Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pendaki Harus Melewati "Death Zone" untuk Mencapai Puncak Everest, Apa Itu?

Kompas.com - 03/01/2024, 15:30 WIB
Erwina Rachmi Puspapertiwi,
Inten Esti Pratiwi

Tim Redaksi

Zona kematian di Everest yang tinggi membuat atmosfernya tipis sehingga pendaki bisa kekurangan oksigen.

Dikutip dari Bussiness Insider (5/9/2023), tubuh manusia bekerja paling baik di permukaan laut karena memiliki kadar oksigen yang cukup untuk otak dan paru-paru.

Di tempat yang lebih tinggi, tubuh kita tidak dapat berfungsi dengan baik karena kekurangan oksigen.

Pada ketinggian 8.000 mdpl, kadar oksidegn yang sangat sedikit membuat sel-sel tubuh mulai mati dalam waktu yang cepat.

Di death zone, para pendaki juga berpotensi mengalami serangan jantung atau stroke, serta kehilangan kemampuan berpikir atau menilai sesuatu.

Hal ini terjadi karena jumlah oksigen dalam darah yang rendah membuat detak jantung bisa melonjak. Kondisi tersebut meningkatkan risiko serangan jantung.

Di dataran tinggi, tubuh memproduksi lebih banyak hemoglobin yang dapat mengentalkan darah. Kondisi ini menyulitkan jantung saat mengalirkan darah ke seluruh tubuh. Dan hal itu dapat meningkatkan risiko stroke.

Masalah lain yang dialami pendaki Everest adalah kelelahan, sesak napas, lemas, bahkan batuk terus-menerus hingga tulang rusuknya patah.

Di zona kematian, otak juga bisa mulai membengkak sehingga menyebabkan mual, sakit kepala, kesulitan berpikir, dan kehilangan nalar yang menghasilkan halusinasi.

Selain itu, tubuh akan mengalami penyusutan otot, penurunan nafsu makan dan berat badan, kebutaan sementara, serta kulit membeku.

Baca juga: Mungkinkah Gunung Everest Bisa Tumbuh Lebih Tinggi Lagi?

Butuh waktu lama 

Meski death zone berbahaya, banyak pendaki yang terpaksa berada di sana dalam waktu lama. Padahal, menghabiskan waktu sesedikit mungkin di area itu akan lebih aman.

Pendaki Everest dapat mendaki zona kematian dalam waktu sehari. Namun, mereka juga bisa mengantre berjam-jam dengan pendaki lain.

Di waktu normal, mereka mendaki tujuh jam sampai puncak. Perjalanan ini dilakukan di malam hari. Setelah itu, butuh 12 jam perjalanan untuk kembali ke tempat aman sebelum malam.

Meski sulit dan mematikan, diperkirakan sebanyak 4.000 pendaki telah mencapai puncak Gunung Everest dan mengalahkan death zone.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:

Terkini Lainnya

Matahari Tepat di Atas Kabah, Saatnya Cek Arah Kiblat

Matahari Tepat di Atas Kabah, Saatnya Cek Arah Kiblat

Tren
Kekuasaan Sejarah

Kekuasaan Sejarah

Tren
Kisah Alfiana, Penari Belia yang Rela Sisihkan Honor Demi Berhaji, Jadi Salah Satu Jemaah Termuda

Kisah Alfiana, Penari Belia yang Rela Sisihkan Honor Demi Berhaji, Jadi Salah Satu Jemaah Termuda

Tren
Jokowi Luncurkan Aplikasi Terpadu INA Digital, Bisa Urus SIM, IKD, dan Bansos

Jokowi Luncurkan Aplikasi Terpadu INA Digital, Bisa Urus SIM, IKD, dan Bansos

Tren
Biaya UKT Universitas Muhammadiyah Maumere, Bisa Dibayar Pakai Hasil Bumi atau Dicicil

Biaya UKT Universitas Muhammadiyah Maumere, Bisa Dibayar Pakai Hasil Bumi atau Dicicil

Tren
Pegi Bantah Telah Membunuh Vina, Apakah Berpengaruh pada Proses Hukum?

Pegi Bantah Telah Membunuh Vina, Apakah Berpengaruh pada Proses Hukum?

Tren
Singapura Tarik Produk Kacang Impor Ini karena Risiko Kesehatan, Apakah Beredar di Indonesia?

Singapura Tarik Produk Kacang Impor Ini karena Risiko Kesehatan, Apakah Beredar di Indonesia?

Tren
Maskot Pilkada DKI Jakarta Disebut Mirip Kartun Shimajiro, KPU Buka Suara

Maskot Pilkada DKI Jakarta Disebut Mirip Kartun Shimajiro, KPU Buka Suara

Tren
Ramai di Media Sosial, Bagaimana Penilaian Tes Learning Agility Rekrutmen BUMN?

Ramai di Media Sosial, Bagaimana Penilaian Tes Learning Agility Rekrutmen BUMN?

Tren
Batalkan Kenaikan UKT, Nadiem: Kalau Ada Kenaikan Harus Adil dan Wajar

Batalkan Kenaikan UKT, Nadiem: Kalau Ada Kenaikan Harus Adil dan Wajar

Tren
Buntut Pencatutan Nama di Karya Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Dicopot dari Dekan dan Dosen FEB Unas

Buntut Pencatutan Nama di Karya Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Dicopot dari Dekan dan Dosen FEB Unas

Tren
Alasan Nadiem Makarim Batalkan Kenaikan UKT Perguruan Tinggi Tahun Ini

Alasan Nadiem Makarim Batalkan Kenaikan UKT Perguruan Tinggi Tahun Ini

Tren
Cara Melihat Nomor Sidanira untuk Daftar PPDB Jakarta 2024

Cara Melihat Nomor Sidanira untuk Daftar PPDB Jakarta 2024

Tren
Kronologi Balita 2 Tahun di Sidoarjo Meninggal Usai Terlindas Fortuner Tetangga

Kronologi Balita 2 Tahun di Sidoarjo Meninggal Usai Terlindas Fortuner Tetangga

Tren
Sosok Kamehameha, Jurus Andalan Son Goku yang Ada di Kehidupan Nyata

Sosok Kamehameha, Jurus Andalan Son Goku yang Ada di Kehidupan Nyata

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com