Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Program Makan Siang Gratis Prabowo-Gibran, Solusi atau Peluang Timbulkan Masalah Baru?

Kompas.com - 07/02/2024, 21:15 WIB
Erwina Rachmi Puspapertiwi,
Ahmad Naufal Dzulfaroh

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Calon presiden (capres) nomor urut 1, Prabowo Subianto berkali-kali menyatakan rencananya untuk memberi makan siang gratis kepada anak-anak Indonesia.

Program ini juga sempat diungkapkannya dalam debat kelima Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 pada Minggu (4/2/2024) di Jakarta Convention Center (JCC), Senayan, Jakarta Pusat.

"Memberi makan bergizi untuk seluruh anak-anak Indonesia termasuk yang masih dalam kandungan ibunya dan selama sekolah sampai dari usia dini sampai dewasa," ujarnya.

Menurutnya, kebijakan ini akan mampu mengatasi angka kematian ibu hamil, anak kurang gizi, stunting, menghilangkan kemiskinan ekstrem, serta menyerap semua hasil panen para petani dan nelayan.

Makan gratis juga diyakini mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi, sehingga dapat mengatasi masalah-masalah dalam memperbaiki kualitas hidup rakyat Indonesia.

Lantas, apakah kebijakan makan siang gratis Prabowo-Gibran bisa menjadi solusi untuk mengatasi beberapa persoalan?

Baca juga: Marak soal Masyarakat Percaya Hoaks Taylor Swift Berterima Kasih ke Prabowo, Ini Kata Pakar


Perlu melihat kondisi warga Indonesia

Sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Aris Arif Mudayat mengungkapkan, kebijakan makanan gratis tidak sesuai dengan persoalan Indonesia saat ini.

"Tidak seperti itu, ada yang lebih penting. Misalnya, tidak bisa bayar sekolah, tidak bisa ke fasilitas kesehatan. Ini lebih konkrit meski ada yang tidak bisa makan," ujarnya saat dihubungi Kompas.com, Rabu (7/2/2024).

Aris menjelaskan, pemerintah seharusnya membereskan sistem ketahanan kesehatan, pangan, sosial, dan ekonomi yang ada pada masyarakat.

Menurutnya, semua presiden dan pemerintah Indonesia selama ini kurang bisa membangun ketahanan tersebut.

Karenanya, pemberian bantuan sosial serta kebijakan makan gratis tidak menyelesaikan masalah. Sebab, tidak ada sistem ketahanan sosial dan ekonomi di Indonesia yang kuat.

"Kalau kita membangun sistem ekonomi gotong royong itu akan menjadi solusi mengatasinya," tambah dia.

Sistem ekonomi gotong royong ini diterapkan dengan mengintegrasikan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan Badan Usaha Milik Desa (BumDes) untuk mengatasi masalah sosial-ekonomi.

Sayangnya, hal tersebut tak pernah dilakukan.

Baca juga: Prabowo Sebut Indonesia Minim Dokter, Benarkah Penambahan Fakultas Kedokteran Jadi Solusi?

Target perlu lebih spesifik

Capres-cawapres nomor urut 2 Prabowo Subianto (kiri) dan Gibran Rakabuming Raka tiba di lokasi debat kelima Pilpres 2024 di Balai Sidang Jakarta Convention Center (JCC) Senayan, Jakarta, Minggu (4/2/2024). Debat kali ini bertemakan kesejahteraan sosial, kebudayaan, pendidikan, teknologi informasi, kesehatan, ketenagakerjaan, sumber daya manusia, dan inklusi. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra.ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra. Capres-cawapres nomor urut 2 Prabowo Subianto (kiri) dan Gibran Rakabuming Raka tiba di lokasi debat kelima Pilpres 2024 di Balai Sidang Jakarta Convention Center (JCC) Senayan, Jakarta, Minggu (4/2/2024). Debat kali ini bertemakan kesejahteraan sosial, kebudayaan, pendidikan, teknologi informasi, kesehatan, ketenagakerjaan, sumber daya manusia, dan inklusi. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra.
Terpisah, ahli gizi Institut Pertanian Bogor (IPB) Ali Khomsan menjelaskan, kebijakan pemberian makan gratis lebih tepat ditujukan untuk anak balita yang kurang gizi atau mengalami stunting, serta ibu hamil.

"Intervensi berupa pemberian makanan tambahan sangat diperlukan bagi anak yang kurang gizi," ujarnya saat dihubungi Kompas.com, Rabu.

Selain anak balita kurang gizi, anak usia sekolah bisa mendapat makanan gratis kalau mengalami anemia. Sebab, kondisi ini diakibatkan oleh kekurangan asupan hewani. 

Sementara orang dewasa yang cocok mendapatkan makanan gratis adalah ibu hamil yang mengalami anemia, serta mereka yang kekurangan energi kronis. 

"Kalau ada program makan siang gratis, itu intervensi ke orang-orang yang perlu. Lebih pas ditujukan ke orang miskin atau orang yang rentan punya anak yang memiliki stunting atau kurang gizi," jelas Ali.

Baca juga: Jadi ASN, Pemain Bulu Tangkis Marcus Fernaldi Gideon Berpose Dua Jari Bersama TKN Prabowo-Gibran

Dia menegaskan, orang yang menerima bantuan makan gratis seharusnya disesuaikan dengan kondisi ekonomi atau tingkat kemiskinan.

Karena itu, pemerintah perlu menentukan batasan kemiskinan, sehingga program bisa tepat sasaran.

Menurutny, jumlah kalori dalam makanan yang diberikan pun harus disesuaikan. Ali menyebutkan, seorang anak membutuhkan 1.500-2.000 kalori, sementara orang dewasa butuh 2.500 kalori untuk sekali makan.

Adapun menu makanan yang diberikan, bisa terdiri dari nasi, lauk, sayur, buah, dan susu.

"Kalau anggaran, Rp 18.000 atau Rp 20.000 (per orang) itu cukup untuk sekali makan siang," imbuhnya.

Baca juga: Jadi Salah Satu Program Prabowo-Gibran, Mengapa Bidang STEM di Indonesia Perlu Dikembangkan?

Rawan bermasalah

Sementara itu, pengamat kebijakan publik Universitas Indonesia (UI) Eko Prasodjo menyoroti risiko di balik penerapan program makan gratis.

"Mungkin perlu dipikirkan implementasinya di lapangan. Dana bansos saat ini saja banyak sekali masalahnya, terutama berkaitan dengan data orang miskin," ujarnya saat dihubungi secara terpisah, Rabu.

Menurut dia, pemerintah pusat tidak memiliki instansi vertikal pada tingkat pemerintah daerah. Padahal, pemerintah kabupaten atau kota memiliki kewenangan otonomi sendiri.

Selain itu, data penerima bantuan yang tidak valid juga dapat membuat akuntabilitas penerima makan siang gratis akan bermasalah.

Dia menambahkan, dana APBN yang ada juga tidak cukup. Saat ini, beban fiskal Indonesia terpakai oleh banyak hal, seperti transfer daerah, gaji, utang, dana desa, dan subsidi lain.

Baca juga: Di Balik Permintaan Maaf Prabowo pada Debat Kelima Pilpres 2024...

"Tahun ini dan tahun tahun mendatang, ruang fiskal APBN kita akan semakin kecil karena tambahan gaji untuk rekrutmen baru 2,3 juta ASN kurang lebih Rp 100 tiliun per tahun dan pembangunan IKN," jelas dia.

Karena itu, Eko menilai kebijakan ini kurang tepat sasaran dan tidak akan mencapai tujuan yang diharapkan, karena berpotensi terjadi banyak penyimpangan.

Di sisi lain, pengamat kebijakan publik Agus Pambagio juga menyoroti implementasi program makan gratis yang berisiko menimbulkan korupsi dan peningkatan impor bahan baku dari luar negeri.

"Sekarang yang harus diciptakan itu lapangan pekerjaan agar (warga) bisa kerja dan makan. Bantuan oke, tapi mekanismenya harus diatur dulu," ujar dia saat dihubungi Kompas.com, Rabu.

Agus menambahkan, pemerintah juga perlu membuat mekanisme agar investor dari luar negeri benar-benar membangun lapangan kerja yang sesuai bagi warga.

 Baca juga: Di Konser Indonesia Maju Deli Serdang, Prabowo Joget, Gibran Bagikan Baju

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com