Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ulwan Fakhri
Peneliti

Peneliti humor di Institut Humor Indonesia Kini (IHIK3)

Saat-saat Plesetan Bikin Geram

Kompas.com - 24/02/2023, 13:56 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Misalnya, nih, saat makan siang di kantin kantor, Anda minta tolong kolega yang duduk di samping Anda untuk segera mengambilkan sebotol kecap yang ada di dekatnya. Bagaimana lagi, hasrat untuk menyantap hidangan di depan kita sudah terlalu tinggi, tapi kalau belum ditaburi kecap, jadi kurang sedap.

Eh, bukannya bergerak meraih botol itu, teman Anda tadi malah merespons dengan..., “Apa? Kecup?”

Agar Plesetan Tak Bikin Geram

Tanpa saya perlu mengambil referensi yang gimana-gimana, kiranya Anda pun tanggap, bahwa permainan kata yang bisa memicu tawa itu membutuhkan pemahaman yang cukup akan kosakata dan bahasa yang hendak kita permainkan. Tetapi terlepas dari hal yang textbook itu, kunci suksesnya plesetan itu ada di momentum.

Dalam The Language of Jokes: Analysing Verbal Play (1992), pakar linguistik Delia Chiaro menggambarkan bahwa situasi yang paling ideal dan nyaman untuk berplesetan ria itu adalah ketika orang lain mau dengan sukarela menambahkan plesetan yang kita lempar pertama kalinya.

Biasanya, momen macam itu akan menjadi sesi “adu verbal”, karena para partisipan merasa sama-sama berada dalam “mode bermain”. Di sini, lazimnya kita bakal saling pamer kemampuan dan kecerdikan linguistik, sembari memantau dengan seksama apa yang orang lain lontarkan.

Kalau lagi seru, bahkan sahut-sahutannya setara rapper saling nge-diss Tahapan di bawahnya yang masih aman adalah ketika masih ada yang merespons dengan tawa atau senyum saja.

Namun, ketika tidak ada sahutan apapun setelah kemunculan plesetan pertama, berhati-hatilah! Siapa tahu, plesetan tersebut sedang terjebak dalam ruang dialog “normal” atau “serius”.

Inilah pentingnya kita punya kemampuan membaca momen dalam berhumor. Sevalid-validnya tudingan orang bahwa kita adalah bangsa humoris, plesetan “kecup” dan “kecap” tadi andai diucapkan saat dialog sedang serius, hasilnya bisa berbeda.

Dalam bayangan saya, plesetan “kecap” dan “kecup” yang semisal terjadi saat rapat intens antardireksi sebuah pabrik kecap di Indonesia, belum akan menghasilkan sengketa seekstrem Augustin vs Yale Club di atas. Akan tetapi, keheningan plus kegeraman yang para peserta rapat simpan terhadap pelontar plesetan tadi, jelas dapat saya bayangkan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com