Aircraft Accident Investigation Committee Kementerian Transportasi Jepang menyimpulkan, penyebab kecelakaan tersebut adalah kerusakan mesin kanan General Electric CF6-50C.
Kerusakan itu memaksa Kapten Ronald R Longdong mengambil keputusan abortive take-off dan tidak mengudara, dikutip dari Harian Kompas, 17 Juni 1996.
Mereka juga menyimpulkan bahwa mesin nomor dua (di ekor pesawat) berfungsi baik sewaktu akan lepas landas.
Lubang yang terdapat setelah pesawat gagal lepas landas, disebabkan oleh benturan pylon roda yang lepas dari kedudukannya dan membuat lubang tersebut.
Menurut pihak Jepang, tindakan pilot yang melakukan abortive take-off melanggar ketentuan penerbangan internasional.
Dalam kondisi itu, pilot seharusnya membawa pesawat lepas landas dan kembali mendarat jika terjadi gangguan pada salah satu dari tiga mesin pesawat.
Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Pesawat Mandala Airlines Jatuh di Permukiman Warga di Medan, 149 Orang Tewas
Namun, Dirjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Republik Indonesia Zainuddin Sikado justru memuji keputusan pilot.
Menurut Zainuddin, jika pilot tidak melakukan pendaratan darurat maka kecelakaan akan berpotensi lebih parah.
Dasarnya adalah dari fakta lapangan, DC-10 PK-GIE sewaktu meluncur dengan kecepatan sekitar 147 knot, pilot mulai menarik kemudi untuk menaikkan hidung pesawat, terjadi getaran keras pada mesin kanan dan pesawat tidak bereaksi atas perintah naik yang diberikan.
"Kita analisa, kemungkinan sistem hidroliknya juga terganggu dan mempengaruhi kerja sistem kemudi dan flaps. Kami dapatkan di tempat kejadian full flaps down, padahal (untuk lepas landas) tidak pakai full flaps," jelas Sikado.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.