Bayangkan, bila sampai para siswa yang jadi korban membaca pernyataan “Gas Tertiup Angin” tersebut, upaya guru atau pendidikan mencerdaskan kehidupan bangsa lewat penalaran logika dan kritis, menjadi tidak berguna.
Karena di depan sorot kamera pun, aparat negara masih dengan percaya diri mempertontonkan pikiran dangkal yang rendah argumen dan tanggung jawab. Para siswa yang berlari ke hutan, akhirnya melihat semua ini sebagai rekam jejak pelajaran nyata.
Kita perlu sedikit banyak belajar pada persoalan di Jepang perihal kalkulasi pendidikan. Stasiun Kami-Shirataki yang terletak di Pulau Hokkaido selama tiga tahun telah mengalami penurunan jumlah penumpang yang signifikan.
Operator Japan Railway (JR) telah merencanakan penutupan stasiun ini, mengingat lokasinya yang terpencil serta berhentinya pengiriman kereta kargo di sana.
Namun, putusan tersebut diubah ketika JR mengetahui adanya siswi Sekolah Menengah Atas yang setia pergi pulang sekolah menggunakan layanan kereta tersebut.
JR memutuskan untuk mengurungkan niat penutupan dan mengambil langkah-langkah untuk menjaga stasiun tetap beroperasi.
Bahkan, mereka menyesuaikan jadwal kereta dengan jadwal siswi SMA tersebut. Stasiun Kami-Shirataki dengan JR telah mengambil komitmen untuk menjaga operasional stasiun ini hingga siswi SMA tersebut menyelesaikan pendidikannya.
Dari keadaan tersebut, dapat kita pahami bahwa kalkulasi pendidikan diletakkan terdepan melampaui budaya, lingkungan, apalagi ekonomi.
Pikiran untung rugi benar-benar hampir tidak diperlihatkan. Sekalipun secara peraturan dan perhitungan akomodasi biaya jelas bertentangan, namun mereka lebih percaya bahwa pendidikan jauh dari segalanya.
Mungkin dari kalkulasi ekonomi, hal tersebut lebih banyak ruginya. Karena mengoperasikan kereta hanya untuk satu penumpang di tiap hari.
Namun sayangnya pemerintah Jepang mengesampingkan kalkulasi seperti itu. Orientasi kebutuhan pendidikan untuk generasi muda diprioritaskan melebihi apapun. Diletakkan pada titik terdepannya.
Sangat tidak mengherankan bila itu terjadi, mengingat setelah diluluhlantahkan dengan bom atom saja, justru guru yang lebih dipikirkan oleh Jepang. Ini cerminan budaya yang luar biasa dalam menghargai, menjalankan, dan mengapresiasi pendidikan.
Harusnya kalkulasi semacam itu yang dikedepankan oleh aparat dan negara dalam persoalan agraria Rempang.
Bukankah mereka dengan sadar tahu lokasi bentrok terdapat sekolah dan pemukiman penduduk? Mereka sebenarnya bekerja dan bertugas untuk kepentingan siapa?
Kalaupun sudah jelas ada begitu banyak massa menghadang di depan, bukankah sebaik-baiknya langkah adalah mundur dan mengedepankan musyawarah ulang?