KOMPAS.com - Peristiwa banjir rob besar terjadi di kawasan Pelabuhan Tanjung Emas Semarang setelah penahan air laut jebol pada Senin (23/5/2022).
Menurut informasi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Tengah (Jateng), peristiwa tersebut terjadi diawali oleh rob yang besar, sehingga tanggul penahan air laut di kawasan Lamacitra tidak mampu menahan air yang cukup besar.
Baca juga: Menhub Budi Karya Terima Gelar Doktor Kehormatan dari UGM
Kedalaman banjir rob bevariasi hingga mencapai 1,5 meter di Kawasan Lamacitra, 55 cm di Jalan Coaster, 40 sentimeter di Jalan M. Pardi, 50 sentimeter di Jalan Yos Sudarso dan Jalan Ampenan.
Pakar Geomorfologi Pesisir dan Laut UGM, Bachtiar W. Mutaqin menilai sudah sejak lama kawasan Banten hingga Banyuwangi dikenal sebagai kawasan rawan banjir rob.
Hal ini dikarenakan adanya global warming berupa naiknya permukaan air laut, dan material tanah di utara Jawa yang belum solid.
"Belum solid, ditambah banyaknya permukiman. Tidak hanya permukiman pribadi atau perorangan tetapi juga skala industri sehingga dimungkinkan penggunaan air tanah. Akibatnya banyak permasalahan, cukup kompleks mulai dari kenaikan muka laut, kemudian material tanahnya yang alluvial umurnya masih muda, juga terkait dengan penggunaan lahan," kata dia melansir laman UGM, Selasa (24/5/2022).
Dosen Fakultas Geografi UGM ini menyatakan peristiwa banjir rob di Semarang sesungguhnya sudah memiliki riwayat lama.
Riwayat kejadian rob sangat sering dan kejadian terkini karena bersamaan dengan puncak-puncaknya pasang, dimana posisi bumi dan bulan begitu dekat.
"Pasangnya cukup tinggi, tanggulnya jebol ya akhirnya kawasan di pesisir Semarang terendam. Sebenarnya fenomenanya sudah dimitigasi oleh pemerintah, tapi karena muka laut memang cukup tinggi, dan ada bangunan yang jebol akibatnya banyak yang terendam," jelas dia.
Baca juga: Profil Prof. Widodo, Rektor UB Terpilih Periode 2022-2027
Dia menjelaskan material tanah di utara Jawa sebenarnya berasal dari endapan atau sedimentasi proses dari sungai sehingga material sedimen tersebut diukur dari skala geologi masih muda sehingga masih labil, belum solid atau belum kompak.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.