Oleh: Alifia Putri Yudanti dan Rizky Nauvalif
KOMPAS.com - Aksi perundungan atau bullying bisa terjadi di mana saja dan oleh siapa saja. Mulai dari lingkungan sekolah, pertemanan, hingga pekerjaan yang berdampak langsung terhadap kesehatan mental korban.
Sering kali, korban yang dirundung merasa trauma dan dibayang-bayangi perilaku perundungan yang menimpanya. Hal ini karena aksi tersebut dilakukan saat korban berada di bangku sekolah yang seharusnya menjadi masa bersenang-senang dan mengeksplorasi banyak hal.
Di sisi lain, banyak pelaku yang tak sadar dan tetap hidup bebas padahal mereka telah menorehkan luka ke para korban. Isu ini juga dibahas oleh Kukuh dan Dwik dalam siniar Balada +62 episode “Jadi Pelaku Bully Bisa Hidup Enak?” dengan tautan s.id/Balada62Bully.
Sayangnya, meskipun banyak kasus yang diangkat ke media, namun aksi perundungan terus terjadi di sekitar kita. Lantas, mengapa hal ini bisa terjadi?
Perundungan di lingkungan akademik yang seharusnya menjadi ruang aman untuk menuntut ilmu menambah bukti mirisnya pendidikan Indonesia.
Dalam laporan UNICEF (2020) tercatat setidaknya ada 41 persen pelajar di Indonesia berusia 15 tahun pernah mengalami perundungan. Sementara itu, 22 persen perundungan yang mereka terima berupa ejekan dan penghancuran barang secara paksa.
Selain itu, masih banyak sekolah dan tenaga pendidik yang kurang peduli terhadap hal ini. Beberapa dari mereka bahkan menganggap perundungan sebagai candaan biasa antarteman. Bahkan, ada pula tenaga pendidik yang turut memberikan candaan berlebihan kepada siswanya.
Menurut Anggin Nuzula Rahmah, Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Kesehatan dan Pendidikan, tidak pula sedikit guru yang melakukan kekerasan dengan tujuan pendisiplinan. Mereka mendisiplinkan anak-anak dengan cara-cara kekerasan yang juga termasuk ke dalam aksi perundungan.
Baca juga: Ajarkan Anak Keberagaman dan Inklusivitas
Padahal, kasus perundungan yang kurang mendapat perhatian, bisa menyebabkan jatuhnya korban. Hal yang sangat disayangkan, kasus perundungan yang dianggap sepele terjadi karena efek yang belum tampak secara langsung.
Selain itu, banyak pula korban yang enggan melapor karena takut, malu, atau takut diancam oleh pelaku. Bisa pula korban sudah melapor namun tidak mendapat tanggapan serius oleh pihak sekolah.
Itulah mengapa, pembentukan budaya dan lingkungan sekolah yang sadar akan kasus perundungan sangat dibutuhkan. Sekolah harus memiliki program pencegahan, intervensi, dan sosialisasi yang memadai sekaligus penanganan yang sungguh-sungguh.
Seorang pelajar yang menjadi korban perundungan tentu akan berdampak terhadap kesehatan mental. Mereka akan menjadi pribadi yang tertutup dan enggan bergabung dengan teman-teman yang lain.
Hal ini terjadi karena mereka memiliki ketakutan untuk mulai berinteraksi dengan orang baru karena khawatir akan mengalami aksi yang serupa. Perasaan takut ini pun bisa bertumbuh hingga mereka dewasa dan menjadi perasaan trauma.
Bahkan, perasaan traumatis ini pun kini tak menunggu mereka dewasa. Sebab, ada beberapa kasus yang merenggut nyawa korbannya.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.