Sebagai penghargaan, tokoh diangkat sebagai anak angkat raja dan dilegitimasi sebagai penguasa selanjutnya (“Rajapala”) atau diberi hadiah berupa wilayah tertentu dan kemudian memperjuangkannya menjadi sebuah kerajaan (“Jaka Tarub”).
Pada “Putri Tujuh” (Maluku) inisiasi diwujudkan dengan keberhasilan tokoh menebak Putri Bungso di antara tujuh bidadari bersaudara yang sama cantiknya. Inisiasi dilengkapkan dengan pemberian restu dari raja kayangan kepada tokoh untuk membawa bidadari kembali ke bumi.
Berdasarkan tujuh cerita tadi, dapat diketahui mosaik cerita legitimasi di Nusantara. Sebagai pengabsahan kekuasaan, legitimasi bukanlah sebuah “barang jadi” yang dapat diterimakan kepada sembarang orang.
Pada tujuh cerita tadi legitimasi diawali dengan hirogami untuk mengejawantahkan nilai-nilai keilahian.
Meskipun demikian, legitimasi bukan semata karena hirogami. Ada hal lain yang disyaratkan untuk mengukuhkannya, yaitu militansi, kecakapan, dan kemampuan untuk mengatasi persoalan yang dihadapi.
Sebagai warisan peradaban Nusantara memang tak semua proses legitimasi tadi cocok dengan dengan kondisi saat ini. Namun, tuntutan akan adanya sifat militansi, cakap, dan mampu untuk mengatasi persoalan sebagai pengukuh tetaplah relevan.
Baca juga: Kenapa Banyak Orang yang Suka Cerita tentang Zombi?
Edi Setiyanto
Peneliti BRIN OR Arkeologi, Bahasa, dan Sastra