Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Waode Nurmuhaemin
Penulis

Praktisi pendidikan, penulis buku dan novel pendidikan

Meningkatkan Peringkat PISA Indonesia: Jangan Berkiblat ke Eropa

Kompas.com - 04/07/2023, 13:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SEKALI-kali cobalah berkunjung ke laman OECD (Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi). Untuk para pegiat pendidikan, nama organsisi ini sudah melegenda di telinga.

Organisasi yang beranggotakan negara maju dan bertujuan mewujudkan perekonomian global yang kuat, bersih, dan berkeadilan, setiap tiga tahun sekali membuat banyak negara ketar-ketir dengan menurunkan satu laporan dan memberikan peringkat sistem pendidikan terbaik di dunia.

Peringkat tersebut merupakan hasil tes yang sudah dilaksanakan tahun sebelumnya yang dikenal dengan nama tes PISA (Programme for International Student Assessment).

Penilaiannya terdiri dari tiga model yang melihat kemampuan dasar siswa menengah berumur 15 tahun, yaitu: matematika, sains, dan literasi.

Tim penilai menyelipkan sejumlah pertanyaan suplemen yang menyasar kompetensi guru, infrasruktur sekolah, kemampuan siswa berdasarkan gender, perbedaan kemampuan siswa imigran dan nonimigran, disparitas siswa kaya dan miskin, dan masih banyak lagi.

Kemudian, hasil tes itu akan booming dimuat media nasional dan internasional. Biasanya hasil laporan tes PISA selalu membuat heboh di semua negara OECD maupun negara partisipan.

Khusus di Indonesia, begitu hasil tes PISA keluar, maka media nasional akan ramai-ramai menurunkan ulasan peringkat PISA Indonesia. Hal ini wajar saja mengingat hasil tes ini menjadi kiblat dunia akan mutu dan kualitas pendidikan.

Bukan hanya media nasional, para pakar juga ikut meramaikan sekaligus juga mengkritisi model pendidikan Indonesia.

Wajar saja keprihatinan melanda melihat fakta Indonesia sebagai Negara partisipan sejak 2000 (tes PISA pertamakali diselenggarakan) hingga tes PISA yang ke delapan tahun 2022 tidak pernah absen mengikuti tes PISA.

Artinya sudah 22 tahun kita mengikuti tes ini dengan melewati empat pemerintahan dengan tujuh menteri pendidikan yang silih berganti. Namun, skor Indonesia masih belum beranjak dari posisi sepuluh peringkat terbawah.

Banyak teori dan asumsi yang dikemukakan. Indonesia dinilai tidak bisa dibandingkan dengan negara-negara maju yang hanya punya sedikit penduduk, sehingga mudah saja untuk membenahi sistem pendidikan, contohnya Finlandia.

Namun teori itu dimentahkan oleh China yang punya penduduk lebih dari 1,4 miliar orang. China bahkan menduduki peringkat satu mengalahkan negara-negara Eropa dan Amerika.

Sistem pendidikan Cina justru sangat keras dan menekankan kerja keras serta pencapaian akademik terhadap para siswa.

Mereka tidak percaya segala teori bahwa siswa yang bahagia adalah siswa yang mutu pendidikannya nomor satu di dunia.

Belajar dari China dan Singapura, dua negara yang konsisten di posisi rangking atas PISA dan kebutulan juga dua negara itu adalah negara dengan jumlah penduduk terbanyak dan tersedikit.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com