Hal ini sebagian disebabkan oleh parasit malaria yang membuat sel darah merah yang terinfeksi mengekspresikan protein di permukaannya yang disebut RIFIN.
RIFIN nantinya akan bertindak seperti lem dan membuat sel darah merah yang tidak terinfeksi menumpuk di sekitar sel darah merah yang terinfeksi.
Ada cukup banyak bukti mengapa populasi yang berevolusi di daerah rawan malaria memiliki golongan darah O.
Baca juga: Benarkah Suami-Istri Perlu Memiliki Rhesus Golongan Darah yang Sama agar Bisa Hamil?
Pada tahun 1900, Karl Landsteiner dari Universitas Wina meneliti proses transfusi darah pada manusia, dilansir National Library of Medicine.
Dari penelitian ini, Landsteiner menemukan alasan beberapa transfusi darah berhasil sementara yang lain bisa berakibat fatal.
Ia menemukan sistem golongan darah ABO dengan mencampurkan sel darah merah dan serum setiap stafnya.
Penelitian ini menunjukkan bahwa serum beberapa orang mengaglutinasi sel darah merah orang lain.
Dari eksperimen awal ini, Landsteiner mengidentifikasi tiga tipe, yang disebut A, B, dan C.
Tipa C kemudian diubah namanya menjadi O dari bahasa Jerman “Ohne” yang berarti “tanpa”, atau “nol”, “null” dalam bahasa Inggris.
Sementara golongan darah AB yang lebih jarang, ditemukan setahun kemudian.
Pada 1930, Landsteiner menerima Hadiah Nobel dalam bidang fisiologi dan kedokteran atas penemuannya tentang golongan darah.
Baca juga: Studi Ungkap Golongan Darah Ini Lebih Rentan Terserang Stroke di Usia Muda
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.