LONDON, KOMPAS.com - Kemampuan pertahanan siber AS di beberapa departemen pemerintah berada di "level taman kanak-kanak", kata mantan kepala perangkat lunak Pentagon kepada sebuah surat kabar Inggris. Menurutnya, AS telah kalah dari China.
Mantan kepala bagian perangkat lunak (software) Pentagon, Nicolas Chaillan, mengaku bahwa China jauh lebih unggul di bidang kecerdasan buatan (AI) dibanding AS.
"Kita tidak punya peluang untuk bersaing melawan China dalam 15 sampai 20 tahun ke depan,” kata Chaillan dalam sebuah wawancara dengan Financial Times, surat kabar bisnis yang berbasis di London.
Baca juga: Pembawa Berita dari Kecerdasan Buatan Sukses Lakoni Debut di TV Korsel
Melansir DW Indonesia pada Rabu (13/10/2021), Chaillan menyebut situasi saat ini sudah "tak bisa ditawar lagi”. Persaingan antara China dan AS "sudah berakhir”, katanya.
Seperti dilaporkan oleh Financial Times, Chaillan memperkirakan, China saat ini sedang bergerak mendominasi dunia karena kemajuannya di bidang kecerdasan buatan, pembelajaran mesin, dan kemampuan siber.
Chaillan juga mengkritik kemampuan pertahanan siber AS di beberapa departemen pemerintah yang ia sebut masih berada di level "taman kanak-kanak”.
Wawancara Chaillan dengan Financial Times merupakan yang pertama sejak ia mundur dari jabatannya di Pentagon.
Pengunduran dirinya merupakan bentuk protes terhadap lambatnya perubahan teknologi di tubuh pemerintahan AS, khususnya di bidang militer.
Baca juga: Taliban Rekrut Mata-mata Siber China untuk Awasi Warga Afghanistan
Pada Juni lalu, Senat AS telah menyetujui UU Inovasi dan Persaingan Amerika Serikat untuk meningkatkan produksi semikonduktor dalam negeri, pengembangan kecerdasan buatan, dan teknologi lainnya.
Suntikan dana sekitar 250 miliar dollar AS (Rp 3,5 kuadriliun) untuk diinvestasikan dalam 5 tahun ke depan dipandang secara luas sebagai uang tunai yang memang sangat dibutuhkan dalam perlombaan inovasi teknologi melawan China.
Presiden AS Joe Biden usai pengesahan UU itu bahkan mengatakan, "AS berada dalam kompetisi untuk memenangkan abad ke-21 dan senjata awal telah dikeluarkan.”
Namun komite urusan luar negeri Kongres Rakyat China dalam sebuah pernyataan mengatakan, UU baru AS tersebut "merongrong pembangunan China” dan "menganggu urusan dalam negeri China di bawah panji inovasi dan persaingan.”
Baca juga: Biden Ancam Perang Betulan jika AS Terus Jadi Target Serangan Siber
Para pejabat tinggi dunia semakin menaruh perhatian terhadap perkembangan kecerdasan buatan dan ancaman yang mungkin ditimbulkannya di masa depan.
Seperti pada pertengahan September lalu, Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Michelle Bachelet menekankan, ada kebutuhan mendesak terkait moratorium penjualan dan penggunaan sistem kecerdasan buatan.
Pada pertemuan perdana Dewan Perdagangan dan Teknologi (TTC) AS dan UE akhir September lalu, kecerdasan buatan juga turut menjadi agenda pembahasan.
Sementara itu, Direktur Pusat Kecerdasan Buatan Gabungan AS (JAIC) pada awal Oktober 2021 telah mengatakan, arsitektur dan jaringan kecerdasan buatan "adalah senjata” yang perlu diperlakukan layaknya senjata.
Menurutnya, ada sejumlah ancaman baru yang bermunculan saat ini, seperti manipulasi data (data poisoning), spoofing, dan deep fakes.
Ketika teknologi kecerdasan buatan terus berkembang dan tumbuh, peluangnya menjadi target serangan siber juga semakin meningkat. Oleh karenanya, keamanan jaringan menjadi sangat penting, kata pejabat AS itu.
Baca juga: Data Pribadi 4,5 Juta Pelanggan Maskapai di Asia Bocor dalam Serangan Siber
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.