Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

PGRI Minta Kemendikbud Ristek Jujur Soal Tunjangan Profesi Guru

Kompas.com - 15/09/2022, 19:14 WIB
Dian Ihsan

Penulis

KOMPAS.com - Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) meminta Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) agar bisa jujur dan terbuka soal tunjangan profesi guru (TPG) di dalam Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas).

Ketua Umum PGRI, Unifah Rosyidi menyatakan prihatin atas penghapusan UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang kemudian digabung dalaam RUU Sisdiknas.

Baca juga: Tunjangan Profesi Guru di RUU Sisdiknas Sudah Penuhi Unsur Keadilan

"Itu karena tidak ada lagi penghargaan kepada guru yang jumlahnya 3,1 juta orang sebagai sebuah profesi," ucap dia dalam keterangan tertulisnya, Kamis (15/9/2022).

Padahal, kata dia, profesi lainnya diakui dalam sebuah UU, seperti UU 18/2003 tentang Advokat, UU 29/2004 tentang Praktik Kedokteran, UU 38/2014 tentang Keperawatan, UU 11/2014 tentang Keinsinyuran serta berbagai profesi lainnya.

Penghapusan guru sebagai sebuah profesi, sebut dia, menihilkan pengabdian serta kerja keras guru yang selama ini dengan tulus ikhlas bertugas diseluruh pelosok negeri untuk mencerdaskan anak-anak bangsa.

"Bagi kamu UU Guru dan Dosen adalah Lex Specialis Derogat Legi Generali bagi profesi guru," tegas dia.

Penghapusan UU Guru dan Dosen sangat menyakitkan

Dia menyebut, seiring dengan penghapusan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, tunjangan profesi guru juga bakal dihapuskan.

Penghapusan tunjangan profesi guru adalah kebijakan yang sangat menyakitkan dan merendahkan.

Unifah mengakui, tunjangan profesi bukan sekadar persoalan uang, tetapi sebuah penghargaan dan penghormatan negara terhadap profesi guru.

Baca juga: LTMPT: Kami Tak Lagi Jadi Pelaksana Seleksi Masuk PTN

Guru, kata dia, merasa bangga karena profesinya diakui dan dihormati negara.

Terkait tunjangan profesi, memang dalam RUU Sisdiknas Pasal 145 Ayat (1) dinyatakan, "Setiap guru dan dosen yang telah menerima tunjangan profesi, tunjangan khusus, dan/atau tunjangan kehormatan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen sebelum UU ini diundangkan tetap menerima tunjangan tersebut sepanjang masih memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan".

"Jadi dalam pandangan kami, frasa sebelum UU ini diundangkan, artinya tunjangan profesi guru akan hilang, jika RUU Sisdiknas ini diundangkan," jelas dia.

Dia mengungkapkan, jika Kemendikbud Ristek bersungguh-sungguh akan tetap memberikan tunjangan profesi guru, maka frasa "sebelum undang-undang ini diundangkan", maka harus dihapus.

Penghapusan itu, tambah dia, sekaligus agar substansi RUU Sisdiknas tidak bias dan multitafsir, serta ada jaminan guru tetap menerima tunjangan profesi.

Lebih dari itu, Kemendikbud Ristek perlu menjelaskan secara secara jujur dan terbuka, mengapa muncul pemikiran untuk menghapus tunjangan profesi guru ini.

Kemendikbud Ristek secara lisan menyatakan, pemberian tunjangan guru Aparatur Sipil Negara (ASN) akan mengacu kepada Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) berupa tunjangan fungsional.

Meski demikian, ketentuan ini tidak tercantum secara eksplisit dalam RUU Sisdiknas.

Selain itu mesti disadari, tunjangan profesi berbeda dengan tunjangan fungsional yang melekat dalam jabatan/kepangkatan seseorang.

Baca juga: SBMPTN Jadi Seleksi Nasional Berdasarkan Tes, Ini Aturan Barunya

Adapun tunjangan profesi guru landasan hukumnya sangat kuat yakni Pasal 16 Ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Karena tidak dinyatakan secara tertulis, maka menimbulkan kekhawatiran di kalangan guru apakah Kemendikbud Ristek bersungguh-sungguh akan memberikan tunjangan 'fungsional' untuk guru.

Jika besaran tunjangan profesi guru diikat oleh UU sebesar 1 kali gaji, lalu bagaimana dengan tunjangan fungsional?

Selama ini tidak pernah ada penjelasan dari Kemendikbud Ristek, apalagi dinyatakan secara tegas dalam UU, sehingga menimbulkan kekhawatiran di kalangan guru.

Menurut Unifah, kekhawatiran ini bisa dipahami, karena ketentuan yang sudah tertulis secara tegas dalam undang-undang pun tidak dilaksanakan.

Misalnya, dalam Pasal 82 UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dinyatakan, guru yang belum mendapat sertifikat pendidik wajib memiliki sertifikat pendidik paling lama 10 tahun sejak UU tersebut diberlakukan.

Artinya, persoalan sertifikat pendidik mestinya sudah selesai pada tahun 2015.

Kenyataannya, Kemendikbud Ristek mengakui sampai 2022 masih ada 1,6 juta guru yang belum mendapat sertifikat pendidik.

Baca juga: 1,6 Juta Guru Tak Usah Antre Dapat TPG Lewat RUU Sisdiknas

"Jadi, siapa yang lalai dalam menjalankan amanat UU Guru dan Dosen?" tegas dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com