Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
dr. Ignatia Karina Hartanto

PPDS Ilmu Kesehatan Anak FKUI - RSCM

Hari Talasemia Sedunia: Mari Mengubah Dunia dengan Cek Darah

Kompas.com - 18/05/2023, 20:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: dr Ignatia Karina Hartanto

UUNTUK k-pop idol lover, tanggal 8 Mei bisa jadi berarti karena ulang tahun aktor Kim Seon Ho.

Namun, pada hari tersebut juga, seluruh dunia juga memperingati sebuah momen: hari talasemia sedunia, hari yang didedikasikan untuk meningkatkan pengetahuan awam mengenai sebuah penyakit genetik yang menyerang sel darah merah.

Baca juga: Cegah Penderita Baru, Kemenkes Rumuskan Aturan Skrining Talasemia

Teknologi dalam bidang kesehatan yang terus maju sudah banyak membongkar biang kerok dari berbagai kondisi, yang bisa saja ternyata karena diturunkan, atau disebut penyakit keturunan, bahasa ilmiahnya: penyakit genetik.

Seorang anak bisa mengalami penyakit genetik apabila kedua orangtuanya merupakan pembawa kelainan genetik penyakit tersebut.

Pembawa kelainan genetik bisa jadi mereka yang memang sakit, bisa jadi yang tidak sakit. Banyak orang tampak sehat, tapi ternyata merupakan pembawa kelainan genetik penyakit tertentu.

Banyak orang tampak sehat, tapi bisa menjadi pembawa kelainan genetik talasemia.

Sejarah talasemia

Mengulik sedikit sejarah mengenai talasemia, penyakit keturunan ini belum sampai 100 tahun sejak pertama kali dikenali.

Tahun 1925, Thomas Cooley yang merupakan seorang dokter dari Amerika Serikat untuk pertama kalinya menerangkan sebuah penyakit kekurangan darah setelah menyadari kesamaan kondisi pucat dan bentuk wajah pada anak-anak yang berada di daerah sekitar Itali dan Yunani.

Istilah talasemia berasal dari bahasa Yunani yaitu thalassa yang berarti laut, diambil sebagai istilah yang menerangkan kejadian pucat tersebut terjadi pada anak-anak yang orangtuanya berasal dari daerah sekitar Laut Mediterania.

Tahun 1938, baru diketahui bahwa talasemia adalah penyakit genetik.

Baca juga: Pencari Darah untuk Talasemia

Salah satu teori yang berusaha menjelaskan kejadian mutasi genetik pembentuk sel darah merah pada penduduk sekitar Laut Mediterania adalah sebagai salah satu bentuk pertahanan alami terhadap penyakit malaria yang juga tinggi pada daerah tersebut.

Parasit malaria tidak dapat bertahan dan berkembang dalam tubuh host dengan sel darah merah yang tidak sempurna.

Dengan banyak kejadian di dunia, banyak penduduk dari Eropa dan daerah Laut Mediterania bermigrasi terutama ke Asia dan menikah. Yang disadari kemudian adalah terdapat pola peningkatan kejadian talasemia yang dijumpai bersamaan dengan pola migrasi tersebut.

Peningkatan kejadian anak yang lahir dengan talasemia di Asia menandakan bahwa angka kejadian penduduk dengan pembawa genetik talasemia di Asia juga menjadi tinggi.

Istilah sabuk talasemia (thalassemia belt) kemudian digunakan untuk menandai daerah dengan kejadian pembawa genetik talasemia yang tinggi. Dan Indonesia juga termasuk dalam area sabuk talasemia.

Menjadi bagian dari sabuk talasemia, masyarakat Indonesia tentu perlu tahu mengenai talasemia. Artikel ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan tersebut.

Dengan pengalaman lebih dari 3 dekade dalam menangani pasien talasemia dan berjuang dari sisi pengobatan hingga pencegahan, Prof. Dr. dr. Pustika Amalia, Sp.A(K) membagikan banyak insight mengenai talasemia.

Akrab dipanggil dengan sebutan Prof. Lia, beliau adalah seorang guru besar dari Fakultas Kedokteran Departemen Ilmu Kesehatan Anak, khususnya dalam bidang hematologi (ilmu mengenai darah).

Baca juga: Kisah Dhona Rifana, Penyintas dan Guru Talasemia

Artikel ini merupakan hasil wawancara dengan beliau, dan dengan luasnya pengetahuan beliau mengenai talasemia, pertanyaan satu bergulir ke pertanyaan berikut hingga tanpa sadar banyak isu mengenai talasemia dipaparkan dengan sangat jelas dan mencerahkan.

1. Apa sih talasemia itu?

Talasemia adalah sebuah kelaianan di mana hemoglobin yang merupakan komponen sel darah merah tidak terbentuk secara sempurna. Sehingga hal ini menyebkan sel darah merah mudah pecah.

Pengidapnya akan mengalami kurang darah dan menjadi pucat.

Kurang darah pada talasemia ini tidak bisa diatasi dengan pemberian zat besi penambah darah karena sifatnya turunan genetik, sehingga obatnya adalah transfusi darah seumur hidup, khususnya untuk talasemia mayor dengan manifestasi yang berat, pasien membutuhkan transfusi darah rutin yang berlangsung seumur hidup.

2. Berapa kejadian talasemia di Indonesia?

Indonesia termasuk tinggi talasemia karena termasuk dalam sabuk talasemia dunia. dikatakan pembawa sifat thalasemia di Indonesia sekitar 3-10 persen, bahkan di tempat tertentu seperti Palembang diperkirakan bisa sampai 15 persen.

Sementara di Pulau Sumba, bisa dikatakan hampir 1/3 penduduknya adalah pembawa jenis talasemia yang ringan.

Kalau kita ambil 5 persen saja, artinya 5 dari 100 penduduk Indonesia adalah pembawa sifat. Nah, sebetulnya pembawa sifat talasemia itu seperti orang normal. Tapi kalau kita lihat ukuran sel darah merahnya pasti akan lebih kecil dari sel darah merah orang yang normal.

Baca juga: Kelainan Darah Thalasemia: Jenis, Gejala, dan Dampak pada Anak

Karena pembawa sifat di Indonesia itu banyak, repot kalau ada perkawinan diantara 2 orang pembawa sifat. Kalau pembawa sifat ini menikah, 25 persen kemungkinan anaknya butuh transfusi darah seumur hidup, itu yang kita sebagai bilang thalsemia mayor.

Dan kemungkinan 25 persen itu dari setiap kehamilan, artinya kalau anaknya sekarang mayor, bisa jadi berikutnya mayor. Jadi bisa saja memiliki lebih dari 1 anak dengan talasemia. Bisa jadi cukup banyak.

Di Indonesia saat ini yang terdata butuh transfusi ada sekitar 11.000 - 12.000 penduduk. Padahal kalau kita hitung dengan rumus, tahun 2022 seharusnya ada 25.000 penduduk yang butuh transfusi.

Sisanya kemana? Bisa jadi keterbatasan fasilitas untuk mendiagnosis, keterbatasan pengetahuan dari orangtua maupun pegawai kesehatan sehingga tidak terdiagnosis, atau bisa saja sudah terlanjut menigngal sebelum terdiagnosis. Pada dasarnya, banyak kasus talasemia yang saat ini masih belum terdiagnosis.

3. Ada berapa jenis talasemia?

Kalau kita melihat berdasarkan kasat mata gejala klinis, pembagiannya adalah

  1. dependent transfusi
  2. non-dependent transfusi

Ada juga yang disebut sebagai non-dependent, yang dulu kita sebut sebagai thalasemia minor. Ada sebagian kecil kelompok thalasemia yang mengalami kelainan ringan, jadi tidak butuh transfusi.

Yang dependent transfusi itu yang dulu kita sebut sebagai talasemia mayor, jadi butuh transfusi seumur hidup. Ada yang moderate atau berada di tengah-tengah, butuh transfusi tapi lebih jarang.

Ilustrasi terapi penyakit thalasemia. Thalasemia atau talasemia adalah kelainan darah bawaan yang ditandai oleh kurangnya protein pembawa oksigen (hemoglobin) dan jumlah sel darah merah dalam tubuh yang kurang dari normal.SHUTTERSTOCK/Chan2545 Ilustrasi terapi penyakit thalasemia. Thalasemia atau talasemia adalah kelainan darah bawaan yang ditandai oleh kurangnya protein pembawa oksigen (hemoglobin) dan jumlah sel darah merah dalam tubuh yang kurang dari normal.

Baca juga: Mengenal Hemofilia Penyakit Kelainan Darah karena Faktor Keturunan

Kemudian ada yang kelainan genetiknya lebih ringan, sehingga butuh transfusi kalau ada beban metabolisme seperti saat sakit berat atau saat hamil.

4. Apakah talasemia bisa disembuhkan?

Talasemia adalah kelainan genetik. Jadi sebetulnya kalau mau diobati, komponen genetik yang rusak itu yang diganti. Dan sekarang dunia sedang mengarah kesana.

Gen yang baik itu akan dibawa mengganti gen yang rusak. Siapa pembawa gen yang baik itu? Yang digunakan sekarang adalah lentivirus.

Jadi virus tersebut akan membawa gen yang sudah kita rekayasa, dan kita sudah mengetahui gen penyebab talasemianya di mana. Hanya saja, yang masih menjadi perdebatan adalah apakah itu bisa pas.

Rekayasa genetik ini seperti kita ganti sikring, harus pas betul karena beda sedikit perlekatan kode gen akan berbeda dari yang diharapkan.

Kekhawatiran berikutnya adalah apa yang akan terjadi pada lentivirus setelah mengganti gen. Apakah kemudian ia bisa menyebabkan sesuatu yang lain yang masih belum diketahui.

Namun, rekayasa genetik ini sudah mulai. Sekitar 5-6 tahun lalu saya pernah bertemu dengan orang Laos yang tinggal di Chicago, yang merupakan pasien talasemia mayor yang dilakukan rekayasa genetik pertama kali dan berhasil.

Jadi memang ada harapan, tapi biayanya masih mahal, mungkin sekitar 8-10 miliar rupiah. Mudah-mudahan makin lama biayanya bisa semakin murah.

Yang sekarang banyak dilakukan adalah transplantasi atau menggantikan sumsum tulang yang rusak, karena sumber produksi darah merah adalah di sumsum tulang.

Baca juga: Jenis-jenis Kelainan Darah dan Penyebabnya

Karena yang diganti bukan gen, jadi pasien akan tetap punya gen thalasemia, tapi dia tidak lagi butuh transfusi darah, salah satu yang membuat kualitas hidup jelek.

Saat ini, transplantasi sumsum tulang adalah yang paling banyak dilakukan. Namun fasilitasnya belum ada di Indonesia. Untuk yang mampu, akan kita kirim ke Thailand.

Sebenarnya biaya transplantasi itu tidak mencapai 1 miliar rupiah, tapi itu belum termasuk biaya tinggal di sana minimal 6 bulan.

Kalau prosedur berlangsung mulus, biaya yang dibutuhkan mungkin sekitar 2 miliar rupiah. Besar kecil biaya transplantasi tergantung dari berat badan yang kemudian menentukan dosis dari obat-obatan serta ada tidaknya komplikasi.

Jadi kalau tidak ada komplikasi mungkin 2 miliar rupiah cukup. Tapi kalau ada komplikasi, ada yang bahkan mencapai 7 miliar rupiah.

Mengerjakan transplantasi mungkin cenderung mudah.

Kalau orang bilang transplantasi sumsum tulang, biasanya dikira langsung dari sumsum tulang. Padahal, sekarang dari darah tepi saja, seperti ambil darah dan kemudian memasukkan darah kembali.

Untuk donor umumnya dari saudara kandung penyintas, tapi kalau tidak ada bisa dari ayah atau ibu kandung. Kita menentukan donor yang cocok, kemudian diambil darahnya dari pembuluh darah tepi.

Darah tersebut kemudian disemai. Kalau sudah tumbuh, pasien akan diberikan kemoterapi supaya aktivitas sumsum tulangnya turun sampai nol.

Baca juga: Pertama Kali, Ahli Lakukan Transfusi Sel Darah yang Dibuat di Laboratorium

Kalau sudah sesuai target, akan dimasukkan sumsum tulang yang disemai dari darah tersebut ke pasien. Biasanya, lama prosedur mulai dari proses semai sumsum tulang, pemberian donor, hingga munculnya aktivitas atau mulai tumbuh sumsum tulangnya berkisar antara 1-3 bulan.

Jadi 1-3 bulan itu pasien harus tinggal di kamar steril karena daya tahan tubuhnya sangat jelek sehingga rentan infeksi yang kemudian bisa menimbulkan komplikasi.

Sekali lagi, proses transplantasi itu mudah, yang sulit adalah mengatasi komplikasi, terutama graft versus host disease-nya karena yang dimasukkan adalah tetap benda asing sehingga tubuh tetap mengadakan reaksi penolakan.

Saat ini mungkin sudah ada sekitar 50 orang yang melakukan transplantasi. Dan kita saat ini sedang menjajaki untuk bisa melakukan transplantasi di Indonesia.

Tapi tadi ya, bukan hanya proses transplantasinya saja tetapi komplikasi dan pasca-transplantnya. Kita harus punya tempat yang baik, sumber daya manusia yang baik, karena ngga cuma keahlian dari hematologi saja, melainkan dari bidang lain seperti infeksi, atau paru.

Dan satu lagi adalah obat-obatan. Saat ini kita masih kerjasama dengan negara lain, jadi misal ada obat-obatan yang dibutuhkan pasca-transplant yang ngga ada di Indonesia, kita masih harus ambil di Thailand.

Tetap saja penyediaan itu butuh campur tangan pemerintah supaya obat-obatan yang kita butuh itu tersedia. Jangan sampai kita butuh, kita baru minta ke negara lain. Belum lagi nanti masuk obatnya, imigrasi, bea cukai.

Ada contoh 1 pasien sudah transplantasi 2 tahun lalu, tapi sebelum Idul Fitri kemarin ia mengalami demam tinggi terus-menerus dan ternyata rongga sinus di wajahnya penuh jamur. Yang ikut terlibat menangani tentu juga mulai dari dokter infeksi sampai dokter patologi anatomi.

Baca juga: Kadar Oksigen dalam Darah: Pengertian dan Cara Mengukurnya

Kemudian sudah ketahuan infeksi jamur, kita ngga punya obat jamurnya, sehingga mintalah ke Thailand. Kita titip ke pasien yang lain untuk bawa ke Indonesia. Harganya juga mahal, sampai 6 juta rupiah per vial, sementara kebutuhannya 3 vial sehari selama 3 minggu.

Untunglah keluarganya masih mampu. Ini sebuah pengalaman yang menekankan bahwa membuat unit transplant itu ngga cuma unitnya saja, tapi sarana dan prasarana penunjangnya itu juga harus bagus, harus mulai dari sumber daya manusia sampai obat-obatan.

5. Beban apa saja yang harus dijalani oleh penyintas talasemia?

Kita ambil contoh satu keluarga, anaknya talasemia. Okelah sekarang darah dan obat ditanggung oleh pemerintah.

Tapi, pemerintah mempunyai limitasi budget. Kalau anak itu makin besar, berat badannya makin berat, otomatis kebutuhan obat, kebutuhan darah juga akan bertambah.

Kenapa dia butuh obat? terutama untuk mengeluarkan zat besi. karena si anak itu mendapatkan transfusi rutin, sementara dalam kantong darah itu banyak sekali zat besi yang akan menempel pada organ.

Mereka yang terlalu banyak zat besi, kalau kelihatan dari luar, kulitnya jadi hitam. Tapi juga jantung, paru, kelenjar pankreas pembentuk insulin, kelenjar pembentuk hormon reproduksi, itu juga ketutupan sama zat besi.

Apa yang terjadi? Bisa gagal jantung, hatinya rusak, pankreasnya rusak, hormon pertumbuhan dan hormon seksualnya ngga ada. Mungkin dia jadi pendek, merasa dirinya jelek, ngga bisa punya keturunan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com