Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Krisis di Laut Merah, Keceriaan Ramadhan bagi Yaman Berkurang

Kompas.com - 15/03/2024, 11:27 WIB
Albertus Adit

Penulis

Sumber AFP

SANAA, KOMPAS.com - Sejak perang Israel-Hamas meletus pada 7 Oktober 2023 yang lalu, konflik meluas ke wilayah Laut Merah.

Seperti yang dilakukan oleh kelompok Houthi Yaman menyerang kapal komersial di Laut Merah sebagai bentuk solidaritas bagi warga Gaza Palestina.

Meski demikian, serangan rudal tersebut juga dibalas oleh sekutu Israel di Laut Merah. Terlebih di bulan Ramadhan kali ini.

Baca juga: Pemimpin Al Qaeda di Yaman Meninggal, Ini Penggantinya

Jadi, serangan rudal selama berbulan-bulan di Laut Merah membayangi Ramadhan di Yaman yang dilanda perang.

Hal itu juga berkontribusi terhadap kenaikan harga karena banyak orang berjuang untuk memenuhi kebutuhan makanan sehari-hari di bulan suci tersebut.

Di Taez, sebuah kota yang telah dikepung selama bertahun-tahun oleh pemberontak Hothi Yaman, ayah lima anak, Amin Ghaleb, meninggalkan toko kelontong dengan tangan kosong setelah tawar-menawar tanpa hasil dengan pemilik toko.

"Saya tidak mampu membeli apa pun," kata pria berusia 50 tahun itu kepada AFP, sambil memasukkan uang ke dalam sakunya.

Ini adalah kisah yang lazim terjadi di negara termiskin di Semenanjung Arab, yang sudah terpuruk akibat perang selama sembilan tahun antara kelompok Houthi yang didukung Iran dan koalisi pimpinan Arab Saudi.

Selama empat bulan terakhir, kelompok Houthi telah mengganggu pelayaran di Laut Merah sebagai protes atas perang Israel-Hamas, sehingga memicu serangan balasan dari Amerika dan Inggris.

Baca juga: Kapal Inggris Berisiko Tenggelam akibat Diserang Rudal Houthi Yaman

Konflik di jalur laut yang penting secara komersial ini telah meningkatkan biaya impor barang, memperburuk inflasi yang tidak terkendali dan meningkatkan kekhawatiran bahwa setelah krisis ekonomi selama bertahun-tahun, persediaan makanan akan habis.

"Harga naik dua kali lipat dan harga barang-barang dalam riyal Saudi atau dolar," kata Ghaleb, seorang pegawai pemerintah yang berpenghasilan sekitar $35 (Rp 546.000) per bulan.

"Bagaimana saya bisa membayar sewa, listrik, gas, air, makanan, sarapan, makan malam, makan siang atau pakaian untuk anak-anak?" tanya dia.

Kini, di pasar Taez, pelanggan hanya sedikit dan jarang. Para pemilik toko berdiri diam, memajang sayur-sayuran, rempah-rempah dan biji-bijian dalam keranjang jerami di luar toko mereka.

"Kami terkena dampak buruknya penjualan. Beberapa produk kami rusak," tutur Yousif Abduljaleel, seorang pedagang di Taez.

Penduduk Taez menderita kekurangan air, makanan, dan bantuan kemanusiaan sejak kelompok Houthi memblokir semua jalan utama yang menghubungkan kota tersebut dengan wilayah lain di negara itu pada 2015.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com