Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

6 Fakta Roti Buaya yang Identik dengan Pernikahan Adat Betawi

Kompas.com - 22/06/2021, 13:34 WIB
Syifa Nuri Khairunnisa,
Yuharrani Aisyah

Tim Redaksi

 

4. Jadi perlambang kesetiaan

Tak itu saja, bentuk buaya juga dipilih karena jadi simbol janji setia kedua mempelai pengantin.

Konon katanya, buaya adalah hewan paling setia dan hanya memiliki satu pasangan di sepanjang hidupnya.

Karena hal itulah masyarakat Betawi percaya bahwa roti buaya akan membawa keberuntungan, kemakmuran, harapan, dan kesetiaan pada tiap pasangan yang baru menikah.

5. Dulu tidak terbuat dari roti

Sebelum terbuat dari roti, ternyata dulu roti buaya sempat terbuat dari anyaman daun kelapa atau kayu.

Hal tersebut berubah ketika industri pabrik roti mulai ada di Nusantara sekitar akhir abad ke-17 dan 18. Menurut Yahya, sejak itu roti buaya mulai benar-benar dibuat dari roti.

Selain itu, ada pula versi lain penggunaan roti sebagai bahan dasar roti buaya. Konon hal tersebut bermula sejak masuknya bangsa Eropa ke Batavia.

Saat itu, roti jadi makanan langka dan mahal yang hanya bisa disantap oleh kaum bangsawan Eropa.

Maka dari itu, roti dipilih menjadi bahan dasar roti buaya karena dianggap sebagai simbol kemakmuran.

Pernikahan bagi bangsa Eropa juga dianggap sakral, sehingga kerap menggunakan simbol salah satunya bunga.

Karena tidak mau menyamai bangsa Eropa, maka masyarakat Betawi akhirnya memilih menggunakan roti untuk membuat simbol buaya sebagai lambang kesakralan pernikahan.

Baca juga: Sambut HUT Jakarta, Yuk Cicipi 6 Kuliner Legendaris DKI Favorit Alika Islamadina Ini

6. Dulu tidak boleh dimakan

Saat itu, roti buaya baru dibuat dari roti tawar tanpa rasa. Roti tersebut pun tidak boleh dimakan. Roti buaya hanya dijadikan simbol dan pajangan saja.

“Sesudah anak perawannya mendapat lamaran pemuda dan sudah ada ijab kabul, maka itu dipajang sebagai tanda. Entah ditempelkan di garda depan rumah atau disimpan di lemari pajangan,” papar Yahya.

Memasuki abad ke-20, masyarakat kemudian memprotes tradisi tersebut.

Mereka menganggap hal tersebut jadi sesuatu yang mubazir. Sejak itulah para pembuat roti kemudian mulai membuat roti buaya manis yang bisa dimakan.

Tradisi kemudian berubah. Setelah upacara ijab kabul berakhir, roti buaya kemudian dipotong-potong lalu dibagikan ke anak-anak tetangga.

“Terutama anak perawan supaya di kesawaban. Itu artinya ketularan. Anak perawan yang sudah berumur 25 sampai 30-an supaya kesawaban nikah,” pungkas Yahya.

Buku “Kuliner Betawi: Selaksa Rasa dan Cerita” produksi Akademi Kuliner Indonesia terbitan Gramedia Pustaka Utama dapat dibeli secara online di Gramedia.com.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com