Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ganja Medis Tidak Perlu Dilegalisasi, Ini Alasannya Menurut Pakar UGM

Kompas.com - 06/07/2022, 19:00 WIB
Mahar Prastiwi,
Dian Ihsan

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Baru-baru ini muncul perdebatan di tengah masyarakat mengenai penggunaan ganja untuk keperluan medis.

Pakar Farmakologi dan Farmasi Klinik Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Zullies Ikawati memberikan pendapatnya.

Dia tidak setuju terhadap upaya legalisasi ganja meskipun dengan alasan untuk tujuan medis. Sebab, ganja yang digunakan dalam bentuk belum murni seperti simplisia atau bagian utuh dari ganja masih mengandung senyawa utama tetrahydrocannabinol (THC) yang bersifat psikoaktif.

Baca juga: PT Dharma Polimetal Buka Lowongan Kerja bagi D3-S1, Segera Daftar

Say No to legalisasi ganja meski untuk medis

Artinya, bisa memengaruhi kondisi psikis pengguna dan menyebabkan ketergantungan serta berdampak pada mental.

"Jadi saya pribadi Say No untuk legalisasi ganja walau dengan alasan memiliki tujuan medis," tegas dia seperti dikutip dari laman UGM, Rabu (6/7/2022).

Prof. Zullies menjelaskan, ganja sebagai tanaman dan bagian-bagiannya mestinya tetap tidak bisa dilegalisasi untuk ditanam dan diperjualbelikan karena masuk dalam narkotika golongan 1.

Menurut dia, yang dapat dilegalkan atau diatur adalah senyawa turunan ganja seperti cannabidiol yang tidak memiliki aktivitas psikoaktif.

Senyawa ini dapat digunakan sebagai obat dan bisa masuk dalam narkotika golongan 2 atau 3. Ia memberi contoh pada penggunaan ganja medis dari obat-obatan golongan morfin. Morfin berasal dari tanaman opium yang menjadi obat legal selama melalui resep dokter.

Baca juga: Apa Itu Erupsi Alergi Obat? Ini Penjelasan Guru Besar Unpad

Biasanya digunakan dalam pengobatan nyeri kanker yang sudah tidak merespons lagi terhadap obat analgesic lainnya.

Ganja medis bukan satu-satunya obat atasi kejang

Namun, opium tetap masuk dalam narkotika golongan 1 karena berpotensi penyalahgunaan yang besar. Sama halnya dengan tanaman ganja.

Sementara itu senyawa ganja lainnya yakni cannabidiol (CBD) yang memiliki efek antikejang, tetapi tidak bersifat psikoaktif.

Prof. Zullies menekankan, ganja medis bukanlah menjadi obat satu-satunya yang bisa mengatasi kejang pada tubuh seseorang.

Baca juga: Dua Guru Musik Asal Kanada Antusias Belajar Gamelan di Unpas

Penggunaan ganja medis disarankan sebagai obat alternatif atau bukan obat utama apabila obat lain sudah tidak berefek bagi pasien.

"Komponen ganja yang bersifat obat seperti cannabidiol bisa digunakan sebagai obat, namun jadi alternatif terakhir," imbuh dia.

Riset tentang ganja perlu diatur

Proses legalisasi menjadi obat, lanjutnya, harus dilakukan mengikuti kaidah pegembangan obat. Legalisasi harus didukung dengan adanya data-data uji klinis terkait, dalam bentuk obat yang terukur dosisnya, serta didaftarkan ke BPOM.

"Untuk ganja tidak bisa menggunakan regulasi seperti obat herbal lainnya yang tidak mengandung senyawa psikoaktif," terangnya.

Baca juga: Dokter Unair Bagikan Tips Atasi Gigi Sensitif

Guru Besar Fakultas Farmasi UGM ini menambahkan, kedepan diperlukan koordinasi semua pihak terkait untuk membuat regulasi dalam pengembangan dan pemanfaatan obat yang berasal dari ganja seperti cannabidiol dengan mempertimbangkan risiko dan manfaatnya.

"Riset-riset ganja perlu diatur dengan tetap terbuka kepada kemajuan ilmu pengetahuan dan dengan tetap membatasi akses guna menghindari penyalahgunaan," ungkap Prof. Zullies.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com