Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pendaki Harus Melewati "Death Zone" untuk Mencapai Puncak Everest, Apa Itu?

Namun seperti namanya, banyak pendaki terpaksa mengorbankan nyawa saat berada di titik ini.

Di sana, manusia akan kesulitan bernapas dan mengalami gangguan kesehatan karena kadar oksigen menipis di puncak tertinggi dunia tersebut.

Pendaki Everest yang gagal melewati death zone biasanya akan menemui maut, dan tergeletak begitu saja di sepanjang lereng gunung.

Kondisi gunung yang tinggi sulit untuk membawa mereka turun sehingga banyak mayat dibiarkan tetap berada di "pelukan" Everest. 

Waktu berlalu, mayat yang berserakan justru menjadi petunjuk jalan bagi pendaki lain.

Apa itu death zone Everest?

Puncak Gunung Everest berada di ketinggian 8.848 meter di atas permukaan laut (mdpl).

Diberitakan Mirror (31/12/2023), orang yang melakukan pendakian di gunung tersebut pada ketinggian di atas 8.000 mdpl berarti memasuki lokasi yang sering disebut death zone.

Di lokasi ini, beberapa pendaki akan merasa euforia atau kegembiraan karena sebentar lagi mencapai puncak. Sayangnya, keinginan itu akan berakibat fatal.

Ini karena kondisi angin kencang di death zone ditambah tubuh kekurangan oksigen, dehidrasi, dan kelelahan membuat pendaki kurang hati-hati hingga akhirnya meninggal.

Diperkirakan sekitar 200 mayat pendaki tergeletak di lereng Everest. Karena sulit dipindahkan, mereka menjadi penanda ketinggian dan lokasi di gunung tersebut.

Sesosok mayat yang disebut green boots karena memakai sepatu hijau, menjadi tanda para pendaki sudah memasuki death zone. Mayat itu sudah ada di ceruk berbatu lereng gunung selama 20 tahun.

Suhu gunung yang dingin membuat mayat itu terpelihara dan terawetkan dengan baik, dan hingga kini berguna sebagai peringatan bagi para pendaki yang ingin memasuki zona kematian.

Sementara pendaki lain menyebut dirinya seperti sekarat dan berpacu dengan waktu agar tidak meninggal.

Zona kematian di Everest yang tinggi membuat atmosfernya tipis sehingga pendaki bisa kekurangan oksigen.

Dikutip dari Bussiness Insider (5/9/2023), tubuh manusia bekerja paling baik di permukaan laut karena memiliki kadar oksigen yang cukup untuk otak dan paru-paru.

Di tempat yang lebih tinggi, tubuh kita tidak dapat berfungsi dengan baik karena kekurangan oksigen.

Pada ketinggian 8.000 mdpl, kadar oksidegn yang sangat sedikit membuat sel-sel tubuh mulai mati dalam waktu yang cepat.

Di death zone, para pendaki juga berpotensi mengalami serangan jantung atau stroke, serta kehilangan kemampuan berpikir atau menilai sesuatu.

Hal ini terjadi karena jumlah oksigen dalam darah yang rendah membuat detak jantung bisa melonjak. Kondisi tersebut meningkatkan risiko serangan jantung.

Di dataran tinggi, tubuh memproduksi lebih banyak hemoglobin yang dapat mengentalkan darah. Kondisi ini menyulitkan jantung saat mengalirkan darah ke seluruh tubuh. Dan hal itu dapat meningkatkan risiko stroke.

Masalah lain yang dialami pendaki Everest adalah kelelahan, sesak napas, lemas, bahkan batuk terus-menerus hingga tulang rusuknya patah.

Di zona kematian, otak juga bisa mulai membengkak sehingga menyebabkan mual, sakit kepala, kesulitan berpikir, dan kehilangan nalar yang menghasilkan halusinasi.

Selain itu, tubuh akan mengalami penyusutan otot, penurunan nafsu makan dan berat badan, kebutaan sementara, serta kulit membeku.

Butuh waktu lama 

Meski death zone berbahaya, banyak pendaki yang terpaksa berada di sana dalam waktu lama. Padahal, menghabiskan waktu sesedikit mungkin di area itu akan lebih aman.

Pendaki Everest dapat mendaki zona kematian dalam waktu sehari. Namun, mereka juga bisa mengantre berjam-jam dengan pendaki lain.

Di waktu normal, mereka mendaki tujuh jam sampai puncak. Perjalanan ini dilakukan di malam hari. Setelah itu, butuh 12 jam perjalanan untuk kembali ke tempat aman sebelum malam.

Meski sulit dan mematikan, diperkirakan sebanyak 4.000 pendaki telah mencapai puncak Gunung Everest dan mengalahkan death zone.

https://www.kompas.com/tren/read/2024/01/03/153000565/pendaki-harus-melewati-death-zone-untuk-mencapai-puncak-everest-apa-itu-

Terkini Lainnya

Kasus Perempuan yang Meninggal usai Cabut Gigi Berlanjut, Suami Akan Laporkan Klink ke Polisi

Kasus Perempuan yang Meninggal usai Cabut Gigi Berlanjut, Suami Akan Laporkan Klink ke Polisi

Tren
Daftar 19 Operasi yang Ditanggung BPJS Kesehatan 2024

Daftar 19 Operasi yang Ditanggung BPJS Kesehatan 2024

Tren
Jasa Raharja Beri Santunan untuk Korban Kecelakaan Maut di Subang, Ini Besarannya

Jasa Raharja Beri Santunan untuk Korban Kecelakaan Maut di Subang, Ini Besarannya

Tren
Media Asing Soroti Penampilan Perdana Timnas Sepak Bola Putri Indonesia di Piala Asia U17 2024

Media Asing Soroti Penampilan Perdana Timnas Sepak Bola Putri Indonesia di Piala Asia U17 2024

Tren
Seorang Bocah Berusia 7 Tahun Meninggal Setelah Keracunan Mi Instan di India

Seorang Bocah Berusia 7 Tahun Meninggal Setelah Keracunan Mi Instan di India

Tren
Apa Itu KRIS? Pengganti Kelas BPJS Kesehatan per 30 Juni 2025

Apa Itu KRIS? Pengganti Kelas BPJS Kesehatan per 30 Juni 2025

Tren
Kata Media Asing soal Kecelakaan di Subang, Soroti Buruknya Standar Keselamatan di Indonesia

Kata Media Asing soal Kecelakaan di Subang, Soroti Buruknya Standar Keselamatan di Indonesia

Tren
Pendaftaran STIS 2024 Dibuka 15 Mei, Total 355 Kuota, Lulus Jadi CPNS

Pendaftaran STIS 2024 Dibuka 15 Mei, Total 355 Kuota, Lulus Jadi CPNS

Tren
Mencari Bus Pariwisata yang Layak

Mencari Bus Pariwisata yang Layak

Tren
DNA Langka Ditemukan di Papua Nugini, Disebut Bisa Kebal dari Penyakit

DNA Langka Ditemukan di Papua Nugini, Disebut Bisa Kebal dari Penyakit

Tren
Duduk Perkara Komika Gerallio Dilaporkan Polisi atas Konten yang Diduga Lecehkan Bahasa Isyarat

Duduk Perkara Komika Gerallio Dilaporkan Polisi atas Konten yang Diduga Lecehkan Bahasa Isyarat

Tren
Arab Saudi Bangun Kolam Renang Terpanjang di Dunia, Digantung 36 Meter di Atas Laut

Arab Saudi Bangun Kolam Renang Terpanjang di Dunia, Digantung 36 Meter di Atas Laut

Tren
Penjelasan Pertamina soal Pegawai SPBU Diduga Intip Toilet Wanita

Penjelasan Pertamina soal Pegawai SPBU Diduga Intip Toilet Wanita

Tren
Kelas BPJS Kesehatan Dihapus Diganti KRIS Maksimal 30 Juni 2025, Berapa Iurannya?

Kelas BPJS Kesehatan Dihapus Diganti KRIS Maksimal 30 Juni 2025, Berapa Iurannya?

Tren
Penjelasan Polisi dan Dinas Perhubungan soal Parkir Liar di Masjid Istiqlal Bertarif Rp 150.000

Penjelasan Polisi dan Dinas Perhubungan soal Parkir Liar di Masjid Istiqlal Bertarif Rp 150.000

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke