Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Taufan Teguh Akbari
Dosen

Pengamat dan praktisi kepemudaan, komunikasi, kepemimpinan & komunitas. Saat ini mengemban amanah sebagai Wakil Rektor 3 IKB LSPR, Head of LSPR Leadership Centre, Chairman Millennial Berdaya Nusantara Foundation (Rumah Millennials), Pengurus Pusat Indonesia Forum & Konsultan SSS Communications.

Tantangan Kepemimpinan Perguruan Tinggi Kini dan Nanti

Kompas.com - 07/06/2023, 16:55 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

TEKNOLOGI telah mendemokratisasi persebaran ilmu pengetahuan. Berbagai platform pembelajaran online membuat masyarakat memiliki banyak pilihan untuk mengembangkan diri.

Ada Coursera, Udemy, dan Khan Academy yang merupakan platform pengembangan diri dengan harga terjangkau.

Masyarakat bisa belajar banyak hal di sana, mulai dari copywriting, digital marketing, teknik menulis, dan masih banyak lagi.

Kemudian ada ChatGPT, yang telah mendisrupsi praktik pembelajaran tradisional. Aplikasi berbasis kecerdasan buatan (AI) tersebut mampu membantu menyelesaikan tugas mahasiswa/I dalam waktu singkat.

AI juga saat ini mendisrupsi banyak pekerjaan, yang membuat masyarakat khawatir apakah pekerjaannya tergantikan atau tidak.

Meskipun teknologi membuat masyarakat memiliki banyak pilihan, saya tetap melihat pentingnya peran perguruan tinggi.

Menurut survei Indikator Politik Indonesia tahun 2022, sebanyak 82,1 persen responden orangtua menginginkan anaknya melanjutkan pendidikan setelah sekolah menengah atas (SMA) atau sekolah menengah kejuruan (SMK). Orangtua menganggap perguruan tinggi adalah pengubah nasib keluarga.

Masalah pembiayaan

Namun demikian, akan ada banyak orang terancam untuk tidak bisa menikmati pendidikan tinggi. Menurut riset dari Kompas tahun 2022, biaya studi pada masa depan diperkirakan akan naik 6,03 persen per tahun.

Ini menjadi tantangan bagi orangtua dan perguruan tinggi. Bagi orangtua, kenaikan biaya membuat mereka harus menyiapkan dana sedini mungkin.

Sedangkan bagi perguruan tinggi, tantangannya adalah bagaimana institusi terus memberikan pelayanan maksimal bagi para anak muda.

Kenaikan biaya kuliah memiliki beberapa sebab, seperti yang diungkapkan Beth Akers, Ekonom dari Manhattan Institute: pembengkakan administrasi, pembangunan fasilitas kampus, model yang bergantung pada tenaga kerja berupah tinggi, dan mudahnya memperoleh pinjaman mahasiswa.

Keempat faktor ini berpengaruh terhadap pembiayaan kampus, sehingga memengaruhi besaran uang kuliah mahasiswa/I.

Pembiayaan menjadi faktor penting agar terselenggaranya pengajaran berkualitas. Mengutip dari VICE, dua komponen pengeluaran terbesar kampus, yakni gaji dosen dan sarana prasarana dapat mencapai 85 persen total anggaran.

Ketika biaya operasional naik, maka imbasnya adalah biaya kuliah harus naik untuk menutupi semua itu.

Kembali mengutip dari VICE, menurut Totok Soefijanto dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), biaya operasional kampus yang naik erat kaitannya dengan aspirasi perguruan tinggi yang ingin menjadi kelas dunia.

Masalah pembiayaan perguruan tinggi tidak hanya terjadi di Indonesia. Perguruan tinggi di negara-negara barat juga mengalami masalah yang sama.

Riset dari EY dan Times Higher Education tahun 2023 menemukan bahwa lebih banyak universitas yang tidak maksimal dalam memberikan pengalaman terbaik bagi mahasiswa/I-nya karena masalah pembiayaan.

Dampak dari masalah pembiayaan ini tidak hanya dirasakan perguruan tinggi, namun juga orangtua dan stakeholder terkait.

Vice Chancellor dari Universitas London menjelaskan bahwa konsekuensi dari masalah finansial adalah: “...eventually the attractiveness of a university education both to the domestic and international student market… is going to be detrimentally affected.”

Masalah ini bisa menjadi refleksi bagi kita, khususnya pemimpin perguruan tinggi. Universitas perlu mencari berbagai pembiayaan mandiri agar tetap menjadi tempat yang tepat bagi anak muda menyongsong masa depan.

Bahkan, perguruan tinggi harus mengambil kesempatan untuk pivot apabila masih memiliki kekuatan finansial yang mumpuni.

Daniel Greenstein, Chancellor dari Sistem Perguruan Tinggi Pennsylvania mengatakan bahwa, “...If you are going to pivot, you want to do it when you have money in the bank.”

Mismatch perguruan tinggi - industri

Selain masalah pembiayaan, tantangan lainnya adalah perguruan tinggi belum mampu menjawab kebutuhan industri.

Ini bisa terlihat dari survei dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Pendidikan Tinggi (Kemendikbud-Ristek). Pada survei yang dilakukan tahun 2021, sebanyak 80 persen lulusan perguruan tinggi tidak bekerja sesuai jurusan yang diampu.

Bekerja tidak sesuai bidang pendidikan memiliki dampak negatif bagi masyarakat. Riset dari Tran et.al (2019) menyimpulkan bahwa ketidakcocokan pendidikan dan pekerjaan berefek pada pendapatan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com