Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Tantangan Kepemimpinan Perguruan Tinggi Kini dan Nanti

Ada Coursera, Udemy, dan Khan Academy yang merupakan platform pengembangan diri dengan harga terjangkau.

Masyarakat bisa belajar banyak hal di sana, mulai dari copywriting, digital marketing, teknik menulis, dan masih banyak lagi.

Kemudian ada ChatGPT, yang telah mendisrupsi praktik pembelajaran tradisional. Aplikasi berbasis kecerdasan buatan (AI) tersebut mampu membantu menyelesaikan tugas mahasiswa/I dalam waktu singkat.

AI juga saat ini mendisrupsi banyak pekerjaan, yang membuat masyarakat khawatir apakah pekerjaannya tergantikan atau tidak.

Meskipun teknologi membuat masyarakat memiliki banyak pilihan, saya tetap melihat pentingnya peran perguruan tinggi.

Menurut survei Indikator Politik Indonesia tahun 2022, sebanyak 82,1 persen responden orangtua menginginkan anaknya melanjutkan pendidikan setelah sekolah menengah atas (SMA) atau sekolah menengah kejuruan (SMK). Orangtua menganggap perguruan tinggi adalah pengubah nasib keluarga.

Masalah pembiayaan

Namun demikian, akan ada banyak orang terancam untuk tidak bisa menikmati pendidikan tinggi. Menurut riset dari Kompas tahun 2022, biaya studi pada masa depan diperkirakan akan naik 6,03 persen per tahun.

Ini menjadi tantangan bagi orangtua dan perguruan tinggi. Bagi orangtua, kenaikan biaya membuat mereka harus menyiapkan dana sedini mungkin.

Sedangkan bagi perguruan tinggi, tantangannya adalah bagaimana institusi terus memberikan pelayanan maksimal bagi para anak muda.

Kenaikan biaya kuliah memiliki beberapa sebab, seperti yang diungkapkan Beth Akers, Ekonom dari Manhattan Institute: pembengkakan administrasi, pembangunan fasilitas kampus, model yang bergantung pada tenaga kerja berupah tinggi, dan mudahnya memperoleh pinjaman mahasiswa.

Keempat faktor ini berpengaruh terhadap pembiayaan kampus, sehingga memengaruhi besaran uang kuliah mahasiswa/I.

Pembiayaan menjadi faktor penting agar terselenggaranya pengajaran berkualitas. Mengutip dari VICE, dua komponen pengeluaran terbesar kampus, yakni gaji dosen dan sarana prasarana dapat mencapai 85 persen total anggaran.

Ketika biaya operasional naik, maka imbasnya adalah biaya kuliah harus naik untuk menutupi semua itu.

Kembali mengutip dari VICE, menurut Totok Soefijanto dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), biaya operasional kampus yang naik erat kaitannya dengan aspirasi perguruan tinggi yang ingin menjadi kelas dunia.

Masalah pembiayaan perguruan tinggi tidak hanya terjadi di Indonesia. Perguruan tinggi di negara-negara barat juga mengalami masalah yang sama.

Riset dari EY dan Times Higher Education tahun 2023 menemukan bahwa lebih banyak universitas yang tidak maksimal dalam memberikan pengalaman terbaik bagi mahasiswa/I-nya karena masalah pembiayaan.

Dampak dari masalah pembiayaan ini tidak hanya dirasakan perguruan tinggi, namun juga orangtua dan stakeholder terkait.

Vice Chancellor dari Universitas London menjelaskan bahwa konsekuensi dari masalah finansial adalah: “...eventually the attractiveness of a university education both to the domestic and international student market… is going to be detrimentally affected.”

Masalah ini bisa menjadi refleksi bagi kita, khususnya pemimpin perguruan tinggi. Universitas perlu mencari berbagai pembiayaan mandiri agar tetap menjadi tempat yang tepat bagi anak muda menyongsong masa depan.

Bahkan, perguruan tinggi harus mengambil kesempatan untuk pivot apabila masih memiliki kekuatan finansial yang mumpuni.

Daniel Greenstein, Chancellor dari Sistem Perguruan Tinggi Pennsylvania mengatakan bahwa, “...If you are going to pivot, you want to do it when you have money in the bank.”

Mismatch perguruan tinggi - industri

Selain masalah pembiayaan, tantangan lainnya adalah perguruan tinggi belum mampu menjawab kebutuhan industri.

Ini bisa terlihat dari survei dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Pendidikan Tinggi (Kemendikbud-Ristek). Pada survei yang dilakukan tahun 2021, sebanyak 80 persen lulusan perguruan tinggi tidak bekerja sesuai jurusan yang diampu.

Bekerja tidak sesuai bidang pendidikan memiliki dampak negatif bagi masyarakat. Riset dari Tran et.al (2019) menyimpulkan bahwa ketidakcocokan pendidikan dan pekerjaan berefek pada pendapatan.

Sebagai ilustrasi, menurut penelitian dari Veselinovi et.al (2020) yang meneliti Bosnia-Herzegovina, dampaknya bahkan lebih tinggi lagi, sekitar 13 persen-15 persen.

Ketidaksesuaian ini juga berdampak pada industri. Pelaku industri kesulitan mencari talenta dengan latar belakang pendidikan yang tepat.

Muhammad Fajrin, Direktur Digital Business PT Telkom Indonesia, mengungkapkan kesusahannya mencari programmer di Indonesia. Maka dari itu, banyak pelaku industri teknologi yang mencari talenta dari negara lain.

Oleh karena itu, masih banyak lulusan perguruan tinggi yang belum mendapatkan pekerjaan. Menurut data BPS tahun 2022, di Indonesia terdapat 673.485 lulusan dan 159.490 diploma berstatus pengangguran.

Menyikapi hal tersebut, saya rasa perlu adanya kesinambungan antara perguruan tinggi, harapan masyarakat, serta kebutuhan industri.

Dari sisi perguruan tinggi, pemimpin perlu lebih menyesuaikan diri terhadap aspirasi masyarakat. Aspirasi tersebut harus dikonversikan jadi langkah praktis yang bermanfaat bagi semua pihak.

Terlebih, harapan yang bisa disematkan kepada perguruan tinggi sangat tinggi. Pemimpin perguruan tinggi bisa merespons dengan memberikan yang terbaik agar tetap relevan.

Profesor Mike Hardy, Adjunct Profesor dari LSPR Communication & Business Insitute menyarankan perlunya membangun interaksi yang saling bermanfaat antara perguruan tinggi dan industri.

Industri memang akan mencari universitas untuk mendapatkan saran. Perguruan tinggi harus merespons dengan memastikan bahwa mereka adaptif terhadap kebutuhan industri.

Terlebih, perguruan tinggi merupakan “persiapan akhir” untuk menuju dunia profesional.

Dalam artikel yang dimuat di The Conversation, Carter Bing Andika mengatakan bahwa kampus adalah pit-stop layaknya pada olahraga balapan. Pelajar melakukan persiapan terakhir sebelum mereka menjalani iklim dunia kerja setelah lulus.

Kurikulum yang adaptif

Dua masalah di atas memiliki pendekatan dan jangka waktu yang berbeda. Masalah pembiayaan mungkin akan membutuhkan proses yang cukup lama karena merupakan perubahan sistem.

Sedangkan untuk masalah mismatch, kita bisa melakukan perubahan dalam sisi kurikulum. Kabar baiknya, perubahan kurikulum bisa kita lakukan sekarang juga!

Kurikulum menjadi nyawa bagi perguruan tinggi, apakah mereka bisa membekali mahasiswa/i dengan kemampuan yang dibutuhkan atau tidak.

Akareem & Hossain (2016) harus membuat kurikulum yang bisa menciptakan sinergi antara pembelajaran institusional dan penerapan pembelajaran tersebut dalam karier anak muda.

Terlebih, anak muda sekarang lebih selektif dalam memilih perguruan tinggi. Ada dua pertimbangan utama menurut survei dari grup ECMC tahun 2022: karier (82 persen) dan kemampuan (81 persen).

Dari hasil ini, kita bisa melihat bahwa anak muda sekarang menginginkan pengembalian investasi yang cepat. Mereka tidak ingin menyia-nyiakan waktunya di perguruan tinggi. Anak muda yang merupakan peserta didik ingin berkembang lebih cepat.

Selain itu, penetrasi kecerdasan buatan yang semakin intens di banyak bidang mendorong perguruan tinggi untuk terus meningkatkan kurikulumnya.

Banyak penelitian yang menyimpulkan bahwa kecerdasan buatan (AI) akan mengambil alih sebagian besar pekerjaan manusia saat ini.

Penelitian Goldman Sachs tahun 2023 ini memperkirakan 18 persen pekerjaan akan diotomatisasi.

Riset dari MIT dan Universitas Boston tahun 2020 lalu, AI akan menggantikan dua juta pekerjaan di bidang manufaktur.

Saat ini, stasiun televisi menggunakan AI sebagai presenter dan perguruan tinggi mengaplikasikan AI untuk melakukan tugas dosen.

AI akan terus memasuki semua sendi kehidupan. Hadirnya ChatGPT telah membawa dampak yang besar bagi pekerjaan.

Menurut analis dari Elondou et.al (2023), ChatGPT dapat berdampak pada 80 persen pekerjaan di Amerika Serikat (AS).

Oleh karena itu, sebagai tempat untuk mempersiapkan generasi selanjutnya, perguruan tinggi harus menyesuaikan kurikulumnya agar lulusan tidak tergantikan oleh AI.

Ada dua hal yang bisa dilakukan oleh pemimpin perguruan tinggi untuk membuat kurikulum yang adaptif.

Menurut Profesor Mike, setiap insan akademik, khususnya pimpinan perguruan tinggi perlu didorong untuk mengaplikasikan tiga pembelajaran.

Pertama, hindsight, yaknimeninjau dan menafsirkan ilmu pengetahuan dengan pemahaman yang dimiliki saat ini untuk menganalisis kejadian masa lalu.

Kedua, insight, yakni menggunakan pengetahuan dan pemahaman yang sudah ada untuk menganalisis kejadian atau situasi yang terjadi saat ini.

Ketiga, foresight, yakni  menggunakan pengetahuan dan pemahaman yang dimiliki saat ini untuk membuat proyeksi apa yang akan terjadi pada masa depan.

Pendekatan hindsight (looking backward), insight (what happen now) dan foresight (looking forward) memberikan pemahaman bahwa pengajar saat ini, pertama perlu memfokuskan proses kegiatan belajar mengajar melalui pendekatan (insights) untuk mengasah daya kritis dan proses berpikir kreatif yang solutif.

Namun jangan lupa untuk lebih banyak menambah bobot pendekatan pelajaran yang mengajak peserta didik untuk berimajinasi tentang apa yang terjadi pada masa depan berdasarkan pemahaman yang mereka miliki saat ini (foresights).

Dengan begitu, kita mengasah daya imajinatif peserta didik kita untuk lebih berpikir kreatif dan kritis.

Menurut Profesor Mike, banyak perguruan tinggi yang hanya fokus pada hindsight. Hindsight memang penting, namun foresight dan insight juga sangat relevan dengan karakteristik dan tipologi peserta didik saat ini.

Sehingga, tiga hal ini perlu kita ajarkan kepada mahasiswa/i agar mereka memiliki kapasitas untuk menentukan langkah tepat, baik itu dalam konteks personal maupun profesional, khususnya dalam ruang lingkup perguruan tinggi.

Profesor Mike menyarankan agar kurikulum perguruan tinggi menyeimbangkan kurikulum fundamental dan kurikulum teknikal.

Kurikulum fundamental lebih kepada critical thinking, pemecahan masalah, kemampuan adaptif, kolaborasi, dan lain sebagainya.

Sedangkan kemampuan teknis mencakup kebutuhan yang dibutuhkan dunia industri, apakah itu pemasaran digital, analisis data, dan lain sebagainya.

Agar kurikulum berjalan maksimal, struktur pembelajaran kelas harus flat. Maksudnya adalah hubungan yang lebih ‘luwes’ dan dekat antara dosen dan mahasiswa/i.

Kelas harus menjadi tempat untuk diskusi yang konstruktif antara dosen dan mahasiswa/i. Mahasiswa/i bukan hanya sebagai penerima, tetapi mereka bisa mengkritisi.

Dosen pun demikian, mereka perlu terbiasa untuk berdialog dan menerima masukan untuk pengembangan kegiatan belajar mengajar yang lebih efektif.

Pembelajaran seperti ini akan meningkatkan daya kritis dan kemampuan membangun argumen yang logis dan konstruktif. Ini juga melatih empati karena kemauan kita untuk mendengarkan perspektif yang berbeda.

Kesimpulannya, dosen perlu dijaga sebagai aset terpenting bagi perguruan tinggi, teknologi berkembang dengan sangat cepat dan konsekuensinya adalah perguruan tinggi perlu berubah secepat dari yang sebelumnya kita bayangkan.

Masalah pembiayaan mungkin butuh proses yang lama karena ada banyak faktor yang memengaruhi.

Akan tetapi, perguruan tinggi bisa secara berkesinambungan untuk meningkatkan kapasitas pengajar agar dapat menyesuaikan kurikulum berdasarkan perkembangan zaman.

Dengan terus menyesuaikan kurikulum dan meningkatkan kompetensi pedagogi para pengajarnya, perguruan tinggi bisa membekali lulusan dengan baik sehingga mampu bersaing di dunia industri.

Mempersempit jarak antara yang dibutuhkan industri dengan kualitas lulusan yang sesuai kriteria. Itu semua bisa terjadi, dan semua berasal dari kepemimpinan perguruan tinggi dengan komitmen yang kuat.

https://www.kompas.com/edu/read/2023/06/07/165533171/tantangan-kepemimpinan-perguruan-tinggi-kini-dan-nanti

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke