REMPANG, Batam mencekam. Persoalan agraria menjadi isu klasik bumi pertiwi yang selalu membenturkan hak masyarakat adat dengan ideologi program pembangunan serta modernisasi.
Masyarakat dari 16 desa setempat menolak proyek strategi nasional Eco City. Sehingga aparat gabungan dikerahkan untuk pengosongan lahan. Alhasil, bentrok tidak dapat dihindari.
Salah satu yang mendapat sorotan publik adalah masuknya gas air mata ke sekolah di dekat area bentrok.
Dari beberapa sumber berita dan video beredar, tampak anak sekolah berhamburan keluar dan berlari ke hutan untuk menghindari terpaan gas air mata.
Beberapa juga dilaporkan pingsan dan harus dirawat di IGD terdekat. Aparat gabungan gagal mengantisipasi dampak tersebut.
Dampak lanjutan kejadian ini adalah rasa trauma dan bayangan masa lalu kelam. Semua akan terekam jelas dalam benak dan memori para siswa. Bagaimana ketenangan dan kedamaian belajar mereka terusik.
Di kelas mereka belajar tentang bela negara, nilai sila ke lima Pancasila. Namun saat bersamaan, tetangga atau bahkan kedua orangtua mereka sedang disemprot water canon dan gas air mata oleh aparat negara hanya karena mempertahankan hak tanah adatnya. Para siswa melihatnya sendiri kejadian represif tersebut.
Mobil-mobil baja berdatangan membawa nama-nama modernisasi dan pembangunan. Sementara rumah dan tanah nenek moyang mereka adalah pertaruhannya. Pelajaran apa yang sedang dipertontonkan aparat dan negara pada generasi muda bangsa ini?
Kemendikbudristek beserta seluruh jajaran boleh saja berteriak Merdeka Belajar dan pentingnya pembelajaran kontekstualitas.
Pembelajaran yang baik adalah kesadaran terhadap lingkungannya tumbuh, berdampak pada masyarakat sekitar, memaksimalkan sumber daya alam setempat. Namun di lapangan harapan tersebut lebih banyak jadi pepesan kosong.
Dalam kasus agraria Rempang, kita dapat sama-sama melihat kalkulasi pendidikan diletakkan di gerbong terakhir.
Menembakkan gas air mata dengan tidak menjadikan letak sekolah sebagai pertimbangan merupakan kalkulasi yang buruk.
Mereka para aparat sejatinya hanya sedang menjalankan tugas yang berorientasi kalkulasi ekonomi, investasi, dan pembangunan. Tidak ada nama rakyat di sana. Kalaupun ada, rakyat yang mana?
Aparat negara gagal mempertimbangkan kepekaan lingkungan dan kondisi geografi. Akibatnya mereka gunakan cara berpikir primitif seperti menyalahkan arah angin sehingga asap masuk ke sekolah.
Mana kalkulasi kemanusiaan dan pendidikan dalam kejadian tersebut? Apa tidak ada musyawarah berdasarkan antropologi dan ekologi?