Oleh: Edi Setiyanto
Hirogami dan legitimasi merupakan sejarah yang krusial pada tatanan kekuasaan. Hal itu sesuai dengan pengertian legitimasi, yaitu penerimaan dan pengakuan atas kewenangan yang diberikan oleh masyarakat kepada pimpinan yang telah diberi kekuasaan (Surbakti, 2010).
Baca juga: Mengenal Gatotkaca, Kesatria Berotot Kawat dalam Cerita Mahabharata
Tanpa legitimasi sebuah kekuasaan tidak akan diterima dengan baik. Sementara, dimaksudkan hirogami (hiero gamos atau hierogami) adalah perkawinan ilahi antara manusia dan dewa yang dipercaya akan mendatangkan kemakmuran, kesuburan kosmik, dan keabsahan raja (Pongratz-Leisten, 2003 dan Sudibyo, 1994).
Kisah hirogami dan legitimasi tergolong kisah yang tua di dunia.
Misalnya, kisah pernikahan Oshihomimi dan putri dewa Takami-musubi dengan cucu yang kemudian dilegitimasi sebagai kaisar perdana Jepang (Kirkland, 1997) atau cerita pernikahan raja dengan Inana (dewi cinta dan perang) untuk memperkuat legitimasi kekuasaannya di Mesopotamia (Jones, 2003).
Hirogami dan Beberapa Legitimasi di Nusantara
Di Indonesia, tepatnya Nusantara sesuai masa penciptaannya, ditemukan banyak kisah hirogami dalam berbagai cerita rakyat yang tersebar di berbagai wilayah. Namun, terkait sebagai sebuah legitimasi, berdasarkan penelusuran Setiyanto et al. (2023), ditemukan tujuh cerita.
Tujuh cerita itu tersebar di Indonesia bagian barat, tengah, hingga timur.
Tujuh cerita itu ialah “Sidang Belawan” dari Lampung, “Bujang Bekorong” dari Sumatra Selatan, “Pego dan Putri Petong” dari Kalimantan Timur, “Putri Tujuh” dari Ternate, “Putri Tujuh” dari Maluku, “Rajapala” dari Bali, dan “Jaka Tarub” dari Jawa Tengah.
Tujuh kisah hirogami itu menggambarkan pola legitimasi kekuasaan di tujuh wilayah Nusantara.
Baca juga: Viral Cerita Cinta Segitiga Ken Arok, Ken Dedes, dan Tunggul Ametung, Benarkah Kisah Ini Ada?
Dalam pengisahannya, tujuh kisah hirogami itu memperlihatkan persamaan dan perbedaan.
Persamaan, secara umum, terlihat pada cerita yang diawali dengan pengenalan tokoh manusia pelaku hirogami, pertemuan dengan bidadari, keinginan untuk menikah dengan bidadari, pencurian alat/baju terbang bidadari, syarat/pantangan pernikahan, lahirnya anak hirogami (kecuali pada kisah “Putri Tujuh” dari Maluku), dan kembalinya bidadari ke kayangan.
Perbedaan terdapat pada lanjutan kisah hingga terjadinya legitimasi.
Pada “Sidang Belawan” (Lampung), “Bujang Bekorong” (Sumatra Selatan), “Pego dan Putri Petong” (Kalimantan Timur), serta “Putri Tujuh” (Ternate); cerita mengisahkan perjuangan tokoh manusia untuk menemukan dan membawa kembali bidadari ke bumi hingga proses terjadinya legitimasi.
Pada “Putri Tujuh” (Maluku), cerita mengisahkan kehidupan tokoh manusia sesudah dijemput ke Kayangan, tetapi kemudian meminta restu untuk membawa bidadari dan anak kembali ke bumi.
Pada “Rajapala” (Bali) dan “Jaka Tarub” (Jawa Tengah), cerita mengisahkan perjuangan anak atau keturunan hirogami dalam membantu penguasa (raja) mengalahkan musuhnya hingga diperolehnya legitimasi.