“Tapi power-nya salah kaprah,” tandas Ratna.
Selain itu, pelaku bullying juga merasa perbuatannya sebagai suatu prestasi. Tapi, bukanlah sesuatu prestasi yang bisa dibanggakan dalam arti sebenarnya.
“Tapi, bagi pem-bully sendiri mereka merasa bangga. Karena itulah disebut upnormal, karena hal tersebut tidak wajar,” ungkap Ratna.
“Pem-bully itu tidak pernah merasa salah,” sambungnya.
Baca juga: Menilik Fenomena Bullying Pelajar Indonesia
Munculnya perilaku bullying, menurut Ratna, dipicu oleh trauma yang menghasilkan dendam.
Di sisi lain, seseorang bisa menjadi pelaku bullying karena dia ingin menunjukkan eksistensinya.
“Karena dia di-bully, kemudian pelaku bully merasa sakit hati, dendam, hingga akhirnya dia ganti mem-bully orang lain,” ujarnya.
Apakah pelaku bullying bisa merasa menyesal?
Menurut Ratna, pelaku bullying dapat menyesali perbuatannya. Namun, hal ini terjadi secara bertahap.
Menyadarkan pelaku bullying bisa dilakukan dengan terapi perilaku (behavior) dan terapi kognitif.
“Intinya pelaku ditanamkan di dalam pikirannya dan distruktur ulang. Jadi, yang selama ini dia anggap biasa, kita struktur ulang agar tidak melakukan bullying lagi yang menurut orang lain merupakan tindakan tidak baik,” terangnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.