Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pramono Dwi Susetyo
Pensiunan

Pemerhati masalah kehutanan; penulis buku

Penyelesaian Sawit Masuk Hutan, antara Harapan dan Kenyataan

Kompas.com - 20/06/2023, 10:50 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

OTONOMI daerah yang berlaku sejak terbitnya Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ternyata membawa dampak negatif cukup signifikan dalam pengelolaan hutan di Indonesia.

Kasus-kasus illegal logging, illegal mining, dan perambahan liar untuk perkebunan,baik oleh korporasi maupun masyarakat, makin marak terjadi. Skalanya tidak saja meluas tetapi lebih dari itu, terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif.

Salah satu kasus nyata dari dampak otonomi daerah adalah masuknya kebun sawit ilegal dalam kawasan hutan seluas 3,1-3,4 juta hektare di Indonesia. Luas kebun sawit ilegal sebesar itu merupakan akumulasi sejak tahun 1999 hingga sekarang.

Sawit di kawasan hutan tentu saja ilegal. Kebun-kebun itu ada di hutan konservasi seluas 115.694 hektare, hutan lindung 174.910 hektare, hutan produksi terbatas 454.849 hektare, hutan produksi biasa 1.484.075 hektare, dan hutan produksi yang dapat dikonversi 1.224.291 hektare.

Baca juga: 9 Juta Hektar Perkebunan Sawit Belum Bayar Pajak, Gus Imin: DJP Harus Usut Tuntas

Dari 3,1 juta hektare, jika kita pakai data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), 576.983 hektare sedang dalam proses permohonan pelepasan kawasan hutan. Sisanya, sekitar 1,2 - 1,7 juta hektare, tak memohon izin pelepasan agar legal.

Sebelumnya, pemerintah pernah menertibkan pertambangan dan perkebunan ilegal sejak 2010. Penertiban ini memicu kegaduhan, terutama dari kepala daerah. Mereka melayangkan surat kepada Presiden bahwa investasi perkebunan dan pertambangan itu bernilai triliunan rupiah.

Lima bupati dan seorang pengusaha kebun sawit di Kalimantan Tengah bahkan memohon uji materi UU Kehutanan ke Mahkamah Konstitusi (MK). MK mengabulkan tuntutan itu dan memerintahkan KLHK tidak sembarangan dalam menetapkan kawasan hutan.

Padahal, perizinannya kacau balau. Ada perusahaan yang memiliki izin perkebunan dari pemerintah daerah tetapi juga mengantongi izin hak guna usaha (HGU) dari Badan Pertanahan Nasional (BPN). Padahal tak ada pelepasan kawasan hutan untuk arealnya.

Di kebun sawit rakyat, masalahnya lebih rumit dan kompleks lagi. Selain perambahan, jumlahnya banyak dan luasnya kecil-kecil, 5-25 hektare. Karena ilegal, baik sawit rakyat dan sawit perusahaan tentu tak membayar pajak.

Pemerintah coba menyelesaikan sengketa kebun sawit di kawasan hutan melalui regulasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60/2012 yang diperbarui PP Nomor 104/2015 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan. Namun tidak berhasil.

Di sisi lain, pada September 2016 terdapat gagasan yang dicetuskan mantan Menteri Kehutanan era Pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono, yakni Malem Sambat (MS) Kaban  agar sawit menjadi tanaman kehutanan.

Namun gagasan itu layu sebelum berkembang. Usul agar sawit menjadi tanaman hutan sudah menuai pro-kontra sejak Yanto Santosa, guru besar Fakultas Kehutanan IPB University, menggulirkannya. Gagasan lama ini mencuat kembali ketika Fakultas Kehutanan IPB secara resmi menuangkannya dalam naskah akademik “Kelapa Sawit sebagai Tanaman Hutan Terdegradasi” pada Januari 2022.

Namun pemerintah melalui KLHK pada 7 Februari 2022 dengan tegas menjelaskan bahwa sawit bukan tanaman hutan. Melalui UU Cipta Kerja dan PP Nomor 24/2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan, pemerintah coba mengurai kebun sawit ilegal dengan prinsip keadilan.

PP itu mensyaratkan pemutihan sawit di kawasan hutan pertama-tama adalah inventarisasi: sesuai tata ruang, tidak tumpang tindih. Sawit yang tidak sesuai tata ruang lalu dipilah dengan yang punya izin dan tak ada izin. Sawit yang tak memiliki izin akan terkena sanksi administratif berupa denda.

Bagaimana perkembangan denda sawit dalam kawasan hutan sejak itu hingga kini?

Progresnya Lambat

Kebijakan penerapan denda administrasi dalam kasus penguasaan hutan ilegal diatur dalam Pasal 110A dan Pasal 110B UU Cipta Kerja. Dengan UU sapu jagat ini, pidana kejahatan hutan dapat dikesampingkan (ultimum remedium) dan diganti dengan membayar denda yang akan menjadi penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

Instrumen yang dipakai yakni PP Nomor 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administrasi dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administrasi di Bidang Kehutanan. PP ini merupakan turunan langsung dari UU Cipta Kerja.

Penerapan denda itu ditangani langsung secara tunggal oleh KLHK. Diketahui sejak 2021, Menteri LHK Siti Nurbaya menerbitkan 12 pucuk surat keputusan (SK) berisi daftar dan informasi tentang penguasaan hutan tanpa izin.

Baca juga: Luhut: Audit Perkebunan Sawit Bantu Kebijakan Lebih Akurat

SK terbaru diterbitkan pada 5 April 2023 berisi 30 subyek hukum tambahan yang akan mendapat program pengampunan keterlanjuran penggunaan kawasan hutan tanpa izin.

Subyek hukum adalah istilah (nomenklatur) yang dipakai KLHK merujuk pada kelompok penguasa hutan ilegal (tanpa izin), meliputi korporasi, koperasi, kelompok tani, individu, kelompok masyarakat, dan lembaga instansi pemerintah.

Sebelumnya, dalam 11 SK terdahulu yang diteken Siti, jumlah subyek hukum pengguna hutan tanpa izin ada 2.671 subyek hukum. Dengan demikian, saat ini sudah ada 2.701 subyek hukum yang terdata di KLHK.

Kawasan hutan itu mayoritas telah dialihfungsikan secara ilegal menjadi kebun kelapa sawit. Adapun lokasi penguasaan hutan ilegal terluas berada di Provinsi Riau.

Siti Nurbaya menyebut proyeksi PNBP dari denda kebun kelapa sawit dalam kawasan hutan mencapai Rp 50 triliun. Dia mengemukakan hal itu dalam rapat kerja bersama Komisi IV DPR yang disiarkan lewat channel YouTube, Selasa (13/6/2023).

Sayangnya, penerapan denda ini yang tadinya ditangani langsung secara tunggal oleh KLHK, diambil alih oleh Satuan Tugas (Satgas) Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 9 Tahun 2023 sejak 14 April 2023.

Siti Nurbaya menyebut bahwa KLHK dalam penanganan denda kebun sawit tersebut akan memberikan dukungan data kepada satgas. Masa kerja satgas dibatasi hingga 30 September 2024.

Satgas akan melaporkan perkembangan pelaksanaan tugasnya kepada Presiden melalui ketua pengarah paling sedikit satu kali setiap enam bulan atau sewaktu-waktu jika diperlukan.

Satgas ini berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Presiden Joko widodo (Jokowi) dalam Keppres tersebut menetapkan Menko Maritim Investasi, Luhut Binsar Panjaitan, sebagai Ketua Pengarah Satgas. Sementara, Ketua Pelaksana Satgas yakni Wakil Menteri Keuangan, Suahasil Nazara.

Hingga kini belum diketahui sejauh mana perkembangan penerapan denda kebun sawit dalam kawasan hutan yang telah ditempuh oleh satgas bentukan Presiden Jokowi tersebut.

Hambatan Pengenaan Denda

Di tengah ekspektasi PNPB yang begitu besar dari denda sawit dalam kawasan hutan, terdapat hambatan dan pesimisme yang menghadang di depan ketidakmulusan penerapan denda sawit dengan terbitnya UU anti deforestasi Uni Eropa (EUDDR) yang berlaku mulai 16 Mei 2023.

Dengan pemberlakuan UU itu, seluruh komoditas andalan Indonesia ke Uni Eropa dilarang masuk ke 27 negara anggota organisasi itu jika tidak lolos uji tuntas deforestasi. Sudah barang tentu produk sawit dan turunannya yang berasal dan terindikasi yang akan dikenakan denda kebun sawit dalam kawasan hutan, masuk dalam sasaran EUDDR yang dilarang dijual di Umi Eropa.

Padahal negara-negara Uni Eropa merupakan konsumen terbesar kedua setelah Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Jadi, bagi subyek hukum pada kelompok penguasa hutan ilegal (tanpa izin), meliputi korporasi, koperasi, kelompok tani, individu, kelompok masyarakat dan lembaga instansi pemerintah yang akan dikenai denda PNBP tersebut, suka atau tidak suka akan mengalami gangguan neraca keuangan akibat penjualan produk sawitnya yang tidak lagi semulus sebelumnya.

Dampaknya, kemampuan membayar denda PNBP subyek hukum yang disebut di atas akan melemah atau menurun. Apalagi batas tenggang waktu masa kerja Satgas yang pendek (satu  tahun) hingga 30 September 2024, diprediksi tidak efektif dalam penagihan denda kebun sawit dalam kawasan hutan tersebut. Bahkan ada sebagian kalangan, seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM), mencurigai sebagai kejar setoran pemerintah dalam menghadapi tahun politik saat ini.

Tampaknya, harapan PNBP sebesar Rp 50 triliun dari denda sawit di kawasan hutan yang dilakukan Satgas Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara, sulit terealisasi hingga 30 September 2024.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com