Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Makna Nama Songgo Buwono, Burger Tradisional Yogyakarta

KOMPAS.com - Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), ternyata punya kuliner khas yang bernama songgo buwono.

Dilansir dari Kompas.com, Senin (22/4/2024), Direktur Utama Bale Raos, Sumartoyo yang akrab disapa Toyo mengatakan, songgo buwono mirip dengan burger masa kini.

Kuliner yang sudah ada sejak akhir pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) VII ini memang mendapat pengaruh dari eropa, sehingga penyajiannya mirip burger.

Songgo buwono disajikan dalam tiga bagian, yakni sous (roti), kemudian diisi ragout (aneka potongan sayuran dan daging ayam yang dibumbui), lalu dressing dari saus mustard jawa.

"Jadi generasi muda, enggak usah minder dengan kuliner kita. Kalau di barat ada burger, kita punya songgo buwono yang itu hampir mirip,” ujar Toyo.

“Jadi simbolisasi sebetulnya. Simbolisasi bahwa kita menghidangkan jamuan makan itu pada acara-acara tertentu, acara pernikahan, itu punya makna dan punya harapan," kata Toyo.

Ia melanjutkan, adanya songgo buwono pada suatu pernikahan adalah untuk menyangga kehidupan yang selanjutnya.

Disebutkan Toyo, dulunya Sangga Buwana memang disajikan untuk menjamu tamu-tamu dari Belanda, baik sebelum maupun pasca-kemerdekaan.

“Masyarakat Yogyakarta tahun 50-an, 60-an itu, kalau ada suatu keluarga punya pesta pernikahan, kemudian menyajikan songgo buwono, itu pasti dari kalangan tertentu (kaya)," sambung dia.

Dikatakan Toyo, eksistensi songgo buwono di masyarakat sangat populer di era 50-an, 60-an bahkan sampai 70-an.

Namun seiring perkembangan zaman, kuliner tersebut sempat mengalami penurunan kepopuleran pada tahun 80-an 90-an. Pada akhir tahun 90-an dan tahun 2000-an, songgo buwono baru mulai banyak dikenal lagi, biasanya masa-masa bulan Ramadhan.

“Dari segi perjalanan Sangga Buwana yang tadinya hanya di kalangan Keraton, priayi, namun kemudian atas keterbukaan dari Keraton Yogyakarta, sampai saat ini juga, itu bisa dinikmati masyarakat," ujar Toyo.

Pada bulan Ramadan, songgo buwono menjadi santapan para priyayi dan para kalangan menengah, untuk berbuka puasa lantaran kandungan gizi komplet.

“Biasanya juga dulu kalau tidak Ramadan, juga dihidangkan pada saat syawalan. Tahun 60-an 70-an, itu menjadi yang ditunggu-tunggu bagi anak-anak. Songgo buwono itu karena tidak semua orang bisa bikin, jadi pada momen-momen tertentu hanya bisa didapatkan,” ungkap Toyo.

Sangga Buwana pun kini telah menjadi salah satu kuliner yang telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya TakBenda (WBTB). Toyo mengutarakan, pihak Keraton sendiri tidak mengklaim atau tidak mendaftarkan hak intelektualnya.

“Supaya songgo buwono bisa lestari, ya harus hidup di masyarakat. Inilah bentuk keterbukaan Keraton Yogyakarta, bagaimana kuliner itu hidup di masyarakat yang bisa dinikmati, dibuat, dikembangkan, dan menjadi komoditas ekonomi, khususnya industri rumahan,” pungkas Toyo.

https://www.kompas.com/food/read/2024/04/22/120100375/makna-nama-songgo-buwono-burger-tradisional-yogyakarta

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke