Oleh M Subhan SD*
LANGIT yang begitu luas enggan menerima amanah tatkala ditawari oleh Allah. Bumi yang kokoh pun tidak berani menerimanya.
Gunung yang besar-besar juga tak bernyali. Hanya manusia yang berani menerima tantangan itu.
Langit, bumi, gunung menolak amanah bukan karena ingkar kepada Sang Pencipta tetapi mereka merasa tidak sanggup untuk memikulnya. Manusia-lah makhluk pemberani di semesta ini.
Kontrak politik manusia itu terbaca jelas: “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia…” (QS Al-Ahzab: 72).
Baca juga: Hikmah Ramadhan: Peradaban Bangsa
Amanah adalah sebuah otoritas, mandat, kepercayaan. Maka amanah berteman dengan sifat-sifat dapat dipercaya, kejujuran, tanggung jawab, adil.
Amanah akan bermusuhan dengan sifat khianat dan menusuk dari belakang. Maka, amanah itu sesungguhnya betapa berat.
Tak heran dalam tradisi Islam para pemimpin sejati banyak yang menolak diberi amanah. Ketika disodori jabatan, bukan kegirangan, tetapi kemurungan yang tampak di wajah-wajah mereka.
Karena jabatan adalah amanah, yang akan dimintai pertanggungjawaban bukan cuma di dunia tapi sampai akhirat. Abu Ubaidah bin al-Jarrah (583-639) adalah “penjaga amanah” yang disematkan langsung oleh Rasulullah.
Ia calon kuat pemimpin (khalifah) pasca-Rasulullah. Tetapi, dalam musyawarah pemilihan, ia menolak usulan Umar bin Khattab yang meminta dirinya menjadi khalifah. Abu Ubaidah justru mengusulkan Abu Bakar as-Shiddiq.
Umar bin Khattab (memerintah 634-644) adalah pemimpin yang memanggul sendiri karung gandum begitu tahu ada rakyat (umat) yang kelaparan. Jalan pemimpin itu sejatinya amat berat.
Itu dapat dilihat dari dua sosok tokoh bangsa. Kasman Singodimedjo yang menemui Haji Agus Salim yang sangat sederhana melukiskan, “Jalan pemimpin itu bukan jalan yang mudah. Memimpin itu menderita (een leidersweg is een lijdensweg. Leiden is lijden).”
Baca juga: Hikmah Ramadhan: Umur Manusia dan Lailatul Qadar
Watak-watak seperti itu sekarang ini amat langka. Justru banyak orang berebut jabatan, meminggirkan amanah.
Pada musim pemilu (pilkada, pileg, pilpres), banyak terjadi rebutan kursi-kursi jabatan. Padahal Nabi tidak akan memberikan para peminta jabatan, apalagi orangnya tamak. (HR Bukhori).
Lalu bagaimana menakar kualitas amanah? Mungkin bisa dilihat dari parameter simpel.