Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

15 Fakta Menarik Kipo, Kue Tradisional Khas Kotagede Yogyakarta

Kompas.com - 13/11/2021, 12:12 WIB
Lea Lyliana

Penulis

KOMPAS.com -  Yogyakarta memiliki banyak kuliner khas yang patut dicoba. Selain, gudeg dan bakpia, kamu pun bisa mencoba kipo. 

Kipo adalah kue tradisional khas Kotagede Yogyakarta yang terbuat dari tepung ketan dan diisi unti kelapa. Jajanan ini dapat ditemukan di Jalan Mondorakan, dekat dengan Pasar Kotagede. 

Baca juga:

Jika belum familier, berikut ini Kompas.com kumpulkan fakta mengenai kipo yang menarik untuk diketahui. Berikut uraian lengkapnya. 

Ilustrasi kipo Bu Djito di Yogyakarta. SHUTTERSTOCK/ADAM GN Ilustrasi kipo Bu Djito di Yogyakarta.

1. Kudapan asli Yogyakarta 

Murdijati Gardjito, peneliti di Pusat Studi Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada menyebut bahwa kipo adalah jajanan asli Yogyakarta yang tidak terkontaminasi kudapan asing. 

Rasanya yang legit merupakan ciri dari kue tradisional khas Jawa, tepatnya Yogyakarta. 

"Kipo itu memang merupakan salah satu makanan tradisional yang asli. Artinya asli Yogyakarta dan tidak terkontaminasi budaya kuliner asing," terang Mur kepada Kompas.com, Kamis (04/10/2021)

Baca juga:

2. Peninggalan Mataram Kuno

Menurut Mur kipo adalah kudapan peninggalan Mataram Kuno. Pasalnya lokasi pembuatannya berad di Kotagede yang masih satu kawasan dengan Mataram Kuno.

"Kipo dan yangko ini sebetulnya aslinya itu dari Kotagede. Lah Kotagede itu sebetulnya dekat sekali dengan Mataram Kuno, ya itu dekat Pleret. Jadi, memang makanan itu ada di situ," tambahnya. 

3. Pembuat kipo pertama

Pembuatan kipo pertama yaitu Mbah Mangun Irono. Kala itu sekitar tahun 1946, Mbah Mangun berjualan di depan rumah dengan dibantu oleh anaknya, Djito Suharjo. 

Baca juga: 2 Cara Membuat Kipo agar Kulitnya Tidak Keras

Setelah Mbah Mangun meninggal, usaha tersebut dilanjutkan oleh anaknya. Kemudian, kios tempat Mbah Mangun berjualan pun memakai nama anaknya, Kipo Bu Djito.  

Ilustrasi toko Kipo Bu Djito. KOMPAS.com/ Lea Lyliana Ilustrasi toko Kipo Bu Djito.

4. Generasi Kipo Bu Djito 

Kipo Bu Djito masih terus membuat kipo hingga sekarang. Namun sejak tahun 1990, kios tersebut dikelola oleh Dra. Istri Rahayu, anak Bu Djito. 

Walau sudah berjalan tiga generasi tapi kios Kipo Bu Djito masih eksis hingga sekarang. Bahkan kini mulai banyak wisatawan yang mengenalnya. 

Baca juga: Kipo Bu Djito, Pembuat Kipo Pertama di Yogyakarta

5. Nama kipo 

Nama kipo sebetulnya adalah akronim dari pertanyaan 'iki opo'. Menurut Dra. Istri Rahayu, pemilik Kipo Bu Djito, nama tersebut tercetus begitu saja, karena Mbah Mangun pun mulanya tidak mengetahui nama kudapanyang dibuatnya. 

"Nah dari awal itulah mungkin mereka yang belum pernah melihat baru itu, oh makanan tradisional yang notabene lucu karena bentuknya yang kecil, orang juga belum pernah merasakan. Mereka kan terus bertanya 'iki opo', kemudian tercetus nama kipo," terang Istri. 

 

6. Dikenal lewat pameran kuliner

Walau sudah ada sejak 1946 tapi kipo baru benar-benar dikenal masyarakat luas pada 1987.

Istri menceritakan bahwa kipo mulai dikenal masyarakat setelah mengikuti pameran kuliner yang diselenggaran di salah satu pusat perbelanjaan di Yogyakarta. 

"Saya merintisnya lama juga, awalnya kan masih ibu, saya masih kuliah, kalau enggak salah tahun 1987. Itu awalnya bermula dari pameran, kalau sekarang Amplaz, dulu kan Ambarukmo Sheraton, kita berawal dari sana, ikut acara Rumah Kue namanya dari Tepung Nira Chandar," jelasnya. 

Baca juga: Kenapa Kipo Tidak Terkenal? Berikut Penjelasanya

Dari sinilah, penikmat kipo semakin berkembang. Jika dulu hanya kalangan menengah ke bawah, kini kipo mulai sering disajikan untuk kudapan hotel.

Ilustrasi kios Kipo Bu Djito. KOMPAS.com/ Lea Lyliana Ilustrasi kios Kipo Bu Djito.

7. Kipo kurang terkenal

Selain kipo, Kotagede juga terkenal sebagai sentral industri yangko. Namun jika dibandingkan antara keduanya, kipo agak kurang terkenal. 

Menurut Istri, penyebabnya bisa jadi karena kipo tidak tahan lama, sehingga tak bisa digunakan sebagai oleh-oleh. 

"Kalau kipo kan masa kedaluwarsa 24 jam, jadi enggak bisa dititipin atau dibawa kemana-mana, jadi memang untuk sekitarnya," kata Istri.

Baca juga: Sejarah Yangko, Oleh-oleh Khas Yogyakarta yang Mirip Mochi

Meski begitu kipo cukup dikenal oleh warga lokal maupun wisatawan yang suka berburu kuliner. 

8. Bahan kipo 

Kipo terbuat dari bahan sederhana, seperti tepung beras ketan, kelapa parut, dan gula jawa. Untuk pewarna, Istri memakai daun katu atau daun daun suji. 

Berkat penggunaan gula jawa tersebut, rasa kipo menjadi legit. Sementara, untuk tepung ketannya Istri membuatnya sendiri, tidak beli di pasar atau supermarket. 

Baca juga: Kenapa Kipo Harus Dipanggang Pakai Daun Pisang?

9. Pembuatan kipo 

Mur menyebut bahwa kala pembuatan kipo adalah metode memasak yang paling primiti. Sebab masih menggunakan cobek tembikar. 

Namun hal inilah yang justru menjadi salah satu daya tarik kipo. Bahkan hingga sekarang, pembuatan kipo pun masih memakai tembikar.  

"Itu dibuatnya kan kecil-kecil dengan cara dipanggang, nah ini memang cara memasak yang paling primitif pada masa itu. Karena itu kipo menunjukkan kekunoan dari ketrampilan yang dimiliki masyarakat Kotagede pada waktu itu," jelasnya.

Ilustrasi kipo yang sedang dipanggang di atas cobek gerabah. SHUTTERSTOCK/ Devi Ratnaningrum Ilustrasi kipo yang sedang dipanggang di atas cobek gerabah.

Istri menjelaskan bahwa cobek tembikaran adalah penghangtar panas yang baik, sehingga aman dipanaskan terus-menerus. 

"Karena gerabah itu penghantar panas yang stabil, dia dipanasi terus juga enggak apa-apa. Kalau pecah ya ganti. Itu kan risiko pecah lebih mudah," ujar Istri. 

Baca juga: Kenapa Kipo Harus Dipanggang Pakai Daun Pisang?

10. Memakai alas daun pisang 

Selain masih memakai cobek tembikaran, kipo dipanggang dengan beralaskan daun pisang.

Menurut Istri penggunaan daun pisang dapat memengaruhi aroma serta membuat adonan kipo tidak lengket di tembikar. Namun sebelumnya daun pisangnya pun harus diolesi dengan minyak.

"Daun pisangnya itu untuk alas. Karena kalau kita langsung ke tembikarnya enggak bisa. Terus, daunnya kita kasih minyak dulu biar enggak lengket," jelas Istri.

Baca juga: Tak Cuma Wangi, Ini Keuntungan Bungkus Makanan dengan Daun Pisang

Bahkan jika kamu ingin membuat kipo memakai teflon, pun tetap memerlukan tembikar. 

11. Masa simpan kipo 

Sebelumnya telah disebutkan bahwa masa simpan kipo tidak lama, yakni 24 jam. Meski begitu sebetulnya kipo tidak basi, hanya saja tekstur kulitnya menjadi keras. 

Sementara itu, isian atau unti kelapanya bisa bertahan hingga empat hari. Jadi, kamu tak perlu khawatir rasanya akan berubah. 

Ilustrasi kipo yang sudah dikemas. KOMPAS.com/ Lea Lyliana Ilustrasi kipo yang sudah dikemas.

12. Bisa dibawa untuk oleh-oleh 

Kipo memang tidak bisa dititipkan di toko oleh-oleh atau dikirim ke luar kota. Namun Istri menjelaskan bahwa sebetulnya kipo pun bisa digunakan untuk buah tangan. 

Dengan catatan, waktu perjalanannya sebentar. Misalnya ke Jakarta naik pesawat atau dibawa ke Surakarta. 

"kecuali mau ditenteng sendiri, misalnya bawa mobil. Misalnya berangkat pagi, ambilnya ke sini pagi, nanti saya siapkan pagi, itu kan sampai sana malam, nanti sampai sana masih bisa dinikmati," tutur Istri

Baca juga: Sempat Terdampak Pandemi, Penjualan Kipo Bu Djito Kini Mulai Pulih

Jika ternyata perjalanannya molor, maka kamu dapat memanasknnya di microwave.

"Seandainya sampainya pagi, itu bisa dipanasin pakai microwave. Itu belum basi itu, cuma kulitnya keras," tambahnya. 

13. Kesulitan membuat kipo 

Cara membuat kipo sebetulnya sederhana, tapi proses pencampuran adonan dan pembuatan unti kelapanya membutuhkan banyak tenaga. 

Sebab adonan kipo cukup berat dan lengket karena terbuat dari tepung ketan. 

"Sulitnya enggak, cuma adonanya memang berat. Kan ketannya ketet banget ya, itu memang berat. Sampai pulennya untuk menyatunya warna itu memang berat. Kan kita paling 2,5 ya satu kali adonan, itu buat stok sendiri, itu berat di sini (pundak)," ungkap Istri. 

Baca juga:

 

Sementara itu, proses memasak unti kelapanya pun sulit karena harus terus diaduk. Bahkan mendekati matang, unti kelapa menjadi lebih berat karena sudah lengket. 

Padahal unti kelapa tersebut harus dimasak sampai benar-benar kalis dan tidak mengandung air supaya awet. 

"Terus isi enten-enten itu juga, kan harus diaduk terus. Itu pas mau masak, pas mau finishing-nya itu susah karena berat," kata Istri.

"Kalau kita benar-benar kadar air kurang. Nanti enten-enten itu benar-benar sudah matang, kalau dielus gini dia alus kayak kulitnya," tambahnya. 

Ilustrasi kipo Bu Djito di Yogyakarta. SHUTTERSTOCK/ADAM GN Ilustrasi kipo Bu Djito di Yogyakarta.

14. Sempat terdampak pandemi 

Penjualan kipo juga turut terdampak pandemi. Istri menerangkan bahwa setiap hari ia bisa menghabiskan sekitar empat kilogram beras. Namun saat pandemi, bahkan 20 bungkus pun tidak habis. Oleh sebab itu, Istri memilih menutup tokonya.

Beruntungnya, saat ini penjualan kipo mulai membaik. Dalam sehari Istri dapat menghabiskan sekitar tiga kilogram beras atau tepung ketan. 

Baca juga: 7 Yangko di Yogyakarta yang Terkenal, Beli untuk Oleh-oleh

15. Harga dan tempat beli kipo 

Jika ingin mencoba, kamu bisa datang ke kios Kipo Bu Djito yang ada di Jalan Mondorokan Nomor 27 Kotagede. Di sekitar Kipo Bu Djito juga ada penjual kipo lainnya yang bisa menjadi pilihan. 

Harga satu bungkus Rp2.500. Dengan harga tersebut kamu sudah bisa menikmati 10 buah kipo. Sebagai catatan, baiknya jangan datang terlalu siang supaya tidak kehabisan. Terutama saat akhir pekan. 

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Foodplace (@my.foodplace)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com