Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jusuf Irianto
Dosen

Guru Besar di Departemen Administrasi Publik FISIP Universitas Airlangga, Surabaya

ChatGPT dan Etika Akademis

Kompas.com - 30/05/2023, 12:04 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Di laman chatbot diberitakan OpenAI, startup yang berkantor pusat di San Francisco, mendapat kucuran dana pengembangan sebesar 10 miliar dolar AS dari salah satu giant-tech. ChatGPT yang sangat populer dihasilkan oleh OpenAI.

Lantas, bagaimana menyikapi kehadiran teknologi chatbot semisal ChatGPT yang terus dikembangkan secara lebih bijaksana? ChatGPT diprogram untuk membaca beragam teks internet dan kemudian menghasilkan respons terhadap perintah tertentu seperti layaknya dilakukan manusia.

Respon chat berdasarkan arsitektur Generative Pre-training Transformer (GPT) bertujuan untuk melaksanakan berbagai tugas seperti menjawab pertanyaan, menerjemahkan naskah, dan meringkas teks. Penggunaan ChatGPT bisa sekadar untuk fun atau serius secara fungsional. Membuat konten blog atau medsos, membuat abstrak, atau menemukan informasi tanpa mesin pencarian yang telah populer digunakan - adalah daftar sejumlah amsal manfaat fungsional dari ChatGPT.

Benturan Etika Akademis

Namun, terdapat potensi benturan antara penggunaan ChatGPT dengan masalah etika. Beberapa perguruan tinggi di dunia termasuk beberapa kampus di Indonesia kini serius menyiapkan dokumen standar etika untuk mengatur penggunaan chatbot.

Bagi perguruan tinggi, kemunculan ChatGPT memang dilematis. Di satu sisi mempermudah kompilasi data dan informasi, namun berisiko memadamkan kreativitas. Berbagai universitas menghindari dilema kemunculan ChatGPT dikaitkan dengan etika.

Karena itu, bakal diatur etika penilaian (assessment) untuk tulisan hasil karya sendiri dibandingkan dengan hasil chatbot. Persoalan juga menyentuh etika publikasi. Penggunaan ChatGPT yang tak terhindarkan memaksa untuk diadakan aturan khusus untuk publikasi dan sharing atas karya akademis yang dihasilkan AI.

Penerbit terkemuka, yaitu Springer Nature, menyatakan hasil ChatGPT bukan sebagai karya ilmiah. Namun, penulis (ilmuwan) tetap diizinkan untuk menggunakan AI dalam menghasilkan karya tulis berisi berbagai ide berbasis riset.

Jika aturan dan etika penggunaan telah ada, ChatGPT bisa menjadi alat yang baik karena memberikan nilai tambah bagi kehidupan kampus lebih kreatif dan mendorong pemikiran kritis.

Hubungan civitas academica dengan chatbot diarahkan lebih kolaboratif. Dosen dan mahasiswa memberi solusi inovatif dan kreatif dalam menghadapi berbagai masalah didukung chatbot.

ChatGPT atau produk AI sejenis merupakan pintu pembuka bagi percepatan capaian hasil akademis. Kini, terpulang pada civitas academica menjunjung etika akademis lebih tinggi saat memanfaatkan chatbot. ChatGPT tak perlu dikhawatirkan seperti saat kali pertama kalkulator dirilis. Bukankah kalkulator terbukti bukan sebagai ancaman?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com