Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Ketika Dosen Kehilangan Kodrat

Jurnal internasional bereputasi (JIB) adalah jurnal terindeks dalam basis data internasional bereputasi yang diakui oleh Kemendikbudristek (Web of Science dan/atau Scopus) dengan SJR (SCImago Journal Rank) jurnal di atas 0,10 atau memiliki JIF (Journal Impact Factor) WoS (Web of Science) paling sedikit 0,05.

Fenomena perjokian untuk penulisan di JIB terjadi di berbagai kota besar di Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Fenomena ini tidak hanya terjadi secara gelap-gelapan tetapi sudah terang-terangan di media massa, media sosial, sampai media belanja online.

Bagai pepatah “nila setitik merusak susu sebelanga”, perilaku beberapa dosen ini telah merusak integritas dosen sebagai pendidik profesional di Indonesia.

Tiga Faktor Penyebab

Ada tiga faktor yang menjadi pemicu dan pemacu maraknya perjokian JIB. Pertama, Peraturan Menristekdikti Nomor 20/2017 tentang Pemberian Tunjangan Profesi Dosen dan Tunjangan Kehormatan Profesor.

Permen tersebut mewajibkan publikasi karya ilmiah bagi setiap dosen untuk mendapatkan tunjangan profesi dosen dan tunjangan kehormatan guru besar. Tunjangan profesi dosen diberikan setiap bulan sebesar satu kali gaji pokok, sedangkan bagi profesor mendapat tambahan tunjangan kehormatan sebesar dua kali gaji pokok.

Bagi dosen yang memiliki jabatan akademik asisten ahli dan lektor wajib memenuhi kewajiban khusus menghasilkan karya ilmiah minimal satu buku atau satu publikasi ilmiah (jurnal nasional) dalam kurun waktu tiga tahun.

Bagi dosen yang memiliki jabatan akademik lektor kepala harus menghasilkan paling sedikit tiga karya ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal nasional terakreditasi; atau paling sedikit satu karya ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal internasional, paten, atau karya seni monumental/desain monumental, dalam kurun waktu tiga tahun.

Bagi dosen yang memiliki jabatan akademik profesor harus menghasilkan paling sedikit tiga karya ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal internasional; atau paling sedikit satu karya ilmiah yang diterbitkan dalam JIB, paten, atau karya seni monumental/desain monumental, dalam kurun waktu tiga tahun.

Permen itu membuat banyak dosen yang belum terbiasa menulis di JIB panik. Dosen yang tidak mampu memenuhi kewajiban khusus sesuai jabatan akademiknya bisa dipastikan tunjangan profesi atau tunjangan kehormatannya berhenti mengalir.

Kedua, Pedoman Operasional Penilaian Angka Kredit (PO-PAK) 2019 dan Penyesuaian 2022. Dalam PO-PAK tersebut terdapat persyaratan khusus bagi dosen yang akan mengajukan kenaikan jabatan akademik profesor.

Bagi dosen berjabatan akademik lektor yang akan loncat jabatan ke profesor diperlukan syarat khusus minimal empat JIB sebagai penulis pertama dan korespondensi. Bagi dosen berjabatan akademik lektor kepala yang akan naik jabatan ke profesor diperlukan syarat khusus minimal satu JIB sebagai penulis pertama dan korespondensi.

JIB sebagai syarat naik jabatan profesor ini sangat berbeda dengan JIB sebagai syarat tunjangan profesi dan tunjangan kehormatan, terutama dalam hal penilaiannya. JIB untuk syarat tunjangan profesi atau tunjangan kehormatan dinilai oleh asesor laporan kinerja dosen (LKD) yang pada umumnya adalah kolega dosen di perguruan tinggi sendiri atau PT terdekat.

Penilaian ini tidak ketat, hanya memeriksa apakah jurnal yang dilaporkan benar-benar termasuk JIB atau tidak. Dosen yang memiliki JIB bisa dipastikan keluar tunjangan profesi atau tunjangan kehormatannya, sedangkan yang tidak memiliki JIB akan dihentikan tunjangannya.

JIB untuk kenaikan jabatan akademik profesor dinilai berjenjang oleh Tim Penilai Angka Kredit (Tim PAK) perguruan tinggi negeri (PTN) atau LLDIKTI bagi perguruan tinggi swasta (PTS). Jika dinyatakan lolos, JIB (dan persyaratan lain) kemudian dikirim ke Jakarta untuk dinilai oleh Tim PAK Pusat yang ditetapkan oleh Kemendikbudristek.

Ada tiga unsur penilaian JIB oleh Tim PAK Pusat, yaitu relevansi kompetensi dosen dengan substansi karya ilmiah, kesesuaian antara lingkup/subyek area jurnal dengan karya ilmiah yang diusulkan, dan kepastian tidak ada pelanggaran integritas akademik.

Ketiga unsur ini dinilai sangat ketat oleh Tim PAK Pusat dan menjadi penyebab utama pengajuan kenaikan jabatan akademik profesor ditolak. Dalam rentang waktu 2020-2022, Kemendikbudristek hanya meloloskan 2.736 (36 persen) dari 7.598 usulan guru besar, sedangkan 64 persen sisanya terpaksa ditolak (Kompas, 9 Februari 2023).

Ketiga, dosen kehilangan kodrat. Menurut UU Nomor 14/2005 tentang Guru dan Dosen dan PP Nomor  37/2009 tentang Dosen, dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.

Berdasarkan tugas utama yang dikenal dengan “tridharma perguruan tinggi” tersebut, dapat dikatakan bahwa “kodrat” profesi dosen pada dasarnya adalah mendidik, meneliti, dan mengabdi. Semua orang yang berprofesi dosen dengan mudah mampu melakukan ketiga kodrat tersebut.

Jika dikaitkan dengan Permenristekdikti Nomor 20/2017 dan PO PAK 2019, maka kodrat dosen bertambah menjadi empat, yaitu “menulis karya ilmiah”. Ketika dihadapkan pada kewajiban menulis karya ilmiah inilah banyak dosen yang kehilangan kodratnya.

Artinya, banyak dosen yang kurang mampu menulis karya ilmiah yang dipublikasi dalam JIB. Joki karya ilmiah kemudian dijadikan solusi oleh sebagian dosen untuk menggantikan kodratnya menulis karya ilmiah.

Sebagian dosen lain memilih tidak naik jabatan akademik. Akibatnya, banyak sekali dosen, bahkan sudah berpendidikan doktor, merasa sangat nyaman dengan jabatan akademiknya sebagai asisten ahli atau lektor sampai pensiun. Sebagian dosen yang sudah menjabat lektor kepala juga enggan mengajukan jabatan guru besar, karena ketakutan tidak mampu memenuhi kewajiban khusus profesor.

Kategori Dosen

Melengkapi enam kategori dosen yang pernah penulis paparkan di medsos, yaitu dosen akademis, politis, sosialis, kapitalis, selebritis, dan agamis (Lihat, “Menjadi Guru Besar itu Mudah”; Sutawi, 2022), saat ini muncul tiga kategori dosen baru, yaitu dosen “jurnalis”, “imperialis”, dan “jokis”.

Dosen jurnalis adalah dosen yang mahir menulis dan memublikasikan karya ilmiahnya di JIB. Dosen jurnalis ini berpotensi terlibat dalam perjokian penulisan dan publikasi JIB.

Dosen imperialis adalah dosen senior yang memaksa dosen yunior untuk menulis dan memublikasi JIB dengan namanya sebagai penulis pertama atau penulis pendamping.

Dosen jokis adalah dosen yang memanfaatkan jasa joki untuk menulis dan memublikasi JIB, baik untuk kepentingan kenaikan jabatan akademik maupun LKD.

Menurut investigasi Kompas, tarif pembuatan JIB sebagai penulis pertama dan korespondensi mencapai Rp 10 juta di luar biaya penerbitan, sedangkan untuk pencantuman nama sebagai penulis pendamping dihargai Rp 5 juta. Secara ekonomi, biaya itu tergolong sangat murah jika dibandingkan dengan tunjangan profesi atau tunjangan kehormatan yang diterima dosen selama tiga tahun.

Sebagai contoh, dengan tunjangan profesi sebesar Rp 5 juta per bulan, maka dosen berjabatan akademik asisten ahli, lektor, dan lektor kepala, menerima tunjangan profesi sebesar Rp 180 juta selama tiga tahun, sedangkan dosen yang berjabatan akademik profesor menerima tunjangan profesi dan kehormatan sebanyak Rp 15 juta per bulan atau Rp 540 juta selama tiga tahun.

https://www.kompas.com/edu/read/2023/03/01/070000571/ketika-dosen-kehilangan-kodrat

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke