Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Hari Talasemia Sedunia: Mari Mengubah Dunia dengan Cek Darah

Oleh: dr Ignatia Karina Hartanto

UUNTUK k-pop idol lover, tanggal 8 Mei bisa jadi berarti karena ulang tahun aktor Kim Seon Ho.

Namun, pada hari tersebut juga, seluruh dunia juga memperingati sebuah momen: hari talasemia sedunia, hari yang didedikasikan untuk meningkatkan pengetahuan awam mengenai sebuah penyakit genetik yang menyerang sel darah merah.

Teknologi dalam bidang kesehatan yang terus maju sudah banyak membongkar biang kerok dari berbagai kondisi, yang bisa saja ternyata karena diturunkan, atau disebut penyakit keturunan, bahasa ilmiahnya: penyakit genetik.

Seorang anak bisa mengalami penyakit genetik apabila kedua orangtuanya merupakan pembawa kelainan genetik penyakit tersebut.

Pembawa kelainan genetik bisa jadi mereka yang memang sakit, bisa jadi yang tidak sakit. Banyak orang tampak sehat, tapi ternyata merupakan pembawa kelainan genetik penyakit tertentu.

Banyak orang tampak sehat, tapi bisa menjadi pembawa kelainan genetik talasemia.

Sejarah talasemia

Mengulik sedikit sejarah mengenai talasemia, penyakit keturunan ini belum sampai 100 tahun sejak pertama kali dikenali.

Tahun 1925, Thomas Cooley yang merupakan seorang dokter dari Amerika Serikat untuk pertama kalinya menerangkan sebuah penyakit kekurangan darah setelah menyadari kesamaan kondisi pucat dan bentuk wajah pada anak-anak yang berada di daerah sekitar Itali dan Yunani.

Istilah talasemia berasal dari bahasa Yunani yaitu thalassa yang berarti laut, diambil sebagai istilah yang menerangkan kejadian pucat tersebut terjadi pada anak-anak yang orangtuanya berasal dari daerah sekitar Laut Mediterania.

Tahun 1938, baru diketahui bahwa talasemia adalah penyakit genetik.

Salah satu teori yang berusaha menjelaskan kejadian mutasi genetik pembentuk sel darah merah pada penduduk sekitar Laut Mediterania adalah sebagai salah satu bentuk pertahanan alami terhadap penyakit malaria yang juga tinggi pada daerah tersebut.

Parasit malaria tidak dapat bertahan dan berkembang dalam tubuh host dengan sel darah merah yang tidak sempurna.

Dengan banyak kejadian di dunia, banyak penduduk dari Eropa dan daerah Laut Mediterania bermigrasi terutama ke Asia dan menikah. Yang disadari kemudian adalah terdapat pola peningkatan kejadian talasemia yang dijumpai bersamaan dengan pola migrasi tersebut.

Peningkatan kejadian anak yang lahir dengan talasemia di Asia menandakan bahwa angka kejadian penduduk dengan pembawa genetik talasemia di Asia juga menjadi tinggi.

Istilah sabuk talasemia (thalassemia belt) kemudian digunakan untuk menandai daerah dengan kejadian pembawa genetik talasemia yang tinggi. Dan Indonesia juga termasuk dalam area sabuk talasemia.

Menjadi bagian dari sabuk talasemia, masyarakat Indonesia tentu perlu tahu mengenai talasemia. Artikel ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan tersebut.

Dengan pengalaman lebih dari 3 dekade dalam menangani pasien talasemia dan berjuang dari sisi pengobatan hingga pencegahan, Prof. Dr. dr. Pustika Amalia, Sp.A(K) membagikan banyak insight mengenai talasemia.

Akrab dipanggil dengan sebutan Prof. Lia, beliau adalah seorang guru besar dari Fakultas Kedokteran Departemen Ilmu Kesehatan Anak, khususnya dalam bidang hematologi (ilmu mengenai darah).

Artikel ini merupakan hasil wawancara dengan beliau, dan dengan luasnya pengetahuan beliau mengenai talasemia, pertanyaan satu bergulir ke pertanyaan berikut hingga tanpa sadar banyak isu mengenai talasemia dipaparkan dengan sangat jelas dan mencerahkan.

1. Apa sih talasemia itu?

Talasemia adalah sebuah kelaianan di mana hemoglobin yang merupakan komponen sel darah merah tidak terbentuk secara sempurna. Sehingga hal ini menyebkan sel darah merah mudah pecah.

Pengidapnya akan mengalami kurang darah dan menjadi pucat.

Kurang darah pada talasemia ini tidak bisa diatasi dengan pemberian zat besi penambah darah karena sifatnya turunan genetik, sehingga obatnya adalah transfusi darah seumur hidup, khususnya untuk talasemia mayor dengan manifestasi yang berat, pasien membutuhkan transfusi darah rutin yang berlangsung seumur hidup.

2. Berapa kejadian talasemia di Indonesia?

Indonesia termasuk tinggi talasemia karena termasuk dalam sabuk talasemia dunia. dikatakan pembawa sifat thalasemia di Indonesia sekitar 3-10 persen, bahkan di tempat tertentu seperti Palembang diperkirakan bisa sampai 15 persen.

Sementara di Pulau Sumba, bisa dikatakan hampir 1/3 penduduknya adalah pembawa jenis talasemia yang ringan.

Kalau kita ambil 5 persen saja, artinya 5 dari 100 penduduk Indonesia adalah pembawa sifat. Nah, sebetulnya pembawa sifat talasemia itu seperti orang normal. Tapi kalau kita lihat ukuran sel darah merahnya pasti akan lebih kecil dari sel darah merah orang yang normal.

Karena pembawa sifat di Indonesia itu banyak, repot kalau ada perkawinan diantara 2 orang pembawa sifat. Kalau pembawa sifat ini menikah, 25 persen kemungkinan anaknya butuh transfusi darah seumur hidup, itu yang kita sebagai bilang thalsemia mayor.

Dan kemungkinan 25 persen itu dari setiap kehamilan, artinya kalau anaknya sekarang mayor, bisa jadi berikutnya mayor. Jadi bisa saja memiliki lebih dari 1 anak dengan talasemia. Bisa jadi cukup banyak.

Di Indonesia saat ini yang terdata butuh transfusi ada sekitar 11.000 - 12.000 penduduk. Padahal kalau kita hitung dengan rumus, tahun 2022 seharusnya ada 25.000 penduduk yang butuh transfusi.

Sisanya kemana? Bisa jadi keterbatasan fasilitas untuk mendiagnosis, keterbatasan pengetahuan dari orangtua maupun pegawai kesehatan sehingga tidak terdiagnosis, atau bisa saja sudah terlanjut menigngal sebelum terdiagnosis. Pada dasarnya, banyak kasus talasemia yang saat ini masih belum terdiagnosis.

3. Ada berapa jenis talasemia?

Kalau kita melihat berdasarkan kasat mata gejala klinis, pembagiannya adalah

  1. dependent transfusi
  2. non-dependent transfusi

Ada juga yang disebut sebagai non-dependent, yang dulu kita sebut sebagai thalasemia minor. Ada sebagian kecil kelompok thalasemia yang mengalami kelainan ringan, jadi tidak butuh transfusi.

Yang dependent transfusi itu yang dulu kita sebut sebagai talasemia mayor, jadi butuh transfusi seumur hidup. Ada yang moderate atau berada di tengah-tengah, butuh transfusi tapi lebih jarang.

Kemudian ada yang kelainan genetiknya lebih ringan, sehingga butuh transfusi kalau ada beban metabolisme seperti saat sakit berat atau saat hamil.

4. Apakah talasemia bisa disembuhkan?

Talasemia adalah kelainan genetik. Jadi sebetulnya kalau mau diobati, komponen genetik yang rusak itu yang diganti. Dan sekarang dunia sedang mengarah kesana.

Gen yang baik itu akan dibawa mengganti gen yang rusak. Siapa pembawa gen yang baik itu? Yang digunakan sekarang adalah lentivirus.

Jadi virus tersebut akan membawa gen yang sudah kita rekayasa, dan kita sudah mengetahui gen penyebab talasemianya di mana. Hanya saja, yang masih menjadi perdebatan adalah apakah itu bisa pas.

Rekayasa genetik ini seperti kita ganti sikring, harus pas betul karena beda sedikit perlekatan kode gen akan berbeda dari yang diharapkan.

Kekhawatiran berikutnya adalah apa yang akan terjadi pada lentivirus setelah mengganti gen. Apakah kemudian ia bisa menyebabkan sesuatu yang lain yang masih belum diketahui.

Namun, rekayasa genetik ini sudah mulai. Sekitar 5-6 tahun lalu saya pernah bertemu dengan orang Laos yang tinggal di Chicago, yang merupakan pasien talasemia mayor yang dilakukan rekayasa genetik pertama kali dan berhasil.

Jadi memang ada harapan, tapi biayanya masih mahal, mungkin sekitar 8-10 miliar rupiah. Mudah-mudahan makin lama biayanya bisa semakin murah.

Yang sekarang banyak dilakukan adalah transplantasi atau menggantikan sumsum tulang yang rusak, karena sumber produksi darah merah adalah di sumsum tulang.

Karena yang diganti bukan gen, jadi pasien akan tetap punya gen thalasemia, tapi dia tidak lagi butuh transfusi darah, salah satu yang membuat kualitas hidup jelek.

Saat ini, transplantasi sumsum tulang adalah yang paling banyak dilakukan. Namun fasilitasnya belum ada di Indonesia. Untuk yang mampu, akan kita kirim ke Thailand.

Sebenarnya biaya transplantasi itu tidak mencapai 1 miliar rupiah, tapi itu belum termasuk biaya tinggal di sana minimal 6 bulan.

Kalau prosedur berlangsung mulus, biaya yang dibutuhkan mungkin sekitar 2 miliar rupiah. Besar kecil biaya transplantasi tergantung dari berat badan yang kemudian menentukan dosis dari obat-obatan serta ada tidaknya komplikasi.

Jadi kalau tidak ada komplikasi mungkin 2 miliar rupiah cukup. Tapi kalau ada komplikasi, ada yang bahkan mencapai 7 miliar rupiah.

Mengerjakan transplantasi mungkin cenderung mudah.

Kalau orang bilang transplantasi sumsum tulang, biasanya dikira langsung dari sumsum tulang. Padahal, sekarang dari darah tepi saja, seperti ambil darah dan kemudian memasukkan darah kembali.

Untuk donor umumnya dari saudara kandung penyintas, tapi kalau tidak ada bisa dari ayah atau ibu kandung. Kita menentukan donor yang cocok, kemudian diambil darahnya dari pembuluh darah tepi.

Darah tersebut kemudian disemai. Kalau sudah tumbuh, pasien akan diberikan kemoterapi supaya aktivitas sumsum tulangnya turun sampai nol.

Kalau sudah sesuai target, akan dimasukkan sumsum tulang yang disemai dari darah tersebut ke pasien. Biasanya, lama prosedur mulai dari proses semai sumsum tulang, pemberian donor, hingga munculnya aktivitas atau mulai tumbuh sumsum tulangnya berkisar antara 1-3 bulan.

Jadi 1-3 bulan itu pasien harus tinggal di kamar steril karena daya tahan tubuhnya sangat jelek sehingga rentan infeksi yang kemudian bisa menimbulkan komplikasi.

Sekali lagi, proses transplantasi itu mudah, yang sulit adalah mengatasi komplikasi, terutama graft versus host disease-nya karena yang dimasukkan adalah tetap benda asing sehingga tubuh tetap mengadakan reaksi penolakan.

Saat ini mungkin sudah ada sekitar 50 orang yang melakukan transplantasi. Dan kita saat ini sedang menjajaki untuk bisa melakukan transplantasi di Indonesia.

Tapi tadi ya, bukan hanya proses transplantasinya saja tetapi komplikasi dan pasca-transplantnya. Kita harus punya tempat yang baik, sumber daya manusia yang baik, karena ngga cuma keahlian dari hematologi saja, melainkan dari bidang lain seperti infeksi, atau paru.

Dan satu lagi adalah obat-obatan. Saat ini kita masih kerjasama dengan negara lain, jadi misal ada obat-obatan yang dibutuhkan pasca-transplant yang ngga ada di Indonesia, kita masih harus ambil di Thailand.

Tetap saja penyediaan itu butuh campur tangan pemerintah supaya obat-obatan yang kita butuh itu tersedia. Jangan sampai kita butuh, kita baru minta ke negara lain. Belum lagi nanti masuk obatnya, imigrasi, bea cukai.

Ada contoh 1 pasien sudah transplantasi 2 tahun lalu, tapi sebelum Idul Fitri kemarin ia mengalami demam tinggi terus-menerus dan ternyata rongga sinus di wajahnya penuh jamur. Yang ikut terlibat menangani tentu juga mulai dari dokter infeksi sampai dokter patologi anatomi.

Kemudian sudah ketahuan infeksi jamur, kita ngga punya obat jamurnya, sehingga mintalah ke Thailand. Kita titip ke pasien yang lain untuk bawa ke Indonesia. Harganya juga mahal, sampai 6 juta rupiah per vial, sementara kebutuhannya 3 vial sehari selama 3 minggu.

Untunglah keluarganya masih mampu. Ini sebuah pengalaman yang menekankan bahwa membuat unit transplant itu ngga cuma unitnya saja, tapi sarana dan prasarana penunjangnya itu juga harus bagus, harus mulai dari sumber daya manusia sampai obat-obatan.

5. Beban apa saja yang harus dijalani oleh penyintas talasemia?

Kita ambil contoh satu keluarga, anaknya talasemia. Okelah sekarang darah dan obat ditanggung oleh pemerintah.

Tapi, pemerintah mempunyai limitasi budget. Kalau anak itu makin besar, berat badannya makin berat, otomatis kebutuhan obat, kebutuhan darah juga akan bertambah.

Kenapa dia butuh obat? terutama untuk mengeluarkan zat besi. karena si anak itu mendapatkan transfusi rutin, sementara dalam kantong darah itu banyak sekali zat besi yang akan menempel pada organ.

Mereka yang terlalu banyak zat besi, kalau kelihatan dari luar, kulitnya jadi hitam. Tapi juga jantung, paru, kelenjar pankreas pembentuk insulin, kelenjar pembentuk hormon reproduksi, itu juga ketutupan sama zat besi.

Apa yang terjadi? Bisa gagal jantung, hatinya rusak, pankreasnya rusak, hormon pertumbuhan dan hormon seksualnya ngga ada. Mungkin dia jadi pendek, merasa dirinya jelek, ngga bisa punya keturunan.

Itulah alasan dia harus minum obat seumur hidup, untuk mengeluarkan zat besinya supaya tidak menumpuk di organ tubuhnya. Dan untuk kebutuhan obat itu makin besar anak, akan makin besar juga dosisnya.

Pemerintah saat ini sudah mengadakan santunan lewat BPJS, tapi tentu ada limitnya sehingga untuk anak-anak yang sudah besar sering tidak mencukupi.

Nah, yang terjadi apa? Tadi, minum obat seumur hidup, transfusi seumur hidup.

Bisa ngebayangin, anak pasti bosen, marah. Bahkan ada juga yang bilang, “Ah dokter bodoh. Dokter kasih obat, saya ngga sembuh-sembuh.” Itu rasanya dalem banget ya.

Belum lagi kalau anak yang terkena talasemia ngga cuma 1, tapi ada 3. Walaupun dia dapat bantuan BPJS, tapi kan butuh ongkos ke RS. Orangtuanya juga butuh ongkos buat makan nungguin anaknya berobat dan transfusi darah.

Dan transfusi darah itu sekali tiap 2-4 minggu, seumur hidup. Itu bisa dibayangkan keluarga, dan dari anak itu sendiri, dia bosen dong, transfusi terus, minum obat terus.

Dulu obatnya yang suntik, sekarang diganti sama yang minum juga tetep aja, coba kita minum obat 3 hari aja, juga bisa lupa, kadang ngga mau. Sementara dia bisa minum 9 tablet, 12 tablet, setiap hari.

Lalu fisik mereka juga berubah, karena transfusi terus-terusan, ngga bisa dihindari kulitnya akan menghitam. Kalau transfusi darahnya ngga bener (kurang karena keterbatasan darah), limpanya membesar dan membuat perutnya membuncit.

Belum lagi wajahnya juga berubah karena tulangnya berubah (menipis karena sumsum tulang yang terus berusaha memproduksi sel darah merah baru).

Memang sekarang umur mereka sudah lebih panjang, bahkan ada yang sampai 50 tahun. Namun kualitas hidupnya akan kurang, karena mungkin jadi pendek, bentuk fisiknya dirasa tidak bagus, sehingga membuat mereka merasa inferior.

Kalau sekolah mereka harus izin 2-4 minggu sekali, diledek teman-temannya. Ada yang sampai ngga mau sekolah, ada yang berhenti sekolah.

Kalau lanjut sekolah lalu saat selesai dan cari kerja, diskrining tau-tau ada aja yang kecolongan kena hepatitis C, atau positif HIV (penyakit yang dapat menular melalui transfusi darah).

Walaupun darah sudah diskrining ya, tetep ngga 100 persen karena bukan buatan Tuhan. Ada kemungkinan yang kurang beruntung.

Atau mereka sudah diterima kerja akhirnya tapi kemudian harus izin 2-4 minggu sekali. Sering mereka akhirnya dipandang sebelah mata, “Oh ngga bisa, kamu ngga produktif.”

Jadi mereka ini masa depannya ngga jelas. Ada aja sih penyintas talasemia yang beruntung, yang bisa jadi dokter, punya pekerjaan, bahkan jadi tim staf menteri pariwisata.

Tapi berapa yang beruntung seperti itu? Itu bisa dihitung dengan jari.

Belum lagi ketika ingin punya pasangan, mau cari pacar. Banyak yang kepercayaan dirinya rendah, merasa tidak percaya diri dibanding yang lain, dan ngga akan ada yang mau sama mereka.

Ada yang menikah karena merasa cuma orang itu yang mau, dan merasa ngga bisa memilih pasangan.

Ada juga yang bapak ibunya merasa malu. Ada yang jadi bercerai karena saling menyalahkan. Jadi itulah bebannya, buat personal sendiri bebannya, ke keluarga, belum lagi pemerintah.

Talasemia ini sampai menghabiskan biaya BPJS ke-5 terbesar.

6. Apakah penyintas talasemia bisa menikah?

Menikah dan punya anak, itu hak seseorang, ngga bisa dibilang ngga boleh. Yang penting seseorang tahu statusnya.

Itu yang dilakukan juga di negara-negara talasemia maju seperti di Cyprus, Itali. Kalau pasangan mau menikah, mereka harus melakukan skrining.

Kalau yang sudah sakit talasemia, sudah tergantung transfusi, tentu baiknya menikah dengan orang normal. Tapi kan orang normal bisa dia normal beneran bisa dia pembawa sifat.

Jadi orang normal tetep harus ngecek. Kalau ternyata si 2 orang sehat ini ternyata pembawa sifat, mereka akan diberi nasehat perkawinan, diceritakan apa risiko mereka.

Dan kalau mereka ngga bawa surat skrining, maka mereka ngga akan dinikahkan. Kalau mereka mau mendapat surat perkawinan itu mereka pilih.

Umumnya, mereka tetep menikah, namanya udah cinta. Tetapi, di sana ada undang-undang dimana kalau 2 orang pembawa sifat itu ketahuan menikah, maka harus melakukan prenatal diagnosis pada saat umur kehamilan dibawah 17 minggu.

Nanti dilihat janinnya, sehat, sakit, atau pembawa sifat. Mereka punya kemungkinan anaknya 25 persen sehat, 50 persen pembawa sifat, 25 persen sakit.

Kalau sehat dan pembawa sifat, ya alhamdulillah. Tapi kalau sakit mau diapain?

Nah, di sana itu sampai dibuat fatwa, di Cyprus dan Italia. Dan termasuk negara Islam seperti di Iran, itu juga buat fatwa: kalau janinnya sakit dan ternyata kehamilannya masih dibawah 17 minggu, itu dimungkinkan untuk dilakukan aborsi, karena mengingat nanti beban ke depannya.

Dengan skrining itu, apa yang terjadi? Mereka mulai melakukan skrining itu di tahun 1970-an, dan di tahun 1990, angka kelahiran angka talasemia mayor relatif nol di negara mereka, sampai sekarang masih hampir nol.

Dan itu jauh menghemat biaya pemerintah. Sampai begitu hebatnya mereka berpikir seperti itu. Tapi balik lagi, itu adalah pemerintah.

Jadi untuk menurunkan kelahiran talasemia, screening is a must, tapi tentu baru bisa berjalan serentak kalau itu dari pemerintah.

Masalahnya kalau ngga ada regulasinya, sekarang kalau kita disuruh periksa darah, yang tampak sehat disuruh periksa darah, pastinya kan protes, “Kenapa g periksa darah. G sehat, g mesti bayar pula.”

Tapi kalau ini sesuatu yang wajib, seperti mereka menjadi syarat untuk menikah dan ngga akan dinikahkan kalau ngga punya surat skrining. Tapi kalau belum dibuat peraturan pun, artinya tetep nomor satu kita adalah harus raising awareness. Apa sih talasemia, penyakit apa sih itu.

Kenapa bisa sampai Cyprus bisa sampai seketat itu soal skirining talasemia, karena ada 1 pulau yang 30 persen penduduknya pembawa talasemia sehingga banyak kelahiran anak dengan talasemia, dan itu kan beban sekali untuk negara mereka.

Sebenarnya WHO sudah menganjurkan, semua negara yang ada di sabuk thalasemia, termasuk Indonesia harus melakukan skrining talasemia pranikah.

Sebenarnya waktu Pak Sandiaga Uno jadi wakil gubernur sudah dicoba kebijakan itu, “Ayok kalau mau menikah, harus skrining di puskesmas.”

Skrining pertama kita lihat darah tepi dulu, kita lihat ukuran sel darah merahnya bagaimana. Kalau kecil-kecil itu bisa karena kurang besi atau talasemia.

Itu suatu gebrakan yang bagus. Sayangnya, adalah kadang si calon penganten ini datengnya udah mau deket hari H. Padahal prosesnya kan lama ya, periksa darah macem-macem.

Atau datengnya tanpa pasangan, hanya sendiri. Atau datengnya maksa, “Ngga mau tau, pokonya ga mau periksa darah, pokoknya harus ada suratnya keluar.” Terus taruh golok di meja. Itu bener kejadian tuh, jadi susah kan.

Padahal, waktu itu kerja sama dengan orang DKI. Itu mereka bilang, 32-33 persen yang dateng dan dicek itu mikrositik hipokromik. Entah itu pembawa talasemia, entah itu kurang besi. Tapi ya ngga bisa dieksplor lebih jauh, karena kaya tadi, ada keengganan dari masyarakat sendiri.

Untuk Indonesia, mungkin kita harus ikut seperti di Malaysia. Mereka kan juga bukan penganut aborsi, jadi mereka melakukan skriningnya untuk anak sekolah, waktu SMP atau SMA.

Nah saat SMP kalau ngga salah kurikulum thalasemia sudah masuk ke kurikulum sekolah, jadi dari bangku sekolah juga mengetahui tentang apa itu.

Sebetulnya kita juga sudah bisa mulai. Kaya sekarang, kalau mau masuk SD harus ada syarat imunisasi lengkap. Bisa misalnya anak mau masuk SMP, atau masuk SMA, atau mau masuk universitas, harus skrining periksa darah.

Jadi sebelum terlanjur, sudah lebih aware dulu. Jadi setidaknya dia sudah tahu posisi statusnya apakah sebagai pembawa atau tidak, nanti dia cari pasangan seperti apa. Risikonya kalau menikah dengan sesama pembawa seperti apa. Balik lagi itu kebijakan, tapi kita harus pinter.

Indonesia menganut fatwa aborsi harus di bawah 6 minggu. Nah, bagaimana mau 6 minggu itu, kadang baru sadar hamil aja udah hamil lebih dari 10 minggu. Jadi prenatal diagnosis udah ngga mungkin deh. Ya kita harus lebih pinter, mulai lebih dini.

7. Kalau sesama pembawa talasemia menikah, kapan sebaiknya anaknya diperiksa?

Balik lagi, menikah dan punya anak itu hak. Tapi kalau kita melakukan konseling sebelum menikah, itu mereka sudah lebih siap dengan risikonya.

Biasanya kalau ngga ada gejala, kita periksa setelah 1 tahun. Karena pada usia tersebut, hemoglobin (komponen pada sel darah merah) nya sudah banyak yang berubah menjadi hemoglobin dewasa.

Karena kalau baru lahir biasanya masih ada hemoglobin bayi kan. Tapi kalau kenanya talasemia mayor, biasanya mulai umur 3-4 bulan itu sudah mulai bergejala, misalnya pucat.

Dulu pernah ada pasien, umurnya 3 bulan, datang dengan Hb 2. Saya bilang, “Ibu kenapa datengnya baru sekarang, memang ibu ngga lihat, kalau anaknya pucat sampai begini?”

“Saya tau sih dok anak saya putih, tapi tetangga saya bilang, kalau anak saya cakep, kalau orangtuanya hitam tapi anaknya putih banget.”

Jadi dia baru ngeh pada saat anak itu udah ngga bisa ngapa-ngapain. Artinya bisa sedini itu kalau dia berat. Tapi kalau tanpa gejala, sebaiknya periksanya setelah usia 1 tahun.

8. Bagaimana perawatan talasemia di seluruh Indonesia?

Menurut saya perawatan untuk talasemia belum merata. Nomor 1 yang utama adalah darah, harus darah yang aman. Dan darah yang aman skriningnya standar internasional dengan metode nucleic acid atau NAT, baru ada di kota-kota besar.

Di semua fasilitas PMI, semua darah yang masuk dilakukan skrining, tapi dengan cara yang kita sebut sebagai metode ELISA.

Skrining metode ELISA itu tidak bisa mendeteksi virus pada darah dalam rentang waktu tertentu atau kita sebut window period (waktu jendela).

Artinya ada darah yang mungkin virusnya belum muncul pada saat diperiksa. Jadi pada saat diperiksa di window period, virusnya belum ketahuan.

Selain dengan metode ELISA, harusnya kita juga cek dengan metode NAT, itu terutama untuk memeriksa virus Hepatitis C, Hepatitis B, HIV.

Rentang waktu atau window period-nya lebih pendek, lebih banyak yang bisa terdeteksi. Tapi memang dikatakan bahwa dengan kombinasi metode ELISA dan NAT itu pun di seluruh dunia hanya 99 persen virus bisa tercover, tapi seperti saya bilang tadi, ini bukan Allah yang bikin, jadi masih bisa 1 persen yang lolos.

Nah, pemeriksaan kombinasi skrining ini belum rata di seluruh Indonesia, terutama yang masih di pelosok. Itu satu.

Nomor dua, obat-obatan untuk mengikat atau kelasi besi. Karena mereka kelebihan besi, mereka harus dikeluarkan dengan obat, itu juga belum rata.

Alhamdulillah, di Indonesia pabrik farmasi lokal sudah ada yang memproduksi obat itu, jadi harganya lebih murah. Tetapi tetap pemerataannya belum sampai ke semua daerah.

Dan obat kelasi besi itu ada 3 jenis. Sebetulnya kalau ngga cocok obat A, bisa ambil obat B, bisa ambil obat C. Di Jakarta saja kadang-kadang ada, kadang-kadang kosong di tiap RS.

Nah itu susahnya. Padahal motto-nya talasemia: ‘tiada hari tanpa obat’. Kalaupun obatnya ada, budget-nya yang ngga pas. Misalnya dia butuh 10 tablet sehari, BPJS cuma bisa cover dapet 3 tablet sehari. Ya under-dose juga.

Under-dose, under-treatment, apa yang terjadi? Komplikasinya akan lebih cepet. Balik lagi, pemerintah lagi nanti yang kena bebannya.

Komplikasi segala rupa yang saya sebut tadi, gagal jantung, gagal hati, infertilitas, harus suntik hormon, itu lebih mahal lagi. Belum lagi kalau ternyata skrining darahnya kurang bagus, lalu pasien terinfeksi hepatitis B, hepatitis C.

Kan diobati antivirus lebih mahal. Fasilitas untuk perawatan komplikasi pun mungkin hanya ada di ibukota propinsi atau kota-kota besar, sehingga yang kena komplikasi harus kita rujuk ke kota besar, harus ada ongkosnya, itu jadi lebih mahal lagi.

9. Kalau begitu bagaimana menyiasati keterbatasan di daerah?

Ya itu yang memang masih ngenes ya, keterbatasan darah dan obat. Itu seperti di Jakarta aja kemaren waktu puasa, susah banget cari darah, apalagi di daerah.

Kalau susah darah, biasanya kita menganjurkan satu: kalau bisa cari donor tetap. Artinya satu orang punya 6 orang pendonor darah khusus. U

ntuk donor darah hanya bisa 3 bulan sekali, jadi kalau kebutuhannya per 2 minggu harus transfusi darah, pas 6 orang dalam 3 bulan. Dan kita sudah tahu orang-orangnya bersih (tidak mengidap penyakit menular melalui darah).

Untuk obat, kalau obat-obatannya dibatasi, kita harus pastikan obat yang ada itu harus dibagi rata cukup sampai 30 hari. Artinya, lebih baik kalau dia minumnya kurang tapi tetep terus minum obatnya.

Misalnya harusnya minum 5 tablet obat, tapi jadinya 3 tablet. Yang penting kontinu sampai 1 bulan terus, dibanding dia minum 5 tablet, tapi nanti berhenti minum di tengah-tengah bulan.

Ya tapi balik lagi itu under-dose, dan kita mesti sadar, kalau 3-5 tahun komplikasinya akan muncul. Tapi itu adalah satu strategi dimana kita bisa melakukan terapi yang kontinu walaupun kurang.

Balik lagi, untuk obat, bisa saja ngga minum obat karena tidak ada ketersediaan obatnya, bisa karena ada obatnya tapi mahal.

Jadi sebetulnya, pencegahan dengan skrining talasemia itu adalah yang utama. Itu bisa paling tidak mengurangi angka kelahiran talasemi, membantu pemerintah mengurangi budget untuk talasemia.

Sama secara psikologis, kalau kita ngga segera melakukan skrining talasemia, makin banyak lahir anak dengan talasemia, akan seperti apa kualitas hidup masyarakat kita.

10. Kalau kita tidak melakukan skrining, kapan akan terjadi peledakan populasi penduduk dengan talasemia?

Yang terjadi adalah seringkali kasus tidak terdeteksi maupun tercatat dengan baik. Sepuluh tahun lalu, kasus talasemia yang butuh transfusi tercatat sekitar 4.000 kasus.

Nah, prediksi di tahun 2022 akan ada sekitar 25.000 kasus talasemia mayor. Tapi sekarang yang tercatat mungkin sekitar 12.000 kasus.

Ke mana itu hilangnya kasus yang diprediksi dengan yang tercatat? Mungkin sudah meninggal duluan, atau ngga terdeteksi.

Tapi dalam 10 tahun saja, sudah ada peningkatan lebih dari 2x lipat. Bayangkan 10 tahun lagi kalau kita tidak segera mulai skrining. Jadi sebenarnya skirining talasemia ini urgent.

Sebenarnya saya sudah minta BPJS jangan hanya kuratif, tapi preventif. Mereka sebetulnya akan jadi lebih murah kan.

Daripada mereka budgetnya jutaan rupiah sebulan per pasien talasemia, sementara skrining belum ada programnya. Kalau pemeriksaan mandiri di laboratorium atau layanan kesehatan swasta, mungkin itu sekitar 500 ribu-an ya per orang, jadi 1 juta rupiah sepasang.

Tapi kalau pemerintah yang berinisiatif mengadakan regulasi, mungkin harganya akan jadi lebih murah. Contohnya swab PCR dan antigen Covid-19 itu yang dulu berapa juta, sekarang cuma ratusan ribu. Semua mungkin kalau pemerintah yang adain.

11. Kalau belum ada campur tangan pemerintah sama sekali, jadi apa saja yang saat ini sudah dilakukan Indonesia untuk berpartisipasi dalam komunitas internasional talasemia terkait Hari talasemia Sedunia?

Saat ini ada komunitas Thalasemia Movement, sebuah komunitas yang bertujuan untuk meningkatkan awareness masyarakat tentang talasemia. Kebanyakan anggotanya adalah penyintas talasemia, jadi dari mereka untuk mereka.

Mereka yang justru aktif berjuang untuk membuat skirining talasemia nasional, supaya jangan sampai seperti mereka lah.

Komunitas Thalassemia Movement merupakan salah satu anggota Thalassemia International Federation (sering disingkat TIF, yaitu komunitas internasional talasemia). Kita sudah rutin ikut pertemuan dengan mereka.

Bahkan anak-anak Thalasemia Movement sering sekali berkomunikasi dengan para anggota TIF. Walaupun ada pandemi Covid, mereka sering mengobrol online, sering tukar pikiran.

Lalu kemudian beberapa perusahaan farmasi juga mendatangkan pembicara-pembicara asing. Kadang kita juga yang bicara di forum, bagaimana sih perkembangan talasemia di negara kita.

Networking se-ASEAN kita juga cukup kuat, terutama dengan Thailand. Kebetulan guru saya di sana, dan Indonesia dengan Thailand itu bagus sekali kerja samanya, kita saling bantu.

Jadi sebetulnya, secara umum gaung Indonesia untuk talasemia cukup kuat di dunia global.

12. Bagaimana peran masyarakat awam dalam membantu mewujudkan skirining talasemia?

Masyarakat kita sekarang sudah pinter, dan medsosnya hebat banget. Apa yang ada di luar sana bisa sampai tahu ke sini dalam hitungan detik, menit.

Jadi sebetulnya kita bisa nge-blast tentang talasemia, dan masyarakat awam bisa ikut bantu meneruskan. Dan itu sudah kita terus lakukan.

Komunitas Thalassemia Movement itu banyak membantu, karena mereka punya akun instagram sendiri, suka mengadakan event dan edukasi dalam segala rupa untuk meningkatkan kesadaran untuk skrining. Buat saya, itu yang penting.

Orang sehat ngga akan mau periksa darah kalau ngga tahu untungnya buat dia. Banyak yang berpikir, “Kenapa saya harus keluar uang untuk sesuatu kalau saya tampaknya sehat.” Jadi kita harus kasih tau, thalasemia itu apa, kenapa penting harus periksa, kenapa di negara kita banyak.

Itu dulu deh. kalau orang tau, orang kenal, baru mereka paham, “Oh ini ada manfaatnya buat saya, ya udah saya periksa deh.”

Tapi bagaimana dengan orang-orang yang tidak bisa bayar untuk cek darah? Jadi juga harus ada komitmen dari pemerintah.

Kalau pemerintah sadar bahwa harus melakukan skrining untuk penduduknya, ujungnya akan membantu mereka menurunkan budget untuk terapi.

Kalau saya hitung-hitung secara kasar, dalam 1 tahun, anak talasemia dibayarin BPJS sekitar 300-400 juta rupiah. Jumlah itu bisa untuk skrining 1000 orang. Kalau dilakukan untuk skrining dan mencegah penambahan talasemia, ujungnya kita bisa hemat triliunan rupiah.

Untuk bisa sampai kesana, kita ngga bisa berdiri sendiri, tetap harus ada komitmen pemerintah, yang menyatakan bahwa semua harus melakukan skrining, seperti tadi mau masuk SMP, atau mau ambil SIM, atau apalah, yang penting it’s a must.

Tapi semua bisa dimulai dari kesadaran masyarakat awam untuk cek darah dan tahu statusnya.

13. Bagaimana peran tenaga medis dalam membantu mewujudkan skirining talasemia?

Pemerintah dan tenaga medis harus bekerja sama. Pemerintah membuat regulasi, sambil tenaga medis bantu menjelaskan untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat.

Sebenernya udah lama kita tenaga medis yang terlibat dalam penanganan talasemia ini teriak-teriak ke pemerintah untuk segera buat skrining talasemia.

Tapi minta komitmen pemerintah melakukan hal ini tidak semudah ngebalikin telapak tangan ya, buktinya dari zaman ayah saya (Prof. Dr. dr. Iskandar Wahidayat, Sp.A(K)) sampai sekarang, masih begini-begini aja, kaya orang main panco.

Udah berjuang buat regulasi ini, tapi ngga gol-gol. Nanti udah ada mulai titik terang, terus pemimpinnya ganti, tenggelem lagi kebijaksanaannya, mulai dari nol lagi. Tapi kita ngga boleh putus asa.

Sekarang para tenaga medis, mulai dari diri sendiri, dalam arti cek darah pasiennya. Dan kalau periksa darah, jangan cuma Hb, Ht, leukosit, trombosit saja, tapi periksa juga indeks eritrositnya.

Jadi kita udah skrining pasien duluan, mulai dari kita, pasien kita, sambil kita terus usaha endorse si pemerintah. Mudah-mudahan suatu saat akan gol.

Jadi untuk meningkatkan kesadaran awam, saya himbau juga rekan-rekan sejawat, adik-adik saya. Kalau ada kesempatan, periksa darah lengkap pasiennya yang juga bisa dilihat ukuran eritrositnya, waspada kalau ukurannya kecil-kecil. Bedain antara dua saja, kurang zat besi, atau pembawa genetik talasemia.

Bisa loh mulai dari kita untuk periksain darah pasiennya, minimal sekali.

14. Untuk tenaga medis, apa langkah selanjutnya apabila ternyata ukuran sel darah menunjukkan mikrositik hipokromik?

Sebenernya dokter spesialis anak umum bahkan dokter umum juga bisa cek, ngga harus khusus ke hematologi.

Jadi kalau ketemu mikrositik hipokrom, coba cek dulu anak ini makannya bener ngga sih, skrining awal dietnya, cek status besinya, atau kalau sekarang paling gampang bisa lihat RET-HE, yang mengambarkan kadar hemoglobin pada sel darah merah muda.

Kalau normal, arahnya bukan karena kurang zat besi, next step kita periksa analisis Hb. talasemia yang banyak kejadiannya itu ada masalah pada gen alpha dan gen beta. Nah yang analisis Hb itu bisa mencari thalasemia beta, yang kejadiannya paling banyak.

Tapi kalau di situ status betanya normal, jadi apalagi dong nih. kemungkinan adalah thalasemia alpha. Untuk thalasemia alpha itu kita punya empat gen alpha, kalau hilang 1 atau 2 gen, ngga akan ketahuan dengan analisis Hb, harus pakai analisis DNA.

Tapi kalau hilang 3 gen alpha, masih bisa ketahuan dengan analisis Hb. Yang repot kalau hilang 1 atau 2 gen, itu harus pakai DNA, dan harganya sekitar 2 juta rupiah.

Tapi alhamdulillah-nya, di Indonesia ngga terlalu banyak talasemia alpha, yang lebih banyak, tapi lebih berat itu talasemia beta.

Jadi stepnya kalau zat besinya normal, kita analisis Hb langsung untuk mencari ada ngga talasemia beta. Kalau ternyata bukan talasemia beta, oh mungkin talasemia alpha. Tapi ngga banyak lah kalau alpha, dan talasemia alpha tidak berat.

Jadi skirining tahalsemia bisa dilakukan dimana-mana tapi yang penting tenaga medis juga punya awareness-nya. Cukup 1 kali diperiksa.

Bahkan kadang-kadang pasien malah apresiasi sekali, mereka ngga kepikiran tapi ternyata ketauan. Karena sering ketahuan jadi pembawa genetik talasemia dengan pemeriksaan darah.

Untuk skrining bisa pro, bisa retro. Pro ke depan sementera retro ke belakang.

Contoh untuk pro, mulai dari orang yang tampak normal dicek darahnya. Sementara untuk retro artinya penyintas talasemia, itu kita periksa semua anggota keluarga ring satu-nya (garis keturunan langsung). Atau kalau dapat pembawa genetik thalasemia, periksa juga extended family-nya.

Kita ambil contohnya itu Thailand. Mereka skrining mulai dari ibu hamil. Jadi ibu hamil dengan mikrositik hipokrom, pasangannya diperiksa.

Ngga lama mereka dalam 7 tahun bisa menurunkan 50 persen angka kelahiran dengan talasemia.

Indonesia mungkin datanya kurang lengkap. Tapi kalau kita lihat prevalensi kelahiran dan jumlah penduduk kita dengan angka prevalensi pembawa genetik talasemia 5 persen, itu diprediksi 2,500-3000 pasien thalasemia mayor lahir per tahun.

Kalau kita bisa cegah setengahnya saja, akan bisa langsung kerasa penghematan budget.

16. Terakhir, apa yang menjadi harapan Prof Lia terkait talasemia?

Harapan saya, maunya ngga ada lagi talasemia di Indonesia. Artinya, skriningnya harus bener. Kita semua harus bantu melakukan skrining. Kita ngga bisa sendiri tanpa pemerintah, dan pemerintah ngga bisa sendiri tanpa kita.

Kedua, dengan skrining, saya minta setiap anak dilakukan pemeriksaan pemeriksaan darah lengkap sekali.

Itu bukan pekerjaan spesialis anak konsultan hematologi semata, bahkan dokter umum pun juga bisa, karena mengenai darah ini kan dipelajari dari mahasiswa. Mulai dari kita tenaga medis.

Ketiga, kalau yang sudah terlanjur jadi talasemia, harapannya walau dia talasemia, dia punya kualitas hidup yang baik. Juga jangan sampai dia transfusi darah, malah dapet lagi penyakit Hepatitis B, Hepatitis C, HIV.

Terima kasih pemerintah sudah menggencarkan obat lokal, tapi tetap ketersediaannya mohon terus dipenuhi. Harganya sudah lebih murah, artinya setiap anak bisa dapat sesuai kebutuhannya. Ada anak yang lebih kecil, bisa subsidi ke anak yang besar yang kebutuhannya lebih banyak.

Karena pemenuhan obat ini ujungnya juga peningkatan kualitas hidup masyarakat indonesia, masa depan kita.

Demikian wawancara dengan beliau banyak meninggalkan kesan dan juga pelajaran. Satu hal yang perlu diteruskan untuk digaungkan demi menciptakan momentum, yaitu mari mengubah dunia dengan cek darah.

dr Ignatia Karina Hartanto, Sp.A
Dokter Spesialis Anak

https://www.kompas.com/sains/read/2023/05/18/200000823/hari-talasemia-sedunia--mari-mengubah-dunia-dengan-cek-darah

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke