Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ramai soal "Live Streaming" di Pinggir Jalan di China, Ini Kata Sosiolog

Kompas.com - 31/08/2023, 18:30 WIB
Yefta Christopherus Asia Sanjaya,
Farid Firdaus

Tim Redaksi

Penjelasan pakar Unair

Sosiolog Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Bagong Suyanto mengatakan, fenomena siaran di tengah malam demi meraup cuan seperti terjadi di China dapat terjadi di Indonesia.

Hal tersebut dapat terjadi karena global village atau fenomena globalisasi pada masa kini bisa menularkan fenomena yang terjadi di China ke Indonesia.

"Bukan soal uang yang dikejar, tapi eksistensi diri di media sosial," kata Bagong saat dihubungi Kompas.com, Selasa (29/8/2023).

Menurutnya, dengan fenomena live streaming, penyiar berusaha menunjukkan identitas sosialnya.

Ia menjelaskan, hal itu terjadi sebagai bagian dari konsekuensi perubahan masyarakat yang terjebak pengaruh media sosial.

"Ini berkaitan dengan gaya hidup. Perilaku imitatif cenderung muncul pada masyarakat konsumer yang dikendalikan libido atau hasrat untuk tampil di hadapan publik," ujarnya.

Baca juga: Ramai Fenomena Citayam Fashion Week, Ini Penjelasan Sosiolog

Munculnya praktik kapitalisme

Terpisah, sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Abe Widyanta menyampaikan, fenomena live streaming di China berpeluang melahirkan berbagai praktik sporadis yang membuat kehebohan dan tren sesaat.

Hal seperti itu, kata Widyanta, merupakan salah satu ciri masyarakat siber karena perkembangan teknologi.

"Berpeluang saja (menyebar ke Indonesia), bahkan mungkin sudah mendahului dalam konteks Indonesia. Yang trending beberapa waktu lalu tentang mandi lumpur atau (Citayam) Fashion Week," ujarnya kepada Kompas.com, Selasa (29/8/2023).

Meski begitu, munculnya tren orang untuk eksis di media sosial agar mendapat uang dapat dimanfaatkan oleh kapitalis untuk meraup untung.

Caranya, mereka bekerja sama dengan para penyiar dengan jumlah follower atau pengikut yang banyak untuk melahirkan banyak konsumen supaya produknya dicermati.

"Jadi, ini bagian dari rantai kapitalisme yang menjalin bagaimana streamer atau berkaitan dengan orang-orang yang melakukan streaming itu," jelas Widyanta.

"Yang kemudian mereka melakukan apa pun sejauh itu membikin sensasi atau menguras berbagai donasi orang. Apakah itu melalui rasa iba, melalui kebiasaan yang membuat orang terpukau agar memberikan donasi," sambungnya.

Baca juga: Mengapa Masih Ada yang Menjarah Muatan Truk yang Terguling Kecelakaan?

Perlunya literasi digital

Lebih lanjut, Widyanta mengingatkan bahaya dari instannya memperoleh pendapatan dari live streaming terhadap mentalitas.

Ia mengatakan, live streaming memang bisa menjadi ladang penghasilan, namun hal ini membuat sebagian orang tak lagi memandang pendidikan sebagai sesuatu yang penting.

Mentalitas yang serba instan juga menempatkan uang sebagai "tuhan" dan dijadikan patokan bahwa pendidikan tinggi bukanlah hal yang penting.

"Mentalitas yangg instan mentalitas yang palsu tanpa adanya daya kritis," tutur Widyanta.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com