Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jaya Suprana
Pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan

Penulis adalah pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan.

Sulitnya Memberantas Nepotisme

Kompas.com - 08/12/2023, 16:54 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SEJAK awal masa Orde Reformasi, saya sudah menegaskan bahwa praktik nepotisme sulit diberantas akibat sudah terlanjur menjadi bagian DNA melekat pada peradaban Nusantara.

Suka tak suka apa boleh buat sejarah membuktikan para kerajaan di persada Nusantara secara sadar atau tidak sadar memang mempraktikkan nepotisme.

Bagi yang tidak setuju nepotisme, maka ingin merebut tahta kerajaan hanya bisa mewujudkan ambisinya dengan nelakukan kudeta kekerasan militer atau intrik muslihat politik konspirasi.

Berarti mereka yang menginginkan nepotisme lenyap dari panggung politik Indonesia pada hakikatnya sedang menggantang asap belaka.

Pada kenyataan, Orde Reformasi alih-alih berhasil membasmi malah menyuburkan cocok-tanam nepotisme di panggung politik kekuasaan Indonesia.

Yang menyatakan tidak ada nepotisme di Indonesia lazimnya justru sedang asyik menikmati nikmatnya nepotisme.

Selama gerakan antinepotisme masih terbatas etika atau tata krama bahkan aturan sopan santun, maka alih-alih melenyap malah makin merajalela.

Selama antinepotisme masih terbatas pada kearifan ngono yo ngono ning ojo ngono, maka pasti ngono tetap dilakukan berdasar keyakinan bahwa jika dia dan kamu boleh, lalu kenapa aku tidak boleh.

Sebenarnya Indonesia sudah punya undang-undang antinepotisme. Dalam ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme menyebutkan bahwa setiap Penyelenggara Negara yang melakukan nepotisme bisa dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000 (satu milyar rupiah).

Seharusnya pengesahan Undang-Undang No 28 tahun 2009 tersebut sudah merupakan dasar hukum sah untuk melarang praktik nepotisme bersama dengan korupsi dan kolusi.

Namun pada kenyataannya kasus nepotisme di Indonesia tidak pernah disidangkan meskipun sudah banyak aduan maupun bukti-bukti. Malah akhir-akhir ini nepotisme berganti eufemisme istilah menjadi politik dinasti.

De facto dan de jure memang sudah ada lembaga antirasuah, yaitu KPK sebagai akronim Komite Pemberantasan Korupsi. Namun memang belum ada KPN sebagai akronim Komite Pemberantasan Nepotisme.

Sepertinya memang bangsa Indonesia terkesan masih belum sepenuh hati dalam mengejawantahkan gerakan memberantas nepotisme.

Selanjutnya terserah kepada negara, bangsa, dan rakyat Indonesia mengenai mau atau tidak mau memberantas nepotisme atau politik dinasti atau apapun istilahnya. Jika mau, maka sebenarnya pasti mampu. Jika tidak mampu, maka berarti sekadar tidak mau.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Paus Fransiskus Umumkan 2025 sebagai Tahun Yubileum, Apa Itu?

Paus Fransiskus Umumkan 2025 sebagai Tahun Yubileum, Apa Itu?

Tren
Bisakah Cairkan JHT BPJS Ketenagakerjaan Tanpa Paklaring Usai Resign?

Bisakah Cairkan JHT BPJS Ketenagakerjaan Tanpa Paklaring Usai Resign?

Tren
Apa Itu Gerakan Blockout 2024 yang Muncul Selepas Met Gala dan Merugikan Taylor Swift juga Zendaya?

Apa Itu Gerakan Blockout 2024 yang Muncul Selepas Met Gala dan Merugikan Taylor Swift juga Zendaya?

Tren
Balon Udara Meledak di Ponorogo, Korban Luka Bakar 63 Persen, Polisi: Masuk Ranah Pidana

Balon Udara Meledak di Ponorogo, Korban Luka Bakar 63 Persen, Polisi: Masuk Ranah Pidana

Tren
Warga Korsel Dilaporkan Hilang di Thailand dan Ditemukan di Dalam Tong Sampah yang Dicor Semen

Warga Korsel Dilaporkan Hilang di Thailand dan Ditemukan di Dalam Tong Sampah yang Dicor Semen

Tren
Harta Prajogo Pangestu Tembus Rp 1.000 Triliun, Jadi Orang Terkaya Ke-25 di Dunia

Harta Prajogo Pangestu Tembus Rp 1.000 Triliun, Jadi Orang Terkaya Ke-25 di Dunia

Tren
Media Asing Soroti Banjir Bandang Sumbar, Jumlah Korban dan Pemicunya

Media Asing Soroti Banjir Bandang Sumbar, Jumlah Korban dan Pemicunya

Tren
Sejarah Lari Maraton, Jarak Awalnya Bukan 42 Kilometer

Sejarah Lari Maraton, Jarak Awalnya Bukan 42 Kilometer

Tren
Rekonfigurasi Hukum Kekayaan Intelektual terhadap Karya Kecerdasan Buatan

Rekonfigurasi Hukum Kekayaan Intelektual terhadap Karya Kecerdasan Buatan

Tren
Basuh Ketiak Tanpa Sabun Diklaim Efektif Cegah Bau Badan, Benarkah?

Basuh Ketiak Tanpa Sabun Diklaim Efektif Cegah Bau Badan, Benarkah?

Tren
BPJS Kesehatan Tegaskan Kelas Pelayanan Rawat Inap Tidak Dihapus

BPJS Kesehatan Tegaskan Kelas Pelayanan Rawat Inap Tidak Dihapus

Tren
Cara Memindahkan Foto dan Video dari iPhone ke MacBook atau Laptop Windows

Cara Memindahkan Foto dan Video dari iPhone ke MacBook atau Laptop Windows

Tren
Video Viral Pusaran Arus Laut di Perairan Alor NTT, Apakah Berbahaya?

Video Viral Pusaran Arus Laut di Perairan Alor NTT, Apakah Berbahaya?

Tren
Sosok Rahmady Effendi Hutahaean, Eks Kepala Kantor Bea Cukai Purwakarta yang Dilaporkan ke KPK

Sosok Rahmady Effendi Hutahaean, Eks Kepala Kantor Bea Cukai Purwakarta yang Dilaporkan ke KPK

Tren
Harta Eks Kepala Bea Cukai Purwakarta Disebut Janggal, Benarkah Hanya Rp 6,3 Miliar?

Harta Eks Kepala Bea Cukai Purwakarta Disebut Janggal, Benarkah Hanya Rp 6,3 Miliar?

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com