BEIRUT, KOMPAS.com - Menteri Ekonomi dan Perdagangan Lebanon Raoul Nehme mengatakan sekitar 50 persen warga Lebanon kini berada di bawah garis kemiskinan.
Dilansir dari Sky News, Sabtu (18/7/2020), Nehme mengatakan negerinya dihantam krisis ekonomi yang sangat parah dan menggambarkan negaranya adalah failed state atau negara yang gagal.
“Tentu saja itu adalah negara yang gagal. Dalam artian krisis ekonomi telah sedemikian parah sehingga semua pondasi telah runtuh. Sekarang pemerintah melakukan segala cara untuk keluar dari krisis ini,” kata Nehme.
Kendati demikian, dia tetap yakin Lebanon akan segera keluar dari jurang krisis ekonomi.
Nehme diangkat sebagai Menteri Ekonomi dan Perdagangan Lebanon sekitar lima bulan lalu. Dia diangkat dengan harapan dapat menyelesaikan krisis ekonomi yang melanda Lebanon.
Baca juga: Irak akan Tukar Minyak dengan Makanan dari Lebanon
Saat diwawancara Sky News, Nehme berbicara terus terang mengenai kegagalan administrasi negara sebelumnya.
“Banyak orang yang dulunya kaya sekarang berada di ambang kemiskinan,” sambung Nehme.
Dia menambahkan banyak sekali keluarga dari berbagai kelas telah kehabisan tabungannya, kehilangan pekerjaan, dan kehilangan rumah.
Di Ibu Kota Lebanon, Beirut, pasokan listrik dibatasi. Listrik hanya menyala selama dua sampai tiga jam setiap hari.
Bahkan, akibat tingginya inflasi di Lebanon, kebutuhan mendasar seperti pasokan listrik dan impor obat-obatan menjadi sangat terganggu.
Baca juga: Patuhi Social Distancing, Demonstran Lebanon Berunjuk Rasa Pakai Mobil
“Ini bukan hanya mengerikan tapi sudah sangat mengerikan. Rantai pasokannya telah rusak,” kata Nehme.
Pemerintah Lebanon sebenarnya sudah membicarakan kondisinya kepada Dana Moneter Internasional (IMF). Namun skema bailout yang diajukan belum juga terealisasi.
Para pejabat IMF mengatakan skema bailout hanya bisa dilakukan ketika reformasi fiskal diberlakukan.
Namun sebagian politikus Lebanon tampaknya tidak dapat menyetujui mekanisme bailout yang disarankan oleh IMF.