Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Balada Mujianto, "Robin Hood" dari Medan yang Kini Jadi Pesakitan

Kompas.com - 10/10/2022, 19:30 WIB
Kontributor Medan, Mei Leandha,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

Tembusannya ke presiden, KPK, Mahkamah Agung, Badan Pengawas Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Pengadilan Tinggi Medan, Ketua PN Medan dan Kepala Kejaksaan Negeri Medan.

Dari pemberitaan media massa yang mereka rangkum, disebut kepala Kejari Medan kecewa dengan pengalihan penahanan Mujianto dengan alasan kesehatan.

Hasil radiologi Nomor: 2207008677 dan Nomor Rekam Medis:194223 Kode Lab: L2207009096 dengan dokter perujuk Erwin Sopacua pada 29 Juli 2022, tidak ditemukan diagnosa penyakit jantung yang diderita Mujianto. Juga dinyatakan yang bersangkutan bisa dirawat jalan.

"Keputusan majelis hakim menimbulkan reaksi, dituding menyalahi aturan hukum, melakukan diskriminatif dan diduga menerima gratifikasi. Apalagi, sebelum proses persidangan, Mujianto sempat masuk DPO," timpal Maswan kepada Tim KJI, Senin (19/9/2022).

Penahanan memang sebagai tindakan aparat penegak hukum yang dibenarkan. Gunanya merampas kemerdekaan sementara seseorang yang diduga melakukan tindak pidana.

Penahanan bukanlah penghukuman melainkan satu tindakan yang sah agar tersangka atau terdakwa tidak melarikan diri, tidak menghilangkan barang bukti dan tidak mengulangi tindak pidana.

Terkait pengalihan penahanan, hakim memiliki wewenang, namun harusnya selektif, terlebih jika kasus masuk ranah pidana korupsi.

Menurut Maswan, pengalihan penahanan Mujianto menciderai rasa keadilan, jaminan uang Rp 500 juta menimbulkan asumsi kewenangan hakim telah dibeli. Jumlah uang jaminan tidak sebanding dengan kerugian negara.

"Tidak layak jika terdakwa yang sebelumnya mempersulit proses hukum sampai ditetapkan DPO mendapat perlakuan spesial dari majelis hakim. Soal kesehatan, tidak menunjukkan ada urgensinya," papar Maswan.

Dia menduga ada yang janggal dengan pengalihan penahanan Mujianto. Pasca menjadi tahanan kota, muncul gejolak, aksi-aksi yang menuntut dia ditahan lagi.

Kalau tidak ditahan, dikhawatirkan dapat mengganggu atau menggunakan kekuatan yang dimilikinya untuk mengintervensi proses hukum.

Maswan berharap, proses hukum transparan supaya publik tidak berasumsi telah terjadi proses peradilan yang buruk. Saat ini, persidangan sedang menggali keterangan para saksi, penuntut umum dan majelis hakim harus menggali perkara untuk dibuktikan.

"Mencari kebenaran materiil agar terdakwa tidak berpeluang bebas, dari sekarang, kasus ini harus dikawal benar-benar," ucap Maswan.

Rampok uang BTN

Yudi Pratama dari Sentra Advokasi Hak Dasar Rakyat (SAHdaR) yang memantau kasus sejak awal mengungkapkan, Mujianto mengambil kredit KPR di Bank Sumut dan Canakya Suman di BTN Medan dengan objek yang sama.

Itulah mengapa kemudian Mujianto tidak dapat mengajukan pinjaman ke BTN. Indikasi sementara, dia sudah didaftarhitamkan alias black list.

"Mujianto telah memiliki KPR di Bank Sumut, ini bertentangan dengan ketentuan KPR karena dilakukan dalam waktu bersamaan untuk membuat seolah-olah agunan di Bank Sumut dialihkan ke BTN. Pakai cover note yang dibuat notaris Elviera. Seolah-olah perbuatan ini over kredit, padahal bukan," katanya.

Dalam persidangan, Yudi menilai, kredit atas nama Mujianto tidak dibahas sehingga semua kesalahan dilimpahkan pada Canakya. Fokus pada sanksi yang akan didapat BTN atas kesalahan Canakya mengajukan kredit bermodalkan cover note alias kredit bodong.

Yudi mengilustrasikan, Canakya dapat kredit di BTN dengan objek agunan milik Mujianto yang masih berada di Bank Sumut.

"Hal ini Tidak mungkin tanpa persetujuan Mujianto, dibuatlah seolah-olah Canakya melakukan jual beli. Sejak awal, kasus ini dimanipulasi untuk merampok uang BTN. Diduga Canakya orang suruhannya Mujianto," ungkap mahasiswa jurusan hukum semester akhir ini.

Menurut Yudi, sejak awal disidangkan, kasus ini sudah kontroversial. terlebih dengan pengalihan status penahanan dua terdakwa.

Dia akan terus memantau dan mengawasi jalannya persidangan untuk melihat penuntutan jaksa terhadap para terdakwa.

"Akan melakukan kajian terhadap kasus-kasus korupsi di sektor perbankan yang terjadi di Sumut untuk memberi informasi yang lebih komprehensif ke masyarakat bahwa korupsi perbankan berdampak besar bagi keuangan negara," kata Yudi.

Hal ini juga ditegaskan Koordinator Advokasi dan Kajian Hukum Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Sumut Siska Barimbing, bahwa berdasarkan fakta-fakta persidangan, kasus ini bermula dari kredit macet di BTN yang menyebabkan kerugian negara.

Sederhananya, dalam mengajukan kredit harus ada agunan yang nilainya lebih besar dari pinjaman yang dimohonkan berdasarkan azas kehati-hatian.

Tim analisis kredit memastikan legalistas agunan apakah milik pribadi pemohon atau badan hukum dan tim legal melakukan cek bersih.

Siska menilai, ada niat dan kelalaian yang disengaja pihak bank. Alasannya, alas hak bukan atasnama pemohon PT KAYA yang Direkturnya Canakya Suman, melainkan PT ACR.

Soal niat, sudah ada memo dari BTN pusat agar dilakukan balik nama supaya semua agunan menjadi jaminan yang aman dan untuk mengantisipasi kredit macet, namun tidak dilakukan BTN Cabang Medan.

"Mereka secara jelas dan sadar tidak melakukan instruksi BTN pusat. Beberapa pihak menyatakan praktik ini biasa dilakukan di perbankan, ini statement yang berbahaya. Kalau praktik-praktik begini sering dilakukan, asumsinya adalah semua penyaluran kredit di perbankan bermasalah, tidak menerapkan azas kehati-hatian..." katanya.

"Uang di bank itu, kan bukan uang mereka, itu uang publik dalam berbagai bentuk produk perbankan. Kenapa perkara ini patut disorotin, ini bank negara, bagaimana nasabah bisa merasa aman dan nyaman kalau ternyata perbankan biasa melakukan hal-hal seperti ini. Hanya untuk memenuhi target dan perfoma kredit, tapi membahayakan," sambungnya.

Perempuan ini mempertanyakan, kenapa bisa dilakukan dua kali hak tanggungan dalam satu objek perjanjian kredit yang sama, fungsi cek bersih-nya di mana? BPN pasti tidak akan memberikan karena setiap objek yang sudah diberi hak tanggungan terdaftar dan bisa dicek.

Sidang perkara korupsi Rp39,5 miliar di BTN Kantor Cabang Medan dengan terdakwa Mujianto digelar di Pengadilan Tipikor pada PN Medan. Kompas.com/Mei Leandha Sidang perkara korupsi Rp39,5 miliar di BTN Kantor Cabang Medan dengan terdakwa Mujianto digelar di Pengadilan Tipikor pada PN Medan.
Terlibatnya Mujianto yang dikenakan pasal TPPU, Siska mewanti-wanti untuk berhati-hati menggunakan pasal pencucian uang karena uang yang digunakan berarti dari hasil kejahatan seperti korupsi.

Dirinya melihat peranan Mujianto dalam kasus ini sedikit sekali, sebab di perjanjian kredit sebelumnya, Mujianto memang punya hubungan bisnis yang cukup rumit dengan Canakya tetapi murni hubungan perdata.

"Mujianto tak bisa mengelaknya, di sini kesalahannya. Pinjaman di Bank Sumut Rp 35 miliar, sisanya tinggal Rp 13,4 miliar yang tak bisa dibayar. Mengatasnamakan namanya, uangnya dipakai Canakya untuk proyek pembangunan Takapuna. Kenapa dia juga kena? karena tetap, pinjaman itu atasnamanya, bukan Canakya," tutur Siska.

Artinya, Canakya sudah mengetahui dirinya tidak mampu membayar kredit di Bank Sumut. Mulailah dia mendekati Dayan untuk mempertemukannya dengan pihak BTN.

Pada 3 Maret 2014, dia berhasil mendapat uang dari BTN, sebagian digunakan untuk menebus utang di Bank Sumut yang jatuh tempo di hari yang sama, 3 Maret 2014.

Dibuatlah seolah-olah proses kredit dilakukan 25 Februari 2014 dan agunannya sudah ada. Mulai 25 Februari sampai 3 Maret, di sinilah permufakatan jahat antara Canakya dan BTN terjadi. Seminggu kemudian, Mujianto menandatangani semua surat-surat.

Proses balik nama tinggal keputusannya Canakya dengan BPN, apalagi Mujianto sudah memberikan Surat Kuasa Menjual kepadanya.

Tinggal kesepakatan kedua belah pihak, apakah semua pajak ditanggung Canakya atau bagi dua. Kemungkinan soal pajak bali knama yang mahal yang membuat urusan baliknama jadi lambat.

"Pihak bank juga tidak bisa melakukan baliknama sepihak, harus ikut si Canakya. Apakah si Canakya yang tidak kooperatif, nanti bisa kita lihat di persidangan. Kenapa tidak dibaliknamakan segera? Kan, uangnya bisa dipotong, biasanya itu..." imbuhnya.

Sengkarut SHGB

Jaksa Penuntut Umum Isnayanda mendakwa Mujianto melakukan perjanjian Kredit Modal Kerja (KMK) Yasa Griya Nomor 158 tanggal 27 Februari 2014 sebesar Rp 39,5 miliar antara BTN Kantor Cabang Medan dengan PT KAYA melawan hukum karena untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang merugikan keuangan negara.

Terdakwa dengan Direktur PT Mestika Mandala Perdana, Agus Salim, melakukan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) pada 27 Januari 2011 atas Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) Nomor 1422 dengan total tanah seluas 103.448 meter persegi di Jalan Sumarsono Kompleks Graha Metropolitian, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deliserdang, Sumut.

Seluas 13.860 meter persegi dialihkan terdakwa kepada Canakya Suman sesuai PPJB di bawahtangan pada 28 November 2011 senilai Rp 45 miliar lebih.

Empat tersangka dari pihak BTN Kantor Cabang Medan hadir sebagai saksi di persidangan dengan terdakwa Mujianto di Pengadilan Tipikor pada PN Medan.Kompas.com/Mei Leandha Empat tersangka dari pihak BTN Kantor Cabang Medan hadir sebagai saksi di persidangan dengan terdakwa Mujianto di Pengadilan Tipikor pada PN Medan.
Rencananya, di atas lahan tersebut, dibangun proyek perumahan Takapuna Residence sebanyak 151 unit yang legalitas proyeknya atasnama terdakwa.

Untuk membayar lahan, Canakya memberi uang muka sebesar Rp 6,7 miliar lebih dengan mencicil delapan kali.
Belum lunas, terdakwa mengajukan dan menerima fasilitas kredit rekening koran selama satu tahun sebesar Rp 35 miliar dari Bank Sumut Cabang Tembung berdasarkan Perjanjian Kredit Nomor: 008/KC024.APK/KRK/2012 tanggal 2 Maret 2012 yang jatuh tempo pada 3 Maret 2013. Agunannya tanah seluas 16.306 meter persegi yang ada di SHGB Nomor 1422. Kewajiban melunasi kredit dibebankan terdakwa kepada Canakya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com