Oleh Anastasia Heni
PANDEMI Covid-19 di Indonesia telah melewati sembilan bulan dan belum akan berakhir dalam waktu dekat.
Sepanjang waktu ini, banyak orang - baik orang yang terinfeksi virus corona maupun mereka yang berisiko terinfeksi dan orang-orang yang terdampak dalam berbagai sektor kehidupan - mengalami depresi dan kecemasan.
Seseorang yang dikonfirmasi positif terinfeksi Covid-19 awalnya mengalami berbagai perasaan negatif seperti tidak percaya, marah, menolak, bahkan mungkin depresi.
Sebuah riset menunjukkan depresi saat pandemi naik tiga kali lipat dibanding sebelum masa pandemi. Riset lainnya juga berkesimpulan kecemasan dan depresi juga dialami oleh para penderita penyakit seperti jantung dan darah tinggi yang menunda ke rumah sakit karena keadaan pandemi Covid-19.
Walau tidak mudah, kita perlu menemukan makna hidup di tengah keadaan pandemi. Makna hidup ini akan mendorong kita tetap produktif walau ada banyak hambatan dan kesulitan.
Salah satu teori psikologi yang kerap dipakai untuk terapi menemukan makna hidup di tengah penderitaan adalah logoterapi (penyembuhan). Teori dari Viktor E Frankl ini menyediakan panduan untuk menjalani hidup secara bermakna meski dalam penderitaan.
Viktor Frankl, psikiater berkebangsaan Austria, menemukan logoterapi tersebut saat ia berada di kamp konsentrasi Nazi di Auschwitz Polandia. Kamp konsentrasi seolah menjadi “laboratorium hidup” karena fasilitas sangat minim, manusia dalam keadaan kelaparan, dan sakit.
Salah satu kegiatan rutin para tahanan adalah kerja paksa seperti memasang rel kereta api bahkan mengubur mayat-mayat sesama tahanan. Frankl sebagai dokter psikiatri, selain ditugaskan di poliklinik juga menjalani kerja paksa seperti tahanan lainnya.
Berdasarkan pengalaman penderitaan tersebut, Frankl menyatakan meski dalam penderitaan dan tak dapat melihat indahnya dunia, masih tersisa sesuatu yang memberi makna pada eksistensi manusia: memikul penderitaan hidup dengan penuh keberanian dan harga diri.
Frankl, korban yang selamat dari penyiksaan itu, menyaksikan ada dua kecenderungan manusia dalam menghadapi situasi kamp konsentrasi. Kelompok pertama, mereka berperilaku serakah, beringas, mementingkan diri dan kehilangan rasa tanggung jawab terhadap diri sendiri dan sesama. Mereka putus asa dan bahkan bunuh diri saat menghadapi penderitaan.
Sebaliknya ada kelompok kedua yang berperilaku seperti orang kudus. Dalam puncak penderitaan, mereka masih dapat membagikan makanan, membantu sesama tahanan, merawat orang sakit, berbagi kue terakhir, menghibur mereka yang putus asa, dan mendoakan sesama tahanan yang menanti ajal.
Logoterapi dapat membantu seseorang melakukan hal yang bermakna, bahkan jika ia meninggal, ia akan pergi selamanya dengan perasaan berharga.
Hal serupa bisa terjadi pada masa isolasi pasien Covid-19 baik di rumah sakit maupun rumah. Mereka dalam kesendirian, tidak boleh menerima kunjungan, bahkan seandainya meninggal pun dalam kesendirian. Hal ini sangat mencekam dan menakutkan bagi orang yang tidak siap menghadapinya.
Dengan pendekatan logoterapi, walau sedang terinfeksi Covid dan terisolasi, tidak ada yang dapat merenggut kebebasan manusia untuk memaknai hidup. Pemaknaan hidup dapat bersumber dari spiritualitas, cinta, seni dan kreativitas.