Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Abdul Munif
Mahasiswa Pascasarjana

Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM)

Privatisasi dan Tantangan Pemenuhan Hak atas Air

Kompas.com - 13/03/2023, 10:38 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PADA 22 Maret ini, warga di berbagai belahan dunia akan memeringati Hari Air Sedunia. Dalam perayaannya yang ke-30, World Water Day atau Hari Air Sedunia mengusung tema terkait akselerasi penyelesaian krisis air dan sanitasi. Dalam momentum ini perlu direnungkan kembali: masihkah setiap orang berhak merasakan air bersih di tengah beragam masalah, termasuk privatisasi air?

Pada 2022 Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO mencatat, persentase akses penduduk dunia atas air yang dikelola secara aman meningkat 12 persen dalam dua dasawarsa terakhir. Sayangnya, sekitar 2 miliar orang tak memperoleh akses ke air bersih.

Ada berbagai hambatan akses rakyat terhadap air, mulai dari pencemaran lingkungan, distribusi yang tidak merata karena komersialisasi air, hingga problem kemiskinan. Tantangannya pun kini kian kompleks akibat perubahan iklim.

Baca juga: KPK Akan Bertemu Pemprov DKI Bahas Opsi Penghentian Privatisasi Air

Padahal, hukum hak asasi manusia (HAM) internasional telah menormakan hak atas air (HA) sebagai HAM sekaligus “hak hukum”. HA pada intinya mengandung substansi hukum bahwa setiap orang berhak atas air yang cukup, aman, akseptabel, bisa diakses secara fisik dan  terjangkau (secara ekonomi).

HA berisi kebebasan (freedoms) dan hak (entitlement). Kebebasan berarti setiap orang bebas menjaga aksesnya terhadap kebutuhan persediaan air, termasuk bebas dari pemutusan akses air sewenang-wenang dan pencemaran.

Sementara hak berarti bahwa setiap orang memiliki hak atas persediaan dan pengelolaan air yang memungkinkan akses setara. Begitu pun dengan kelayakan kualitas air.

Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (KIHESB) memang tidak menyebutkan HA dalam deretan pasalnya. Namun, konten normatif HA telah dielaborasi melalui Komentar Umum Nomor 15 tahun 2002 yang diterbitkan Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. HA adalah pertautan dua kategori HAM, yakni hak atas standar penghidupan layak dan hak atas kesehatan (Pasal 11 dan 12 KIHESB).

Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) turut menyepakati HA sebagai HAM melalui Resolusi Nomor 64/292 bertajuk “The Human Right to Water and Sanitation” bertanggal 28 Juli 2010. Resolusi tersebut disponsori beberapa negara Dunia Selatan. Uruguay, Bolivia, dan Afrika Selatan merupakan beberapa negara yang secara eksplisit mengatur penjaminan HA dalam undang-undang dasarnya.

Perdebatan tentang privatisasi air regulasi negara terkait hak atas air kian penting seiring komodifikasi dan privatisasi air yang menghambat akses air bagi rakyat. Privatisasi bertujuan untuk mengubah situasi pengelolaan layanan, dari pemerintah kepada sektor swasta dengan dalih efektivitas dan lainnya.

Namun, dengan privatisasi, servis publik akan lebih berorientasi pada profit, bukan lagi kebutuhan masyarakat. Privatisasi air bisa dipahami sebagai pengalihan kepemilikan sistem persediaan air ke perusahaan swasta, dan “kemitraan” negara dan sektor swasta, baik pada pembangunan, pengoperasian dan pengelolaan sistem pasokan air (Bakker, 2007:437).

Gagasan privatisasi ini setidaknya dapat dilacak dalam Konferensi tentang Air dan Lingkungan di Dublin, Irlandia pada 1992 yang menelurkan “Prinsip-Prinsip Dublin”. Salah satunya, adalah pengakuan air sebagai barang ekonomis.

Dengan mulai timbulnya kelangkaan air, institusi keuangan global seperti Bank Dunia mulai mewacanakan kebijakan liberalisasi dan privatisasi secara global, termasuk kepada negara berkembang. Faktanya, gagasan itu telah membuat perusahaan-perusahaan transnasional memperlakukan air sebagai sumber daya yang dieksploitasi demi mengeruk keuntungan.

Baca juga: Hadiri Forum Air Sedunia Luhut Ingatkan Krisis Air Bersih: Tidak Boleh Anggap Remeh

Air yang seharusnya dipandang sebagai milik publik (res commune) menjelma jadi barang komersial, lantas mempersulit akses rakyat miskin. Satu persoalan legal yang cukup sukar untuk dijawab kemudian timbul: apakah norma HA, yang kini dijamin hukum HAM internasional, tak bersesuaian dengan privatisasi air?

Sayangnya, Komentar Umum Nomor 15 tak mengklarifikasi apakah privatisasi air bertentangan dengan norma HA. Menurut pakar hukum HAM internasional, Manfred Nowak, Komite menghindari pembahasan isu kontroversial itu secara langsung dalam penyusunan Komentar Umum.

Namun Komite menegaskan, air tetap harus diperlakukan layaknya “social and cultural goods”, terutama bukan barang ekonomis. Komentar Umum Nomor 15 mendudukkan, pembayaran layanan air haruslah terjangkau.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com