Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Balada Mujianto, "Robin Hood" dari Medan yang Kini Jadi Pesakitan

Kompas.com - 10/10/2022, 19:30 WIB
Kontributor Medan, Mei Leandha,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

MEDAN, KOMPAS.com - Belum tampak kesibukan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Medan, Sumatera Utara, meski halamannya sudah penuh mobil.

Usai menikmati penganan khas dan kopi terbaik, tim dari Klub Jurnalis Investigasi (KJI) Sumatera Utara yang salah satunya Kompas.com, memasuki gedung tua berstatus cagar budaya yang berada di Jalan Pengadilan, Kota Medan, 14 September 2022 lalu.

Kompas.com dan KJI mengikuti persidangan perkara Mujianto Alias Anam dengan agenda utama mendengarkan keterangan saksi.

Baca juga: Diduga Terlibat Korupsi BTN Rp 39,5 Miliar, Pengusaha Properti Ditahan Kejati Sumut

Informasi yang didapat, persidangan akan dibuka pukul 09.00 WIB, namun sampai 30 menit berjalan, ruang sidang Cakra 8 masih kosong.

Di Medan, Mujianto dikenal sebagai "orang China" kaya yang dermawan. Jangankan kepada sesama etnis Tionghoa, warga pribumi pun banyak yang merasakan uluran tangannya.

Kalau di markas Polda Sumut, banyak personel polisi yang malu-malu kucing bilang dia baik dan royal.

Sebaliknya, di mata pegiat antikorupsi dan para aktivis, pengusaha properti ini dituding sebagai perampok tanah rakyat, lalu menutupinya dengan sumbangan di sana-sini, bak Robin Hood.

Hampir satu jam menunggu, dari arah pintu masuk belakang gedung pengadilan, muncul pria tinggi besar mengenakan kemeja putih dengan masker warna senada.

Dia langsung memasuki ruang sidang, berbincang sejenak dengan para penasihat hukumnya, matanya liar memperhatikan sekitarnya.

Kemudian dia duduk di kursi kayu panjang barisan depan, menyandarkan sebagian punggungnya ke dinding. Laki-laki berumur 67 tahun dengan uban menutupi kulit kepala, tampak sehat, segar dan bugar.

Pada agenda sidang kali ini, Mujianto bertindak sebagai Direktur PT Agung Cemara Realty (ACR).

Dia didakwa Jaksa Penuntut Umum M Isnayanda melanggar Pasal 2 Subsidair Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 56 ke-2 KUHPidana jo Pasal 5 ke-1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Bermodal dua alat bukti, jaksa mendakwa Ketua Yayasan Buddha Tzu Chi ini terlibat dalam kredit macet di Bank Tabungan Negara (BTN) Cabang Medan yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 39,5 miliar.

Baca juga: Kasus Dugaan Korupsi BTN Medan, Pinjaman Rp 39,5 Miliar Digunakan untuk Bayar Utang

Meski kasus Fredy Sambo sedang panas-panasnya dan menjadi sorotan masyarakat, tak membuat kasus Mujianto luput dari perhatian.

Mulai dari penetapan sebagai tersangka, sampai isu penahanannya di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Tanjung Gusta Kelas 1 Medan yang hanya tiga hari, tetap terpantau.

Praktisi hukum Muslim Muis bilang, kejaksaan dan pengadilan harus serius menangani kasus Mujianto karena konglomerat ini punya rekam jejak buruk dalam proses penegakan hukum.

Pernah menjadi buronan Polda Sumut, masuk daftar pencaria orang (DPO), kemudian ditangkap imigrasi Cengkareng pada 2018.

Saat itu, Mujianto menjadi tersangka penipuan penimbunan lahan senilai Rp 3 miliar di Belawan, dengan pelapor pengusaha Armyn Lubis.

Setelah berkasnya dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, dengan membayar jaminan sebesar Rp 3 miliar, penahanannya ditangguhkan.

"Tidak ada sistem seperti itu dalam protap kejaksaan. Ini bukti kesaktian Mujianto. Apakah kesaktiannya akan berlanjut di kasus BTN? Tergantung keseriusan penegak hukum, terutama kejaksaan dan majelis hakim yang menyidangkan perkara,” kata Muslim.

Mantan wakil direktur LBH Medan ini mengungkapkan, Mujianto sebagai Direktur PT ACR pernah terlibat kasus tanah eks HGU di Pasar 4, Desa Helvetia, Kecamatan Labuhandeli, Kabupaten Deliserdang pada 2015.

Perusahaannya membangun dan menjual ruko di lahan tersebut, namun yang dihukum malah tokoh masyarakat Tamin Sukardi yang sudah meninggal dunia.

Menurut Muslim, kasus ini harusnya bisa menjadi pintu masuk Kejaksaan Agung untuk melakukan bersih-bersih terhadap oknum jaksa nakal. Mulai dari menyidik sampai yang melakukan eksekusi.

Kasus Tamin tercatat dalam sejarah sebagai satu-satunya terpidana korupsi tanah negara, padahal dia hanya berperan sebagai saksi perjanjian dengan PT ACR.

Baca juga: Kejati Sumut Temukan Dugaan Korupsi Mafia Tanah di Kawasan Hutan Lindung Sergai

Penyidik juga melakukan blunder dengan menyita tanah seluas 20 hektar yang tidak pernah ada, dan diduga sengaja diciptakan agar Tamin bisa “lengket” dalam penyidikan tersebut.

Dalam penyidikan dugaan korupsi, dakwaan dan tuntutan disebutkan untuk 106 hektar namun yang disita 126 hektar.

“Ini aneh, Almarhum Tamin dan keluarganya berhak mendapatkan keadilan dalam kasus ini,” tegas Muslim.

Putusan kasus Tamin juga rancu karena pertama kali dalam sejarah peradilan Indonesia, ada putusan Tipikor bernuansa perdata yang menguntungkan Mujianto.

Saat eksekusi Putusan Kasasi Tamin pada 2019, kejaksaan mengembalikan tanah seluas 74 hektar kepada Mujianto, membebankan pembayaran kewajibannya kepada Tamin sebesar Rp 103 miliar dengan cara dicicil.

Perlakuan khusus Kepala Kejati Sumut yang waktu itu dipimpin Fachruddin dan Kepala Kejaksaan Negeri Deliserdang Harli Siregar harus dievaluasi Jaksa Agung.

Hal ini karena tanah seluas 74 hektar dikembalikan ke Mujianto hanya dengan membayar cicilan pertama sebesar Rp 12,9 miliar. Cicilan kedua Rp 5 miliar, tiga tahun kemudian tepatnya April 2022, Mujianto terjerat kasus kredit macet BTN.

Muslim berharap, Mujianto tidak diberi penangguhan penahanan selama menjalani proses hukum. Untuk itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Komisi Yudisial (KY) diminta turun tangan mengawasi jalannya proses hukum.

“KPK dan KY harus mengawasi persidangan Mujianto, saya percaya dengan kredibilitas dua lembaga ini,” ucapnya.

Faktanya, Majelis Hakim Tipikor pada PN Medan yang diketuai Immanuel Tarigan mengabulkan penangguhan penahanan terdakwa dari tahanan Rutan menjadi tahanan kota pada 15 Agustus 2022.

Pertimbangannya: ada jaminan dari istri, penasihat hukum, ketua Yayasan Pendidikan Cemara Asri Malahayati, Ketua Yayasan Pondok Pesantren Majelis Zikir Ashsholah Daarussalaam Muhammad Dahrul Yusuf dan Ketua Yayasan Pendidikan Mazila Muhammad Iskandar Yusuf.

Selain itu, uang jaminan sebesar Rp 500 juta dan surat keterangan dari RS Royal Prima Medan yang menyebut Mujianto didiagnosa suspek jantung dan hipertensi yang memerlukan perawatan.

Hakim juga memberikan perlakuan yang sama kepada Elviera (berkas terpisah) notaris yang diduga terlibat dalam perkara ini.

Sontak, keputusan hakim mendapat protes Komite Rakyat Bersatu (KRB), mereka berunjukrasa ke PN Medan pada 30 Agustus 2022. Menuntut Mujianto dan Elviera ditahan kembali demi rasa keadilan.

Massa juga mempertanyakan alasan penyakit jantung, menurut massa, RS Royal Prima Medan tidak pernah mengeluarkan diagnosa sakit jantung.

Kejaksaan Negeri Medan juga menegaskan, sebelum penahanan telah melakukan cek kesehatan melibatkan tim medis RSU dr Pirngadi Medan yang hasilnya menyatakan Mujianto sehat walafiat.

Koordinator Aksi Johan Merdeka mengancam akan melaporkan ketua PN Medan dan majelis hakim yang menyidangkan ke Mahkamah Agung. Dirinya curiga ada praktik suap dan gratifikasi karena putusan hakim dinilai diskriminatif.

"Majelis hakim menjadikan Mujianto tahanan kota, padahal dia diberatkan dengan kasus korupsi Rp39,5 miliar," kata Johan kepada Tim KJI, Senin (12/9/2022).

Ciderai rasa keadilan

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan sebagai lembaga yang concern dengan penegakan hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) meminta majelis hakim pemeriksa perkara Register Nomor: 54/Pid.Sus-TPK/2022/PN Mdn untuk mencabut Penetapan Nomor: 54/Pid.Sus-TPK/2022/PN Mdn Tanggal 15 Agustus 2022 dan menetapkan terdakwa Mujianto ditahan kembali untuk kepastian hukum (rechtsecherheit) dan keadilan (gerechtigheat).

Pendapat hukum atau legal opinion disampaikan lewat warkat bertanggal 19 September 2022, ditandatangani Wakil Direktur LBH Medan Irvan Putra dan Kepala Divisi Sipil dan Politik Maswan Tambak.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com