Sayangnya, cerminan luar biasa seperti yang Jepang lakukan hampir tidak pernah dipertontonkan negara Indonesia.
Seluruh pejabat Indonesia, baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif, semuanya selalu mempertontonkan ketamakan dan orientasi perut.
Mereka lebih suka berdalil dan berlindung di balik aturan perundang-undangan dan hitung-hitungan jabatan politik perintah.
Sehingga tanggung jawab etik dan pikiran aksiologi selalu jadi slogan pinggiran yang cuma digaungkan saat kampanye pemilu.
Dalam kasus gas air mata yang masuk ke sekolah cukup memperlihatkan bahwa memang pendidikan rasanya “tidak penting” di Indonesia ini.
Bahkan sejak kasus rempang beserta video represi itu beredar pun, Nadiem Makarim belum memberi sikap. Padahal jajaran kementerian pendidikan sedang gembar-gembor promosi merdeka belajar.
Mentok dalam kasus-kasus begini, sekolah akan diliburkan. Bukankah ini juga sama saja mengurangi hak para siswa mendapat waktu belajar yang sama?
Apakah merdeka belajar itu selalu urusan administrasi, konten, dan apresiasi? Apa jaminan keamanan, kenyamanan, dan ketentraman wilayah tidak masuk implementasi merdeka belajar?
Apa yang terjadi di Rempang cukup menunjukkan bahwa semua bergerak dan bertugas atas dasar perintah konglomerasi.
Tidak ada pembelajaran kebudayan, kebhinekaan, kebangsaan, apalagi olah pikir pendidikan di sana. Hal ini perlu kita renungkan bersama sebagai bangsa. Di mana sebenarnya kita melatakkan fungsi dan peran pendidikan?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.