Saat menjadi mahasiswa di Belanda, Sjahrir terlibat aktif dalam organisasi pergerakan Perhimpunan Indonesia (PI), sebuah organisasi pelajar Indonesia di Belanda.
Saat itu, Sjahrir yang masih berusia masih muda menjadi sekretaris Perhimpunan Indonesia.
Selama masa kuliahnya, Sjahrir menjadi lebih dekat dengan aktivis kemerdekaan, yaitu Mohammad Hatta yang tidak lain adalah pemimpin PI.
Dia juga menjadi pendiri Jong Indonesia (Himpunan Pemuda Nasionalis) pada 20 Februari 1927. Jong Indonesia kemudian berubah nama menjadi Pemuda Indonesia dan menjadi cikal bakal kongres Sumpah Pemuda pada 1928.
Baca juga: Profil Wakil Presiden RI: Mohammad Hatta (1945-1956)
Dilansir dari Kemendikbud, nasionalisme Sjahrir pertama kali tumbuh saat dirinya mendengar pidato Dr Tjipto Mangunkusumo.
Saat itulah, untuk pertama kalinya Syahrir terpukau dengan semangat kebangsaan. Ia mulai aktif dalam perkumpulan pemuda kebangsaan.
Pengalamannya dalam berorganisasi di sekolah membawanya terjun kedalam dunia politik ketika itu.
Pada 1931, Sjahrir kemudian memutuskan untuk kembali ke Indonesia dan berhenti kuliah.
Hal ini karena pengawasan pemerintahan kolonial Belanda yang semakin ketat.
Setibanya di tanah air, dia menikah dengan Siti Wahyunah pada 1951 dan dikaruniai 2 orang anak bernama Kriya Arsyah Syahrir dan Siti Rabyah Parvati Syahrir.
Baca juga: Mengenang Sosok Bung Hatta, dari Sepatu Bally hingga Tak Mau Dimakamkan di Taman Makam Pahlawan
Masih dari sumber yang sama, Sjahrir sempat bergabung dengan Partai Nasional Indonesia (PNI Baru) yang diketuai diirnya pada 1932.
Sjahrir juga sempat menajdi ketua Kongres Kaum Buruh Indonesia setelah tulisa-tulisannya tentang buruh dituangkan di berbagai majalah. Dia juga tergabung dalam pergerakan buruh.
Di masa kependudukan Jepang, Sjahrir juga terlibat pergerakan 'bawah tanah', Saat itu, dia mendesak Soekarno dan Mohammad Hatta untuk mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia pada 15 Agustus 1945.
Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Bung Karno dan Hatta Diculik ke Rengasdengklok
Namun Soekarno dan Hatta menolak hal tersebut sehingga membuat kaum muda menculik Soekarno dan Mohammad Hatta ke Rengasdengklok pada 16 Agustus 1945.