Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Sutawi
Dosen

Guru Besar Universitas Muhammadiyah Malang

Ketika Dosen Kehilangan Kodrat

Kompas.com - 01/03/2023, 07:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Ada tiga unsur penilaian JIB oleh Tim PAK Pusat, yaitu relevansi kompetensi dosen dengan substansi karya ilmiah, kesesuaian antara lingkup/subyek area jurnal dengan karya ilmiah yang diusulkan, dan kepastian tidak ada pelanggaran integritas akademik.

Baca juga: Ramai soal Joki Karya Ilmiah di Kalangan Dosen, Segini Tarifnya

Ketiga unsur ini dinilai sangat ketat oleh Tim PAK Pusat dan menjadi penyebab utama pengajuan kenaikan jabatan akademik profesor ditolak. Dalam rentang waktu 2020-2022, Kemendikbudristek hanya meloloskan 2.736 (36 persen) dari 7.598 usulan guru besar, sedangkan 64 persen sisanya terpaksa ditolak (Kompas, 9 Februari 2023).

Ketiga, dosen kehilangan kodrat. Menurut UU Nomor 14/2005 tentang Guru dan Dosen dan PP Nomor  37/2009 tentang Dosen, dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.

Berdasarkan tugas utama yang dikenal dengan “tridharma perguruan tinggi” tersebut, dapat dikatakan bahwa “kodrat” profesi dosen pada dasarnya adalah mendidik, meneliti, dan mengabdi. Semua orang yang berprofesi dosen dengan mudah mampu melakukan ketiga kodrat tersebut.

Jika dikaitkan dengan Permenristekdikti Nomor 20/2017 dan PO PAK 2019, maka kodrat dosen bertambah menjadi empat, yaitu “menulis karya ilmiah”. Ketika dihadapkan pada kewajiban menulis karya ilmiah inilah banyak dosen yang kehilangan kodratnya.

Artinya, banyak dosen yang kurang mampu menulis karya ilmiah yang dipublikasi dalam JIB. Joki karya ilmiah kemudian dijadikan solusi oleh sebagian dosen untuk menggantikan kodratnya menulis karya ilmiah.

Sebagian dosen lain memilih tidak naik jabatan akademik. Akibatnya, banyak sekali dosen, bahkan sudah berpendidikan doktor, merasa sangat nyaman dengan jabatan akademiknya sebagai asisten ahli atau lektor sampai pensiun. Sebagian dosen yang sudah menjabat lektor kepala juga enggan mengajukan jabatan guru besar, karena ketakutan tidak mampu memenuhi kewajiban khusus profesor.

 

Kategori Dosen

Melengkapi enam kategori dosen yang pernah penulis paparkan di medsos, yaitu dosen akademis, politis, sosialis, kapitalis, selebritis, dan agamis (Lihat, “Menjadi Guru Besar itu Mudah”; Sutawi, 2022), saat ini muncul tiga kategori dosen baru, yaitu dosen “jurnalis”, “imperialis”, dan “jokis”.

Dosen jurnalis adalah dosen yang mahir menulis dan memublikasikan karya ilmiahnya di JIB. Dosen jurnalis ini berpotensi terlibat dalam perjokian penulisan dan publikasi JIB.

Dosen imperialis adalah dosen senior yang memaksa dosen yunior untuk menulis dan memublikasi JIB dengan namanya sebagai penulis pertama atau penulis pendamping.

Dosen jokis adalah dosen yang memanfaatkan jasa joki untuk menulis dan memublikasi JIB, baik untuk kepentingan kenaikan jabatan akademik maupun LKD.

Menurut investigasi Kompas, tarif pembuatan JIB sebagai penulis pertama dan korespondensi mencapai Rp 10 juta di luar biaya penerbitan, sedangkan untuk pencantuman nama sebagai penulis pendamping dihargai Rp 5 juta. Secara ekonomi, biaya itu tergolong sangat murah jika dibandingkan dengan tunjangan profesi atau tunjangan kehormatan yang diterima dosen selama tiga tahun.

Sebagai contoh, dengan tunjangan profesi sebesar Rp 5 juta per bulan, maka dosen berjabatan akademik asisten ahli, lektor, dan lektor kepala, menerima tunjangan profesi sebesar Rp 180 juta selama tiga tahun, sedangkan dosen yang berjabatan akademik profesor menerima tunjangan profesi dan kehormatan sebanyak Rp 15 juta per bulan atau Rp 540 juta selama tiga tahun.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com