Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Teka-teki Rendahnya Angka Kematian akibat Covid-19 di Jepang

Kompas.com - 04/07/2020, 13:41 WIB
Ahmad Naufal Dzulfaroh,
Inggried Dwi Wedhaswary

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Rendahnya angka kematian akibat Covid-19 di Jepang menjadi misteri yang melahirkan sejumlah teori, mulai dari perilaku orang Jepang hingga klaim kekebalan tubuh tinggi.

Meski Jepang tidak memiliki angka kematian yang terendah di kawasan, tetapi rasio kematian di Jepang lebih rendah dari rata-rata.

Fakta itu mengejutkan karena Jepang memiliki kondisi-kondisi yang membuatnya rentan terhadap virus corona.

Apalagi, negara itu juga tak pernah mengambil kebijakan besar dalam menangani pandemi.

Apa yang terjadi?

Ketika infeksi virus corona memuncak di Wuhan, China, pada Februari 2020, Jepang masih membiarkan perbatasannya terbuka.

Padahal, Jepang memiliki jumlah lansia terbanyak di dunia, kelompok usia yang paling rentan terhadap paparan Covid-19.

Saat virus itu telah menyebar, Jepang tak mengindahkan saran Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk melakukan pengujian secara massif.

Bahkan, total tes PCR Negeri Matahari Terbit itu hanya 348.000 atau 0,27 persen dari populasi Jepang.

Jepang juga tak menerapkan penguncian ketat seperti yang dilakukan negara lain.

Meski demikian, lima bulan setelah laporan pertama, Jepang memiliki kasus infeksi kurang dari 20.000 dengan kematian kurang dari 1.000.

Baca juga: Melihat Jepang dalam Melakukan Contact Tracing Covid-19, Ternyata Begini Caranya...

Adakah yang istimewa dari Jepang?

Jika mendengar pernyataan Wakil Perdana Menteri Tara Aso, apa yang terjadi di Jepang tergantung pada kualitas unggul warganya.

Dia pun meminta para pemimpin negara lain untuk menjelaskan kesuksesan Jepang itu.

"Saya memberitahu orang-orang ini: 'Antara negara Anda dan negara kami, mindo-nya berbeda". Itu membuat mereka terdiam," kata Aso, dikutip dari pemberitaan BBC, Sabtu (4/7/2020).

Secara literal, mindo berarti "tingkat rakyat", meski beberapa pihak menerjemahkannya dengan "tingkat budaya".

Ini adalah konsep yang berasal dari era kekaisaran Jepang dan menunjukkan rasa superioritas rasial dan chauvinisme budaya. Karenanya, Aso pun dikritik karena menggunkan kata itu.

Namun, tak ada keraguan bagi banyak orang Jepang dan beberapa ilmuwan untuk berpikir bahwa ada faktor X yang melindungi penduduk dari Covid-19.

Benarkah Jepang memiliki kekebalan khusus?

Bunga sakura di Taman Ueno, Tokyo, Jepang.Yusuke Harada/NurPhoto via Getty Images Bunga sakura di Taman Ueno, Tokyo, Jepang.
Profesor Tokyo University Tatsuhiko Kodama yang mempelajari bagaimana pasien Jepang bereaksi terhadap virus, percaya bahwa Jepang mungkin pernah menderita wabah serupa sebelumnya hingga meninggalkan "kekebalan sejarah".

"Ketika virus memasuki tubuh manusia, sistem kekebalan menghasilkan antibodi yang menyerang patogen," kata Kodama.

"Dalam infeksi virus primer (baru), respons IGM biasanya muncul lebih dulu dan disusul oleh respon IGG. Tetapi dalam kasus sekunder (paparan sebelumnya) limfosit sudah memiliki memori dan hanya respons IGG yang meningkat dengan cepat," lanjut dia.

Saat melihat hasil pengujian, jelas Kodama, respons IGG pada semua pasien justru datang dengan cepat dan disusul oleh respons IGM yang muncul secara lemah.

Baca juga: Mengintip Masker Pintar Buatan Jepang yang Mendukung Panggilan Telepon

Dia berpikir, ada kemungkinan virus seperti SARS telah beredar di wilayah tersebut sebelumnya sehingga menyebabkan tingkat kematian rendah.

"Tidak hanya di Jepang, tetapi di sebagian besar China, Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong dan Asia Tenggara," terang dia.

Akan tetapi, klaim itu ditanggapi secara skeptis oleh Direktur Kesehatan Masyarakat di Kings College, London, Kenji Shibuya.

"Saya tidak yakin bagaimana virus semacam itu dapat dibatasi untuk Asia," kata Shibuya.

Shibuya tidak mengabaikan kemungkinan perbedaan regional dalam kekebalan atau kerentanan genetik terhadap Covid-19.

Akan tetapi, dia tidak sepakat dengan anggapan "Faktor X" yang menjelaskan perbedaan angka kematian.

Menurut dia, negara-negara yang telah berhasil dengan baik dalam perang melawan Covid, telah melakukannya untuk alasan yang sama.

Identifikasi pola infeksi

Jepang telah menemukan dua pola penting di awal pandemi. Peneliti medis di Kyoto University dan anggota gugus tugas Kazuaki Jindai, mengatakan, data menunjukkan lebih dari sepertiga infeksi berasal dari tempat yang sangat mirip.

"Angka-angka kami menunjukkan bahwa banyak orang yang terinfeksi telah mengunjungi tempat-tempat musik di mana ada teriakan dan nyanyian. Kami tahu itu adalah tempat yang harus dihindari orang," jelas dia.

Tim kemudian mengidentifikasi bernyanyi di tempat karaoke, pesta, bersorak di klub, percakapan di bar, dan berolahraga di gym sebagai kegiatan berisiko tinggi.

Kedua, tim menemukan bahwa penyebaran infeksi hanya terjadi pada sebagian kecil pembawa virus.

Sebuah studi awal menemukan sekitar 80 persen dari mereka dengan Covid-19 tidak menginfeksi orang lain, sementara 20 persen lainnya sangat menular.

Penemuan ini menyebabkan pemerintah meluncurkan kampanye peringatan nasional orang untuk menghindari ruangan tertutup dengan ventilasi buruk, tempat ramai dengan banyak orang, dan percakapan tatap muka.

"Saya pikir itu mungkin bekerja lebih baik daripada hanya memberitahu orang untuk tinggal di rumah," kata Jindai.

Baca juga: Corona, Penutupan Tokyo Disneyland Diperpanjang hingga Pertengahan Mei 2020

Kepatuhan Warga

Menurut Shibuya, tak ada faktor X, tetapi hal itu bergantung pada hal yang sama, yaitu usaha memutus rantai transmisi.

Di Jepang, pemerintah dapat mengendalikan warga untuk mematuhi aturannya.

Kendati tidak memerintahkan orang untuk tinggal di rumah, tapi secara keseluruhan mereka melakukannya.

"Itu beruntung tetapi juga mengejutkan. Kuncian ringan Jepang tampaknya memiliki efek kuncian yang nyata. Orang-orang Jepang menurutinya meskipun tidak ada tindakan ketat," kata Shibuya.

Pemerintah Jepang meminta warganya untuk berhati-hati, menjauhi tempat-tempat ramai, memakai masker, dan mencuci tangan.

Pada umumnya, itulah yang dilakukan kebanyakan orang.

KOMPAS.com/Akbar Bhayu Tamtomo Infografik: Panduan Ibadah Ramadhan dan Idul Fitri Saat Wabah Virus Corona

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Mengenal Tinitus, Kondisi Ketika Telinga Berdenging, Apa Penyebabnya?

Mengenal Tinitus, Kondisi Ketika Telinga Berdenging, Apa Penyebabnya?

Tren
Psikiater Nutrisi Ungkap 5 Sarapan Favorit, Bantu Siapkan Otak dan Mental Seharian

Psikiater Nutrisi Ungkap 5 Sarapan Favorit, Bantu Siapkan Otak dan Mental Seharian

Tren
BMKG: Inilah Wilayah yang Berpotensi Hujan Lebat, Petir, dan Angin Kencang pada 20-21 April 2024

BMKG: Inilah Wilayah yang Berpotensi Hujan Lebat, Petir, dan Angin Kencang pada 20-21 April 2024

Tren
[POPULER TREN] Manfaat Air Kelapa Murni Tanpa Gula | Israel Serang Iran

[POPULER TREN] Manfaat Air Kelapa Murni Tanpa Gula | Israel Serang Iran

Tren
Seorang Pria Ditangkap di Konsulat Iran di Perancis, Ancam Ledakkan Diri

Seorang Pria Ditangkap di Konsulat Iran di Perancis, Ancam Ledakkan Diri

Tren
Syarat dan Cara Daftar Kartu Prakerja Gelombang 66, Bisa Dapat Insentif Rp 600.000

Syarat dan Cara Daftar Kartu Prakerja Gelombang 66, Bisa Dapat Insentif Rp 600.000

Tren
Mengenal Mitos Atlantis, Kota dengan Peradaban Maju yang Hilang di Dasar Laut

Mengenal Mitos Atlantis, Kota dengan Peradaban Maju yang Hilang di Dasar Laut

Tren
Mengenal Hak Veto dan Sederet Konversinya, Terbaru Gagalkan Palestina Jadi Anggota PBB

Mengenal Hak Veto dan Sederet Konversinya, Terbaru Gagalkan Palestina Jadi Anggota PBB

Tren
Gunung Ruang Semburkan Gas SO2, Apa Dampaknya bagi Manusia, Tanaman, dan Hewan?

Gunung Ruang Semburkan Gas SO2, Apa Dampaknya bagi Manusia, Tanaman, dan Hewan?

Tren
Kim Jong Un Rilis Lagu, Lirik Sarat Pujian untuk Pemimpin Korea Utara

Kim Jong Un Rilis Lagu, Lirik Sarat Pujian untuk Pemimpin Korea Utara

Tren
Manfaat Mengonsumsi Kubis untuk Menurunkan Tekanan Darah

Manfaat Mengonsumsi Kubis untuk Menurunkan Tekanan Darah

Tren
Gunung Semeru 2 Kali Erupsi, PVMBG: Masih Berstatus Siaga

Gunung Semeru 2 Kali Erupsi, PVMBG: Masih Berstatus Siaga

Tren
Israel Serang Iran, AS Klaim Sudah Dapat Laporan tapi Tak Beri Lampu Hijau

Israel Serang Iran, AS Klaim Sudah Dapat Laporan tapi Tak Beri Lampu Hijau

Tren
Ada Indomaret di Dalam Kereta Cepat Whoosh, Jual Kopi, Nasi Goreng, dan Obat Maag

Ada Indomaret di Dalam Kereta Cepat Whoosh, Jual Kopi, Nasi Goreng, dan Obat Maag

Tren
7 Fakta Kebakaran Mampang, Padam Usai 16 Jam dan 7 Korban Terjebak

7 Fakta Kebakaran Mampang, Padam Usai 16 Jam dan 7 Korban Terjebak

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com