Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Abdul Munif
Mahasiswa Pascasarjana

Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM)

Privatisasi dan Tantangan Pemenuhan Hak atas Air

Kompas.com - 13/03/2023, 10:38 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Negara perlu memastikan bila layanan air, entah disediakan swasta maupun badan publik, harus didasarkan pada prinsip persamaan, yakni bisa dijangkau setiap orang, termasuk kelompok sosial rentan, seperti kelompok miskin. Prinsip persamaan berarti bahwa keluarga miskin tidak boleh, secara tak proporsional, dibebankan pengeluaran untuk akses air seperti halnya keluarga kaya.

Komite Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya juga tak pernah gamblang menyatakan bahwa norma HA akan mencegah negara untuk memprivatisasi pengelolaan air. Pada 2010, Catarina de Albuquerque selaku ahli independen PBB bahkan menegaskan bahwa norma HAM bersifat “netral” terkait model pengelolaan ekonomi secara umum, juga model pengelolaan layanan secara khusus.

Menurut Karen Bakker, diskursus HA sebenarnya tidaklah begitu antagonis dengan agenda privatisasi air. Arah kritik Bakker tentunya tak bermaksud menguntungkan agenda privatisasi air, tetapi merupakan kritik terhadap kelemahan wacana dalam gerakan anti-privatisasi dengan mengatasnamakan HA.

Ia menunjukkan, bahkan deretan korporasi air hingga Bank Dunia —eksponen agenda privatisasi— belakangan turut mengakui eksistensi dan signifikansi HA. Bakker secara kritis menyimpulkan, HAM pada dasarnya bersifat individualistis, antroposentris, negara-sentris, dan tak “mengharamkan” bekerjanya mekanisme pasar, seperti pengelolaan pasokan air oleh swasta.

Dengan sudut pandang berbeda, Nowak berargumen bahwa HA tidaklah “netral” terhadap isu privatisasi. Nowak merujuk konsep kewajiban negara berdasarkan Pasal 2 ayat (1) KIHESB, sebagai halnya negara diharuskan mengambil langkah yang diperlukan demi merealisasikan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, sesuai sumber daya maksimum yang tersedia.

Agenda privatisasi air dapat mengarah pada pelanggaran kewajiban tersebut. Menurut dia, privatisasi jangka panjang dapat membuat negara bersifat retrogresif dalam memenuhi HA. Padahal, norma KIHESB mengandaikan negara secara kontinyu alias progresif meningkatkan pemenuhan hak.

Dapat digarisbawahi bahwa konsep HA sendiri telah menjadi arena di mana wacana anti- dan pro-privatisasi bertolak tarik. Di atas kertas, baik KIHESB maupun Komentar Umum Nompr 15 tidak expressis verbis melarang privatisasi.

Baca juga: Krisis Air Bersih Ternyata Sudah 2 Tahun Landa Rusun Marunda

Sejurus kritik Bakker, hal demikian tampak memungkinkan korporasi air dan institusi keuangan global “menyesuaikan diri” dengan penormaan HA. Hukum HAM internasional memang tak menegaskan bahwa privatisasi, stricto sensu, bertentangan terhadap HA, tetapi kerangka normatifnya menggariskan pembatasan-pembatasan.

Negara diwajibkan melindungi akses rakyat manakala air dikelola dan disediakan aktor swasta, seperti dengan menjamin air tetap tersedia dan harganya terjangkau. Cita-cita hukum terkait hak-hak ekonomi, sosial dan budaya menempatkan negara selaku pemikul kewajiban dan tanggung jawab utama, sehingga privatisasi patut diakui berpotensi mengikis peran negara sedemikian rupa.

Karena itu, bila pengelolaan dan penyediaan air berada di tangan negara tanpa privatisasi, negara diharapkan konsisten memenuhi kewajibannya seturut KIHESB.

Privatisasi Air di Indonesia

Privatisasi air di Indonesia bermula di Jakarta sebagai konsekuensi “program penyesuaian struktural” dari dana pinjaman pada 1990-an yang dikucurkan Bank Dunia. Pemerintah Indonesia disyaratkan melakukan restrukturisasi pengelolaan air dan pembuangan limbah dengan melibatkan sektor swasta.

Selanjutnya, sekitar tahun 1997 dan 1998, dua perusahaan afiliasi korporasi multinasional dengan PDAM mengadakan Perjanjian Kerja Sama (PKS) untuk pengelolaan air di sebagian wilayah Ibu Kota selama 25 tahun.

Keran privatisasi kian terbuka seturut diundangkannya UU Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air. UU tersebut memperkenalkan konsep “Hak Guna Usaha Air” yang bisa diberikan kepada swasta demi tujuan komersial, dengan pengaturan syarat longgar.

Gugatan terhadap privatisasi santer terdengar seiring munculnya konflik akses dan melonjaknya harga air. Pada 2012, Tim Advokasi Hak Atas Air mengajukan gugatan warga negara (citizen lawsuit) kepada pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan dua korporasi air di Jakarta. Gugatannya berisi tentang kelalaian negara karena penyerahan kewenangan pengelolaan air kepada swasta.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat lalu memerintahkan pemerintah menghentikan kebijakan privatisasi air. Meski menang di tahap pertama, jalannya proses hukum mencapai tahap peninjauan kembali, di mana penggugat kemudian kalah.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com