Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Antonius Ferry Timur
Konsultan

Konsultan dan pemerhati pendidikan dasar, Direktur Yayasan Abisatya Yogyakarta

Menggagas Pendidikan yang Memerdekakan

Kompas.com - 19/08/2022, 08:21 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Pada globalisasi jilid pertama (abad XVIII-IXX), negara memegang peranan dalam mengekspansi dunia.

Globalisasi jilid kedua (abad XX) adalah masa multinational corporation (perusahaan multinasional), di mana globalisasi di-drived oleh multinational corporation firm.

Saat ini kita telah memasuki globalisasi jilid ketiga, yang men-drive individu-individu. Persaingan dan pertempuran terjadi bukan lagi antarnegara atau antarkorporasi, melainkan antarorang.

Saat ini orang harus memasarkan dirinya sendiri. Setiap orang agar bisa bertahan harus menguasai internet, bahasa internasional dan informasi.

Perubahan dunia ini besar pengaruhnya pada negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia.

Pada globalisasi jilid pertama kita dijajah oleh Belanda, Inggris dan Jepang. Globalisasi jilid kedua multinasional corporation menghantam kemandirian kita sebagai suatu bangsa. Kita tidak punya kemandirian di bidang pangan, energi, dan modal.

Kalau pada globalisasi jilid satu dan kedua kita sudah tidak survive, pada gelombang ketiga pun kita akan kalah bersaing kalau kita tidak menyiapkan SDM yang terdidik mulai dari sekarang.

Bagaimana SDM kita saat ini? Kualitas SDM Indonesia termasuk ”terbelakang” dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya.

Secara kuantitas SDM kita besar, tetapi secara kualitas kita kalah. Dilihat dari human development index dan indikator lainnya, Indonesia kalah dari negara tetangga yang selevel di ASEAN, misalnya Malaysia.

Sekolah rakyat Pancasila

Francis Wahono, penggiat ekonomi dan pendidikan kerakyatan, melihat keterpurukan Indonesia di antaranya disebabkan politik pendidikan rakyat Pancasila tahun 1950 diganti politik pendidikan pemerintah ala militerisme zaman Jepang pada tahun 1970-an sampai 1990-an dan kini tahun 2000-an diganti lagi dengan politik pendidikan dengan pembenaran ideologi neoliberalisme.

Menurut Wahono, jika keindonesiamerdekaan kita ala pendiri bangsa hendak dilahirkan kembali dari lumpur keterpurukan, revolusi pendidikan ala pendidikan rakyat Pancasila, di mana pendidikan ala Ki Hajar Dewantara, Mangunwijaya, Bahruddin, Sri Wahyaningsih, dan Toto Raharjo dapat menjadi contoh hidup dan inisiatif-inisiatif pendidikan alternatif dapat terwadahi, harus diselenggarakan.

Sebagai titik pangkal, dokumentasi dua buku Sutedjo Brajanagara yang terbit pada tahun 1950-an dapat menjadi acuan.

Buku pertama ditulis oleh S Bradjanagara dan L Kartasoebrata, berjudul Djalan Baru untuk Memperbaharui Pendidikan dan Pengadjaran, Sekolah Rakyat Pancasila.

Buku kedua yang melengkapi buku pertama, juga ditulis Sutedjo Bradjanagara, berjudul Sedjarah Pendidikan Indonesia, Yogyakarta, 1956.

Buku pertama menguraikan detail Sekolah Rakyat Pancasila, buku kedua tentang sitz im leben-nya, konteks dan alasan kelahiran dan keberadaannya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com