Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
dr. Ignatia Karina Hartanto

PPDS Ilmu Kesehatan Anak FKUI - RSCM

Hari Talasemia Sedunia: Mari Mengubah Dunia dengan Cek Darah

Kompas.com - 18/05/2023, 20:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Itulah alasan dia harus minum obat seumur hidup, untuk mengeluarkan zat besinya supaya tidak menumpuk di organ tubuhnya. Dan untuk kebutuhan obat itu makin besar anak, akan makin besar juga dosisnya.

Baca juga: Jumlah Darah dalam Tubuh Manusia

Pemerintah saat ini sudah mengadakan santunan lewat BPJS, tapi tentu ada limitnya sehingga untuk anak-anak yang sudah besar sering tidak mencukupi.

Nah, yang terjadi apa? Tadi, minum obat seumur hidup, transfusi seumur hidup.

Bisa ngebayangin, anak pasti bosen, marah. Bahkan ada juga yang bilang, “Ah dokter bodoh. Dokter kasih obat, saya ngga sembuh-sembuh.” Itu rasanya dalem banget ya.

Belum lagi kalau anak yang terkena talasemia ngga cuma 1, tapi ada 3. Walaupun dia dapat bantuan BPJS, tapi kan butuh ongkos ke RS. Orangtuanya juga butuh ongkos buat makan nungguin anaknya berobat dan transfusi darah.

Dan transfusi darah itu sekali tiap 2-4 minggu, seumur hidup. Itu bisa dibayangkan keluarga, dan dari anak itu sendiri, dia bosen dong, transfusi terus, minum obat terus.

Dulu obatnya yang suntik, sekarang diganti sama yang minum juga tetep aja, coba kita minum obat 3 hari aja, juga bisa lupa, kadang ngga mau. Sementara dia bisa minum 9 tablet, 12 tablet, setiap hari.

Lalu fisik mereka juga berubah, karena transfusi terus-terusan, ngga bisa dihindari kulitnya akan menghitam. Kalau transfusi darahnya ngga bener (kurang karena keterbatasan darah), limpanya membesar dan membuat perutnya membuncit.

Belum lagi wajahnya juga berubah karena tulangnya berubah (menipis karena sumsum tulang yang terus berusaha memproduksi sel darah merah baru).

Memang sekarang umur mereka sudah lebih panjang, bahkan ada yang sampai 50 tahun. Namun kualitas hidupnya akan kurang, karena mungkin jadi pendek, bentuk fisiknya dirasa tidak bagus, sehingga membuat mereka merasa inferior.

Baca juga: Komponen Darah dalam Tubuh Manusia dan Fungsinya

Kalau sekolah mereka harus izin 2-4 minggu sekali, diledek teman-temannya. Ada yang sampai ngga mau sekolah, ada yang berhenti sekolah.

Kalau lanjut sekolah lalu saat selesai dan cari kerja, diskrining tau-tau ada aja yang kecolongan kena hepatitis C, atau positif HIV (penyakit yang dapat menular melalui transfusi darah).

Walaupun darah sudah diskrining ya, tetep ngga 100 persen karena bukan buatan Tuhan. Ada kemungkinan yang kurang beruntung.

Atau mereka sudah diterima kerja akhirnya tapi kemudian harus izin 2-4 minggu sekali. Sering mereka akhirnya dipandang sebelah mata, “Oh ngga bisa, kamu ngga produktif.”

Jadi mereka ini masa depannya ngga jelas. Ada aja sih penyintas talasemia yang beruntung, yang bisa jadi dokter, punya pekerjaan, bahkan jadi tim staf menteri pariwisata.

Tapi berapa yang beruntung seperti itu? Itu bisa dihitung dengan jari.

Belum lagi ketika ingin punya pasangan, mau cari pacar. Banyak yang kepercayaan dirinya rendah, merasa tidak percaya diri dibanding yang lain, dan ngga akan ada yang mau sama mereka.

Ada yang menikah karena merasa cuma orang itu yang mau, dan merasa ngga bisa memilih pasangan.

Ada juga yang bapak ibunya merasa malu. Ada yang jadi bercerai karena saling menyalahkan. Jadi itulah bebannya, buat personal sendiri bebannya, ke keluarga, belum lagi pemerintah.

Talasemia ini sampai menghabiskan biaya BPJS ke-5 terbesar.

Baca juga: Terbuat dari Apa Darah Manusia?

6. Apakah penyintas talasemia bisa menikah?

Menikah dan punya anak, itu hak seseorang, ngga bisa dibilang ngga boleh. Yang penting seseorang tahu statusnya.

Itu yang dilakukan juga di negara-negara talasemia maju seperti di Cyprus, Itali. Kalau pasangan mau menikah, mereka harus melakukan skrining.

Kalau yang sudah sakit talasemia, sudah tergantung transfusi, tentu baiknya menikah dengan orang normal. Tapi kan orang normal bisa dia normal beneran bisa dia pembawa sifat.

Jadi orang normal tetep harus ngecek. Kalau ternyata si 2 orang sehat ini ternyata pembawa sifat, mereka akan diberi nasehat perkawinan, diceritakan apa risiko mereka.

Dan kalau mereka ngga bawa surat skrining, maka mereka ngga akan dinikahkan. Kalau mereka mau mendapat surat perkawinan itu mereka pilih.

Umumnya, mereka tetep menikah, namanya udah cinta. Tetapi, di sana ada undang-undang dimana kalau 2 orang pembawa sifat itu ketahuan menikah, maka harus melakukan prenatal diagnosis pada saat umur kehamilan dibawah 17 minggu.

Nanti dilihat janinnya, sehat, sakit, atau pembawa sifat. Mereka punya kemungkinan anaknya 25 persen sehat, 50 persen pembawa sifat, 25 persen sakit.

Kalau sehat dan pembawa sifat, ya alhamdulillah. Tapi kalau sakit mau diapain?

Nah, di sana itu sampai dibuat fatwa, di Cyprus dan Italia. Dan termasuk negara Islam seperti di Iran, itu juga buat fatwa: kalau janinnya sakit dan ternyata kehamilannya masih dibawah 17 minggu, itu dimungkinkan untuk dilakukan aborsi, karena mengingat nanti beban ke depannya.

Baca juga: 5 Fungsi Darah bagi Tubuh Manusia

Dengan skrining itu, apa yang terjadi? Mereka mulai melakukan skrining itu di tahun 1970-an, dan di tahun 1990, angka kelahiran angka talasemia mayor relatif nol di negara mereka, sampai sekarang masih hampir nol.

Dan itu jauh menghemat biaya pemerintah. Sampai begitu hebatnya mereka berpikir seperti itu. Tapi balik lagi, itu adalah pemerintah.

Jadi untuk menurunkan kelahiran talasemia, screening is a must, tapi tentu baru bisa berjalan serentak kalau itu dari pemerintah.

Masalahnya kalau ngga ada regulasinya, sekarang kalau kita disuruh periksa darah, yang tampak sehat disuruh periksa darah, pastinya kan protes, “Kenapa g periksa darah. G sehat, g mesti bayar pula.”

Tapi kalau ini sesuatu yang wajib, seperti mereka menjadi syarat untuk menikah dan ngga akan dinikahkan kalau ngga punya surat skrining. Tapi kalau belum dibuat peraturan pun, artinya tetep nomor satu kita adalah harus raising awareness. Apa sih talasemia, penyakit apa sih itu.

Kenapa bisa sampai Cyprus bisa sampai seketat itu soal skirining talasemia, karena ada 1 pulau yang 30 persen penduduknya pembawa talasemia sehingga banyak kelahiran anak dengan talasemia, dan itu kan beban sekali untuk negara mereka.

Sebenarnya WHO sudah menganjurkan, semua negara yang ada di sabuk thalasemia, termasuk Indonesia harus melakukan skrining talasemia pranikah.

Sebenarnya waktu Pak Sandiaga Uno jadi wakil gubernur sudah dicoba kebijakan itu, “Ayok kalau mau menikah, harus skrining di puskesmas.”

Skrining pertama kita lihat darah tepi dulu, kita lihat ukuran sel darah merahnya bagaimana. Kalau kecil-kecil itu bisa karena kurang besi atau talasemia.

Baca juga: 6 Fungsi Plasma Darah

Itu suatu gebrakan yang bagus. Sayangnya, adalah kadang si calon penganten ini datengnya udah mau deket hari H. Padahal prosesnya kan lama ya, periksa darah macem-macem.

Atau datengnya tanpa pasangan, hanya sendiri. Atau datengnya maksa, “Ngga mau tau, pokonya ga mau periksa darah, pokoknya harus ada suratnya keluar.” Terus taruh golok di meja. Itu bener kejadian tuh, jadi susah kan.

Padahal, waktu itu kerja sama dengan orang DKI. Itu mereka bilang, 32-33 persen yang dateng dan dicek itu mikrositik hipokromik. Entah itu pembawa talasemia, entah itu kurang besi. Tapi ya ngga bisa dieksplor lebih jauh, karena kaya tadi, ada keengganan dari masyarakat sendiri.

Untuk Indonesia, mungkin kita harus ikut seperti di Malaysia. Mereka kan juga bukan penganut aborsi, jadi mereka melakukan skriningnya untuk anak sekolah, waktu SMP atau SMA.

Nah saat SMP kalau ngga salah kurikulum thalasemia sudah masuk ke kurikulum sekolah, jadi dari bangku sekolah juga mengetahui tentang apa itu.

Sebetulnya kita juga sudah bisa mulai. Kaya sekarang, kalau mau masuk SD harus ada syarat imunisasi lengkap. Bisa misalnya anak mau masuk SMP, atau masuk SMA, atau mau masuk universitas, harus skrining periksa darah.

Jadi sebelum terlanjur, sudah lebih aware dulu. Jadi setidaknya dia sudah tahu posisi statusnya apakah sebagai pembawa atau tidak, nanti dia cari pasangan seperti apa. Risikonya kalau menikah dengan sesama pembawa seperti apa. Balik lagi itu kebijakan, tapi kita harus pinter.

Indonesia menganut fatwa aborsi harus di bawah 6 minggu. Nah, bagaimana mau 6 minggu itu, kadang baru sadar hamil aja udah hamil lebih dari 10 minggu. Jadi prenatal diagnosis udah ngga mungkin deh. Ya kita harus lebih pinter, mulai lebih dini.

Baca juga: Deteksi Dini Penyakit, Ahli Sebut Tes Darah Dapat Memprediksi Risiko Leukemia

7. Kalau sesama pembawa talasemia menikah, kapan sebaiknya anaknya diperiksa?

Balik lagi, menikah dan punya anak itu hak. Tapi kalau kita melakukan konseling sebelum menikah, itu mereka sudah lebih siap dengan risikonya.

Biasanya kalau ngga ada gejala, kita periksa setelah 1 tahun. Karena pada usia tersebut, hemoglobin (komponen pada sel darah merah) nya sudah banyak yang berubah menjadi hemoglobin dewasa.

Karena kalau baru lahir biasanya masih ada hemoglobin bayi kan. Tapi kalau kenanya talasemia mayor, biasanya mulai umur 3-4 bulan itu sudah mulai bergejala, misalnya pucat.

Dulu pernah ada pasien, umurnya 3 bulan, datang dengan Hb 2. Saya bilang, “Ibu kenapa datengnya baru sekarang, memang ibu ngga lihat, kalau anaknya pucat sampai begini?”

“Saya tau sih dok anak saya putih, tapi tetangga saya bilang, kalau anak saya cakep, kalau orangtuanya hitam tapi anaknya putih banget.”

Jadi dia baru ngeh pada saat anak itu udah ngga bisa ngapa-ngapain. Artinya bisa sedini itu kalau dia berat. Tapi kalau tanpa gejala, sebaiknya periksanya setelah usia 1 tahun.

8. Bagaimana perawatan talasemia di seluruh Indonesia?

Menurut saya perawatan untuk talasemia belum merata. Nomor 1 yang utama adalah darah, harus darah yang aman. Dan darah yang aman skriningnya standar internasional dengan metode nucleic acid atau NAT, baru ada di kota-kota besar.

Baca juga: Apa Fungsi Sel Darah Merah?

Di semua fasilitas PMI, semua darah yang masuk dilakukan skrining, tapi dengan cara yang kita sebut sebagai metode ELISA.

Skrining metode ELISA itu tidak bisa mendeteksi virus pada darah dalam rentang waktu tertentu atau kita sebut window period (waktu jendela).

Artinya ada darah yang mungkin virusnya belum muncul pada saat diperiksa. Jadi pada saat diperiksa di window period, virusnya belum ketahuan.

Selain dengan metode ELISA, harusnya kita juga cek dengan metode NAT, itu terutama untuk memeriksa virus Hepatitis C, Hepatitis B, HIV.

Rentang waktu atau window period-nya lebih pendek, lebih banyak yang bisa terdeteksi. Tapi memang dikatakan bahwa dengan kombinasi metode ELISA dan NAT itu pun di seluruh dunia hanya 99 persen virus bisa tercover, tapi seperti saya bilang tadi, ini bukan Allah yang bikin, jadi masih bisa 1 persen yang lolos.

Nah, pemeriksaan kombinasi skrining ini belum rata di seluruh Indonesia, terutama yang masih di pelosok. Itu satu.

Nomor dua, obat-obatan untuk mengikat atau kelasi besi. Karena mereka kelebihan besi, mereka harus dikeluarkan dengan obat, itu juga belum rata.

Alhamdulillah, di Indonesia pabrik farmasi lokal sudah ada yang memproduksi obat itu, jadi harganya lebih murah. Tetapi tetap pemerataannya belum sampai ke semua daerah.

Dan obat kelasi besi itu ada 3 jenis. Sebetulnya kalau ngga cocok obat A, bisa ambil obat B, bisa ambil obat C. Di Jakarta saja kadang-kadang ada, kadang-kadang kosong di tiap RS.

Nah itu susahnya. Padahal motto-nya talasemia: ‘tiada hari tanpa obat’. Kalaupun obatnya ada, budget-nya yang ngga pas. Misalnya dia butuh 10 tablet sehari, BPJS cuma bisa cover dapet 3 tablet sehari. Ya under-dose juga.

Baca juga: Ilmuwan AS Ciptakan Tes Darah untuk Prediksi Risiko Serangan Jantung hingga Stroke, Seperti Apa?

Under-dose, under-treatment, apa yang terjadi? Komplikasinya akan lebih cepet. Balik lagi, pemerintah lagi nanti yang kena bebannya.

Komplikasi segala rupa yang saya sebut tadi, gagal jantung, gagal hati, infertilitas, harus suntik hormon, itu lebih mahal lagi. Belum lagi kalau ternyata skrining darahnya kurang bagus, lalu pasien terinfeksi hepatitis B, hepatitis C.

Kan diobati antivirus lebih mahal. Fasilitas untuk perawatan komplikasi pun mungkin hanya ada di ibukota propinsi atau kota-kota besar, sehingga yang kena komplikasi harus kita rujuk ke kota besar, harus ada ongkosnya, itu jadi lebih mahal lagi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com