KOMPAS.com - Rendahnya angka kematian akibat Covid-19 di Jepang menjadi misteri yang melahirkan sejumlah teori, mulai dari perilaku orang Jepang hingga klaim kekebalan tubuh tinggi.
Meski Jepang tidak memiliki angka kematian yang terendah di kawasan, tetapi rasio kematian di Jepang lebih rendah dari rata-rata.
Fakta itu mengejutkan karena Jepang memiliki kondisi-kondisi yang membuatnya rentan terhadap virus corona.
Apalagi, negara itu juga tak pernah mengambil kebijakan besar dalam menangani pandemi.
Ketika infeksi virus corona memuncak di Wuhan, China, pada Februari 2020, Jepang masih membiarkan perbatasannya terbuka.
Padahal, Jepang memiliki jumlah lansia terbanyak di dunia, kelompok usia yang paling rentan terhadap paparan Covid-19.
Saat virus itu telah menyebar, Jepang tak mengindahkan saran Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk melakukan pengujian secara massif.
Bahkan, total tes PCR Negeri Matahari Terbit itu hanya 348.000 atau 0,27 persen dari populasi Jepang.
Jepang juga tak menerapkan penguncian ketat seperti yang dilakukan negara lain.
Meski demikian, lima bulan setelah laporan pertama, Jepang memiliki kasus infeksi kurang dari 20.000 dengan kematian kurang dari 1.000.
Baca juga: Melihat Jepang dalam Melakukan Contact Tracing Covid-19, Ternyata Begini Caranya...
Jika mendengar pernyataan Wakil Perdana Menteri Tara Aso, apa yang terjadi di Jepang tergantung pada kualitas unggul warganya.
Dia pun meminta para pemimpin negara lain untuk menjelaskan kesuksesan Jepang itu.
"Saya memberitahu orang-orang ini: 'Antara negara Anda dan negara kami, mindo-nya berbeda". Itu membuat mereka terdiam," kata Aso, dikutip dari pemberitaan BBC, Sabtu (4/7/2020).
Secara literal, mindo berarti "tingkat rakyat", meski beberapa pihak menerjemahkannya dengan "tingkat budaya".
Ini adalah konsep yang berasal dari era kekaisaran Jepang dan menunjukkan rasa superioritas rasial dan chauvinisme budaya. Karenanya, Aso pun dikritik karena menggunkan kata itu.