Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 08/12/2022, 19:17 WIB
Dian Ihsan

Penulis

KOMPAS.com - Hiperrealitas menjadi tantangan di era digitalisasi imbas membeludaknya informasi dari beragam platform digital.

Manakala informasi tersebut saling bertentangan, maka akan sulit untuk menarik kesimpulan tentang apa sebenarnya isi informasi yang ingin disampaikan dan berpotensi menjadi hiperrealitas.

Baca juga: 30 BUMN Buka 890 Lowongan Kerja untuk Lulusan Diploma, S1, dan S2

Dewan Penasehat Institut Komunikasi dan Bisnis LSPR, Prof. Rudy Harjanto menjelaskan hiperrealitas bisa lahir dari melimpahnya informasi di media sosial (medsos).

Hiperealitas, kata dia, muncul lewat kemampuan menambahkan informasi pada informasi yang telah disampaikan orang lain dalam berbagai aplikasi.

"Para pengguna di aplikasi yang sama dapat melengkapi atau bahkan mengurangi konten yang bertentangan dengan pandangannya," ucap dia dalam keterangannya, Kamis (8/12/2022).

Dia menyampaikan, kemampuan memberikan informasi tambahan ini membuka peluang bagi khalayak untuk mendapatkan dua sumber informasi.

Pertama, dikendalikan pemilik akun aplikasi. Kedua, yang di luar kendali pemilik akun aplikasi.

Perbedaan informasi ini berpotensi mengubah penilaian, daya tarik, dan kredibilitas konten yang disampaikan oleh pemilik akun aplikasi sosial.

Jika informasi ini saling bertentangan, kata dia, maka akan sulit untuk menarik kesimpulan tentang apa sebenarnya isi informasi yang ingin disampaikan dan berpotensi menjadi hiperrealitas.

"Hiperrealitas sering mempertentangkan simulasi dan representasi. Simulasi adalah simulacrum dalam pengertian khusus, bahwa sesuatu tidak menduplikasi sesuatu yang lain sebagai model rujukannya, akan tetapi menduplikasi diri sendiri," ucap pria yang juga jadi Dewan Pakar Aspikom ini.

Baca juga: 9 Jurusan D3 UI Punya Prospek Kerja Tinggi, Referensi SNPMB 2023

Gaya hidup, citra, dan pembentukan personalitas yang selama ini ditampilkan lewat media sosial dan internet dipandang indah para penggunanya.

Padahal, kata dia, kenyataannya tidak semua yang ditampilkan tersebut merupakan realitas yang sebenarnya.

Kenyamanan yang diperoleh dalam dunia maya mungkin saja berbanding terbalik dengan kondisi di dunia nyata.

Akibatnya, seseorang akan lebih memilih kehidupan di dunia mayanya ketimbang kehidupan sosialnya.

"Kita mungkin kini lebih percaya diri tampil di media sosial karena hadirnya aplikasi yang dapat mempercantik wajah dengan berbagai macam fiturnya. Hal itu disebabkan karena mereka mampu menunjukkan eksistensi mereka yang seperti tanpa celah, cantik/tampan, baik hati, bijak, dan disegani," tutur dia.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com