Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Meningkatkan Peringkat PISA Indonesia: Jangan Berkiblat ke Eropa

Organisasi yang beranggotakan negara maju dan bertujuan mewujudkan perekonomian global yang kuat, bersih, dan berkeadilan, setiap tiga tahun sekali membuat banyak negara ketar-ketir dengan menurunkan satu laporan dan memberikan peringkat sistem pendidikan terbaik di dunia.

Peringkat tersebut merupakan hasil tes yang sudah dilaksanakan tahun sebelumnya yang dikenal dengan nama tes PISA (Programme for International Student Assessment).

Penilaiannya terdiri dari tiga model yang melihat kemampuan dasar siswa menengah berumur 15 tahun, yaitu: matematika, sains, dan literasi.

Tim penilai menyelipkan sejumlah pertanyaan suplemen yang menyasar kompetensi guru, infrasruktur sekolah, kemampuan siswa berdasarkan gender, perbedaan kemampuan siswa imigran dan nonimigran, disparitas siswa kaya dan miskin, dan masih banyak lagi.

Kemudian, hasil tes itu akan booming dimuat media nasional dan internasional. Biasanya hasil laporan tes PISA selalu membuat heboh di semua negara OECD maupun negara partisipan.

Khusus di Indonesia, begitu hasil tes PISA keluar, maka media nasional akan ramai-ramai menurunkan ulasan peringkat PISA Indonesia. Hal ini wajar saja mengingat hasil tes ini menjadi kiblat dunia akan mutu dan kualitas pendidikan.

Bukan hanya media nasional, para pakar juga ikut meramaikan sekaligus juga mengkritisi model pendidikan Indonesia.

Wajar saja keprihatinan melanda melihat fakta Indonesia sebagai Negara partisipan sejak 2000 (tes PISA pertamakali diselenggarakan) hingga tes PISA yang ke delapan tahun 2022 tidak pernah absen mengikuti tes PISA.

Artinya sudah 22 tahun kita mengikuti tes ini dengan melewati empat pemerintahan dengan tujuh menteri pendidikan yang silih berganti. Namun, skor Indonesia masih belum beranjak dari posisi sepuluh peringkat terbawah.

Banyak teori dan asumsi yang dikemukakan. Indonesia dinilai tidak bisa dibandingkan dengan negara-negara maju yang hanya punya sedikit penduduk, sehingga mudah saja untuk membenahi sistem pendidikan, contohnya Finlandia.

Namun teori itu dimentahkan oleh China yang punya penduduk lebih dari 1,4 miliar orang. China bahkan menduduki peringkat satu mengalahkan negara-negara Eropa dan Amerika.

Sistem pendidikan Cina justru sangat keras dan menekankan kerja keras serta pencapaian akademik terhadap para siswa.

Mereka tidak percaya segala teori bahwa siswa yang bahagia adalah siswa yang mutu pendidikannya nomor satu di dunia.

Belajar dari China dan Singapura, dua negara yang konsisten di posisi rangking atas PISA dan kebutulan juga dua negara itu adalah negara dengan jumlah penduduk terbanyak dan tersedikit.

Sehingga mewakili gambaran bagaimana negara dengan penduduk sedikit dan banyak memajukan pendidikannya.

Keduanya terkenal sebagai negara yang menerapkan sistem kerja keras dan belajar keras untuk para siswa.

Indonesia yang selalu duduk di peringkat negara sepuluh terbawah sejak mengikuti tes itu tahun 2000 kerap menjadikan Finlandia sebagai barometer keberhasilan dan juga kiblat.

Biar lambat asal bahagia atau hanya mencontoh aspek-aspek kesantaian siswa-siswa Finlandia.

Sementara cerita-cerita undercover soal pendidikan di Finlandia tidak disorot. Dibalik prestasi anak-anak Finlandia, kebanyakan para siswanya sangat candu dengan buku. Mereka membaca tanpa dipaksa.

Mereka memang sudah memiliki dan sudah terbiasa menjadikan perpustakaan bagian dari kehidupan mereka.

Di perpustakaan anak-anak mengerjakan pekerjaan rumah sepulang sekolah. Ibu-ibu, anak-anak kecil, bahkan lansia sudah sangat terbiasa berkunjung secara reguler ke perpustakaan. Bahkan pendidikan untuk imigran diselengarakan di perpustakaan.

Mereka sangat menguasai keterampilan membaca dengan pemahaman. Sehingga menyelesaikan soal-soal literasi tidaklah terlampau susah. Ini yang tidak dicontoh oleh Indonesia.

Indonesia hanya mencontoh sisi-sisi santainya. Bahkan menonjolkan hal-hal yang tidak benar seperti tidak ada pekerjaan rumah, hanya belajar setengah hari, dan lainnya. Padahal informasi itu tidak tepat.

Siswa di Finlandia tetap mendapat pekerjaan rumah, meski tidak terlalu banyak. Ada kegiatan lain yang diberikan sebagai pengganti sedikitnya pekerjaan rumah yang melibatkan orangtua.

Sangat mengherankan, ada satu daerah di Indonesia yang membebaskan siswa dari pekerjaan rumah. Apakah sudah melakukan analisis kebijakan sebelum menerapkan keputusan tersebut?

Sehingga kalau mau peringkat PISA Indonesia meningkat, sebaiknya berkaca pada Singapura, China, atau Vietnam.

Ketiga negara tersebut masih terletak di benua yang sama, yaitu Asia. Dengan karakter penduduk yang rada-rada mirip.

Berkiblat ke Eropa yang sudah memiliki kemapanan infrastruktur pendidikan tidaklah terlalu tepat.

Hasil tes PISA 2022 akan keluar tahun ini. Mendikbudristek Nadiem Makarim mengatakan, kita tidak boleh terlalu berharap peringkat Indonesia akan banyak berubah.

Peryataan sedikit hopelles, yang mengisyarakatkan bahwa mungkin peringkat kita masih akan sama. Padahal tiga provinsi yang mewakili Indonesia pada tes PISA adalah wilayah terbaik, yaitu Jogyakarta, Jakarta, dan Bangka Belitung.

Sebelum hasil tes diumumkan, kita masih bisa berpikir positif, bisa saja peringkat PISA kita akan membaik tahun ini.

Kalaupun belum membaik, kita akan memakai Kurikulum Merdeka serentak pada 2024. Siapa tahu, kurikulum itu akan meningkatkan skor tes PISA Indonesia pada tahun-tahun mendatang.

Pasalnya, kurikulum tersebut diklaim lebih membahagiakan guru dan siswa serta memenuhi tuntutan pembelajaran abad 21.

https://www.kompas.com/edu/read/2023/07/04/131500271/meningkatkan-peringkat-pisa-indonesia--jangan-berkiblat-ke-eropa

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke