakar, dan obat-obatan membuat marah publik. Terhadi demo besar menuntut pengunduran diri pemerintah yang berujung kerusuhan Sri Lanka minggu ini.

Ada apa dengan Sri Lanka sebenarnya, kenapa Sri Lanka bangkrut dan penyebab Sri Lanka gagal bayar utang? Berikut ulasannya dikutip dari AFP, Kamis (12/5/2022).

Di distrik Hambantota, sebuah pelabuhan besar sudah menjadi beban keuangan sejak mulai beroperasi, dengan total kerugian kini mencapai 300 juta dollar AS (Rp 4,4 triliun) dalam enam tahun.

Di dekatnya terdapat proyek mewah lain yang didukung China, yaitu pusat konferensi besar yang jarang dipakai sejak dibuka, dan bandara senilai 200 juta dollar AS (Rp 3 triliun) yang sempat kekurangan dana untuk membayar tagihan listriknya.

Proyek-proyek tersebut dibuat oleh keluarga Rajapaksa yang berkuasa, yang telah mendominasi politik Sri Lanka selama hampir 20 tahun terakhir.

Adik laki-lakinya, Gotabaya Rajapaksa, menggantikannya empat tahun kemudian dan menjanjikan bantuan ekonomi serta tindakan keras terhadap terorisme setelah serangan Minggu Paskah 2019 yang mematikan di Sri Lanka.

Beberapa hari setelah menjabat, Gotabaya menunjuk Mahinda sebagai perdana menteri dan mengumumkan pemotongan pajak terbesar dalam sejarah Sri Lanka, sehingga memperburuk defisit anggaran kronis.

Lembaga pemeringkat langsung menurunkan peringkat negara itu karena khawatir utang publik semakin tidak terkendali, sehingga mempersulit pemerintah untuk mendapatkan pinjaman baru.

Kedatangan turis internasional turun menjadi nol dan pengiriman uang dari warga Sri Lanka yang bekerja di luar negeri mengering. Parahnya, dua hal itu adalah pilar ekonomi yang diandalkan pemerintah untuk membayar utangnya.

Tanpa sumber-sumber uang tunai luar negeri ini, pemerintahan Rajapaksa mulai menggunakan cadangan devisanya untuk membayar pinjaman.

Pemerintah berdalih kebijakan ini sebagai bagian dari upaya Sri Lanka untuk menjadi negara pertanian organik pertama di dunia, tetapi dampaknya sangat buruk.

Sebanyak sepertiga dari ladang pertanian negara itu ditinggalkan para petani dan penurunan hasil yang diakibatkannya memukul produksi teh, padahal merupakan komoditas ekspor yang vital.

Kebijakan itu akhirnya dicabut pada akhir 2021 setelah protes dari pekerja pertanian dan melonjaknya harga pangan.

Para pedagang mulai kesulitan mencari sumber mata uang asing untuk membeli barang-barang impor.

Bahan makanan pokok seperti beras, lentil, gula, dan susu bubuk mulai menghilang dari rak-rak toko, dan supermarket terpaksa menjatahnya.

Kemudian SPBU mulai kehabisan bensin dan minyak tanah, yang berdampak pada utilitas tidak dapat membeli cukup minyak untuk memenuhi permintaan listrik.

Antrean panjang sekarang terlihat setiap hari di penjuru Sri Lanka. Orang-orang menunggu berjam-jam untuk membeli sedikit persediaan bahan bakar, sementara pemadaman listrik membuat sebagian besar ibu kota Colombo dalam kegelapan setiap malam.

Akan tetapi, kebijakan tersebut gagal menopang keuangan Sri Lanka yang memburuk dan hanya memiliki sekitar 50 juta dollar AS (Rp 733 miliar) dalam valuta asing yang dapat digunakan pada awal Mei.

Sri Lanka sekarang dalam negosiasi untuk dana talangan dari IMF (Dana Moneter Internasional).

Perdana Menteri Mahinda Rajapaksa mengundurkan diri pada Senin (9/5/2022) dalam upaya menenangkan publik setelah berminggu-minggu protes atas salah urus pemerintah.

Namun, kepala bank sentral Nandalal Weerasinghe pada Rabu (11/5/2022) mengatakan, jika pemerintahan baru tidak segera mengambil alih, Sri Lanka menghadapi keruntuhan ekonomi yang akan segera terjadi.

"Tidak ada yang bisa menyelamatkan Sri Lanka pada tahap itu," katanya.

https://www.kompas.com/global/read/2022/05/14/180000270/ada-apa-dengan-sri-lanka--kenapa-bangkrut-dan-penyebab-gagal-bayar-utang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke