Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jusuf Irianto
Dosen

Guru Besar di Departemen Administrasi Publik FISIP Universitas Airlangga, Surabaya

ChatGPT dan Etika Akademis

Kompas.com - 30/05/2023, 12:04 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DUNIA akademis digemparkan kemunculan ChatGPT. Pada pertengahan Mei 2023, Foxnews.com memberitakan, penerbitan ijazah sekelompok lulusan Texas A&M University di Amerika Serikat (AS) ditunda sementara setelah terbukti sebagian karya tulis mereka menggunakan ChatGPT.

Ijazah akan diberikan jika para lulusan tersebut memperbaiki tulisannya atau mengakui bahwa karya tulis akademik yang dihasilkan menggunakan chatbot. Tak pelak, kasus itu menimbulkan kehebohan.

Jajaran pimpinan Texas A&M University merespon skandal tersebut. Kebijakan baru akan segera dibuat untuk mengatur penggunaan dan mengatasi penyalahgunaan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI).

Baca juga: ChatGPT dan Pak Menteri

Memunculkan Dilema bagi Dunia Akademis 

Munculnya chatbot menjadi dilema bagi dunia akademis. Di satu sisi memudahkan dosen dan mahasiswa memperoleh informasi. Di sisi lain terdapat risiko plagiarisme serta kekuatiran terhadap akurasi informasi dan penyalahgunaan.

Sebagian kalangan menepis kekuatiran itu berdasarkan realitas yang dapat dikenali dengan mudah. Sejak dirilis akhir 2022, ChatGPT misalnya, mampu merespon semua permintaan users lebih tepat.

Karena itu, penggunannya mencapai ratusan juta orang. Pengguna memanfaatkan ChatGPT untuk menyusun laporan atau membuat artikel. Kinerja ChatGPT versi terbaru bahkan diprediksi mampu meringkas informasi, membuat saran, dan brainstorming ide serta membantu pencarian data atau informasi lebih akurat.

Kehadiran ChatGPT mengancam dominasi Google dalam kegiatan searching di internet. Dengan Chat GPT, pengguna dapat menemukan data atau informasi yang dibutuhkan lebih cepat.

Kemunculan ChatGPT menyebabkan tim manajemen Google menyalakan "kode merah" alias alarm darurat bagi dunia akademis. Dikhawatirkan plagiarisme bertambah marak, sementara mahasiswa kian malas berpikir. Bagai kemunculan kalkulator di masanya, ChatGPT adalah good-news bagi pemalas yang enggan belajar berhitung.

ChatGPT merupakan chatbot atau robot berbasis AI. Teknologi ini mampu menyediakan percakapan serta merespon pertanyaan dan kebutuhan pengguna. Saat membuat makalah atau karya akhir berbentuk skripsi, tesis, atau disertasi, mahasiswa dapat memanfaatkan ChatGPT.

Galibnya mahasiswa butuh skills pengembangan ide, abstraksi masalah dan konsep saat menyusun karya akhir. Selain itu, mahasiswa juga dituntut untuk mampu menjabarkan teori, merancang metode riset, analisis-pembahasan, dan menarik simpulan yang tak mudah dilakukan mandiri.

Dengan ChatGPT mahasiswa lebih mudah menjangkau skills tersebut. Cukup dengan membuka laman penyedia chat sebagai langkah awal, mahasiswa dapat memenuhi kebutuhannya dengan mengetikkan beberapa kata kunci.

Sebagian kalangan khawatir kasus plagiarisme semakin luas sementara mahasiswa tak berkarya secara genuine berdasarkan ide atau pemikiran sendiri. ChatGPT dinilai membunuh kreativitas individu.

Baca juga: Dosen ITB: Ini Bahaya ChatGPT bagi Dunia Pendidikan

Kekhawatiran terhadap ChatGPT membuncah bagi eksistensi bangunan kultur akademis yang telah lama terbangun. Beberapa lembaga pendidikan melarangnya dan ada pula yang tengah mencari pengaturan atas penggunaan ChatGPT untuk proses belajar-mengajar.

Namun, ada pula kalangan yang optimis. Sebagai salah satu bentuk teknologi moderen, ChatGPT mempermudah kehidupan manusia. Berbagai tujuan dan kebutuhan bakal dapat dipenuhi lebih cepat dan tepat. Teknologi AI diprediksi terus berkembang menyesuikan ragam kebutuhan pengguna.

Google mengembangkan produk yang fungsinya mirip ChatGPT. Produk baru ini diberi nama Bard. Sementara raksasa perusahaan teknologi (giant-tech) lain, Microsoft, tak ketinggalan mengembangkan produk serupa yang dinamai Bing.

Di laman chatbot diberitakan OpenAI, startup yang berkantor pusat di San Francisco, mendapat kucuran dana pengembangan sebesar 10 miliar dolar AS dari salah satu giant-tech. ChatGPT yang sangat populer dihasilkan oleh OpenAI.

Lantas, bagaimana menyikapi kehadiran teknologi chatbot semisal ChatGPT yang terus dikembangkan secara lebih bijaksana? ChatGPT diprogram untuk membaca beragam teks internet dan kemudian menghasilkan respons terhadap perintah tertentu seperti layaknya dilakukan manusia.

Respon chat berdasarkan arsitektur Generative Pre-training Transformer (GPT) bertujuan untuk melaksanakan berbagai tugas seperti menjawab pertanyaan, menerjemahkan naskah, dan meringkas teks. Penggunaan ChatGPT bisa sekadar untuk fun atau serius secara fungsional. Membuat konten blog atau medsos, membuat abstrak, atau menemukan informasi tanpa mesin pencarian yang telah populer digunakan - adalah daftar sejumlah amsal manfaat fungsional dari ChatGPT.

Benturan Etika Akademis

Namun, terdapat potensi benturan antara penggunaan ChatGPT dengan masalah etika. Beberapa perguruan tinggi di dunia termasuk beberapa kampus di Indonesia kini serius menyiapkan dokumen standar etika untuk mengatur penggunaan chatbot.

Bagi perguruan tinggi, kemunculan ChatGPT memang dilematis. Di satu sisi mempermudah kompilasi data dan informasi, namun berisiko memadamkan kreativitas. Berbagai universitas menghindari dilema kemunculan ChatGPT dikaitkan dengan etika.

Karena itu, bakal diatur etika penilaian (assessment) untuk tulisan hasil karya sendiri dibandingkan dengan hasil chatbot. Persoalan juga menyentuh etika publikasi. Penggunaan ChatGPT yang tak terhindarkan memaksa untuk diadakan aturan khusus untuk publikasi dan sharing atas karya akademis yang dihasilkan AI.

Penerbit terkemuka, yaitu Springer Nature, menyatakan hasil ChatGPT bukan sebagai karya ilmiah. Namun, penulis (ilmuwan) tetap diizinkan untuk menggunakan AI dalam menghasilkan karya tulis berisi berbagai ide berbasis riset.

Jika aturan dan etika penggunaan telah ada, ChatGPT bisa menjadi alat yang baik karena memberikan nilai tambah bagi kehidupan kampus lebih kreatif dan mendorong pemikiran kritis.

Hubungan civitas academica dengan chatbot diarahkan lebih kolaboratif. Dosen dan mahasiswa memberi solusi inovatif dan kreatif dalam menghadapi berbagai masalah didukung chatbot.

ChatGPT atau produk AI sejenis merupakan pintu pembuka bagi percepatan capaian hasil akademis. Kini, terpulang pada civitas academica menjunjung etika akademis lebih tinggi saat memanfaatkan chatbot. ChatGPT tak perlu dikhawatirkan seperti saat kali pertama kalkulator dirilis. Bukankah kalkulator terbukti bukan sebagai ancaman?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com