Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

6 Fakta Roti Buaya yang Identik dengan Pernikahan Adat Betawi

KOMPAS.com – Pernikahan adat Betawi tampaknya kurang lengkap jika tidak menyertakan sepasang roti buaya. Biasanya, sepasang roti buaya akan diusung bersama dengan barang seserahan.

Dalam rangka merayakan ulang tahun ke-494 Jakarta  yang jatuh pada Selasa (22/6/2021), simak beberapa faktar seputar roti buaya seperti yang sudah dirangkum Kompas.com berikut.

1. Manifestasi siluman buaya

Konon katanya, bentuk buaya dari roti ini tak sembarangan. Bentuk ini merupakan manifestasi dari pemahaman masyarakat Betawi soal siluman buaya.

“Roti buaya adalah simbol lanjut kehidupan,” kata Budayawan Betawi Yahya Andi Saputra seperti dikutip dari berita Kompas.com.

Menurut Yahya, siluman buaya tersebut dipercaya tinggal di sumber mata air di lingkungan sekitar tempat tinggal masyarakat Betawi.

“Karena si buaya siluman ini menjaga salah satu sumber kehidupan yakni entuk atau sumber mata air,” sambung dia.

Dalam istilah bahasa Betawi lama, kata Yahya, siluman buaya tersebut disebut sebagai ‘aji putih nagaraksa’.

2. Filosofi kehidupan baru

Sumber mata air tersebut biasanya ditumbuhi pepohonan rimbun yang membuat banyak orang beranggapan bahwa tempat itu angker dan dijaga oleh siluman buaya.

Maka dari itu, bentuk buaya kemudian dipilih jadi simbol melanjutkan kehidupan baru dalam prosesi pernikahan.

Sepasang roti buaya diibaratkan sebagai sepasang keluarga baru yang akan meneruskan kehidupan.

3. Jadi perlambang suami istri

Seperti dikutip dari buku “Kuliner Betawi: Selaksa Rasa & Cerita” produksi Akademi Kuliner Indonesia terbitan PT Gramedia Pustaka Utama, disebutkan bahwa sepasang roti buaya melambangkan mempelai pria dan wanita yang akan menikah.

Roti buaya yang berukuran lebih besar melambangkan mempelai pria. Sementara, yang berukuran lebih kecil melambangkan mempelai wanita.

Selain sepasang roti buaya tersebut, ada pula beberapa roti buaya yang sangat kecil.

Roti tersebut jadi perlambang bahwa mempelai wanita siap melepas masa lajang dan menjadi istri untuk memberikan keturunan kepada mempelai pria.


 

4. Jadi perlambang kesetiaan

Tak itu saja, bentuk buaya juga dipilih karena jadi simbol janji setia kedua mempelai pengantin.

Konon katanya, buaya adalah hewan paling setia dan hanya memiliki satu pasangan di sepanjang hidupnya.

Karena hal itulah masyarakat Betawi percaya bahwa roti buaya akan membawa keberuntungan, kemakmuran, harapan, dan kesetiaan pada tiap pasangan yang baru menikah.

5. Dulu tidak terbuat dari roti

Sebelum terbuat dari roti, ternyata dulu roti buaya sempat terbuat dari anyaman daun kelapa atau kayu.

Hal tersebut berubah ketika industri pabrik roti mulai ada di Nusantara sekitar akhir abad ke-17 dan 18. Menurut Yahya, sejak itu roti buaya mulai benar-benar dibuat dari roti.

Selain itu, ada pula versi lain penggunaan roti sebagai bahan dasar roti buaya. Konon hal tersebut bermula sejak masuknya bangsa Eropa ke Batavia.

Saat itu, roti jadi makanan langka dan mahal yang hanya bisa disantap oleh kaum bangsawan Eropa.

Maka dari itu, roti dipilih menjadi bahan dasar roti buaya karena dianggap sebagai simbol kemakmuran.

Pernikahan bagi bangsa Eropa juga dianggap sakral, sehingga kerap menggunakan simbol salah satunya bunga.

Karena tidak mau menyamai bangsa Eropa, maka masyarakat Betawi akhirnya memilih menggunakan roti untuk membuat simbol buaya sebagai lambang kesakralan pernikahan.

6. Dulu tidak boleh dimakan

Saat itu, roti buaya baru dibuat dari roti tawar tanpa rasa. Roti tersebut pun tidak boleh dimakan. Roti buaya hanya dijadikan simbol dan pajangan saja.

“Sesudah anak perawannya mendapat lamaran pemuda dan sudah ada ijab kabul, maka itu dipajang sebagai tanda. Entah ditempelkan di garda depan rumah atau disimpan di lemari pajangan,” papar Yahya.

Memasuki abad ke-20, masyarakat kemudian memprotes tradisi tersebut.

Mereka menganggap hal tersebut jadi sesuatu yang mubazir. Sejak itulah para pembuat roti kemudian mulai membuat roti buaya manis yang bisa dimakan.

Tradisi kemudian berubah. Setelah upacara ijab kabul berakhir, roti buaya kemudian dipotong-potong lalu dibagikan ke anak-anak tetangga.

“Terutama anak perawan supaya di kesawaban. Itu artinya ketularan. Anak perawan yang sudah berumur 25 sampai 30-an supaya kesawaban nikah,” pungkas Yahya.

Buku “Kuliner Betawi: Selaksa Rasa dan Cerita” produksi Akademi Kuliner Indonesia terbitan Gramedia Pustaka Utama dapat dibeli secara online di Gramedia.com.

https://www.kompas.com/food/read/2021/06/22/133400075/6-fakta-roti-buaya-yang-identik-dengan-pernikahan-adat-betawi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke